Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA sebuah sore di Beograd, pertengahan 1992. Mereka saling menuang anggur di beranda, tak henti, diselingi percakapan kecil. Tetapi belakangan percakapan kecil itu berkembang menjadi pertengkaran. Perdana Menteri Istimewa Yugoslavia, Milan Panic, tak dapat menahan kegusarannya terhadap Presiden Slobodan Milosevic, yang tengah mengunjungi rumahnya. "Tiba-tiba ia menyorongkan revolver kepadaku .," demikian tutur Milan Panic kepada wartawan The Washington Post, Dusko Dader, beberapa tahun kemudian. "Aku terkejut , dia mengarahkan, tembak aku, selesaikan masalahmu." "Gila, bagaimana dengan anakmu, istrimu? Aku hanya ingin kamu stop, stop dan mundur!" Panic berseru.
Bila saja pistol itu diledakkan, mungkin euforia Yugoslavia tak harus menunggu waktu delapan tahun. Ini memang mirip sinetron senja hari. Bedanya, ini kisah sejati seorang penjagal terkemuka abad ke-20: Slobodan Milosevic, seperti diceritakan dalam buku Milosevic, Portrait of a Tyrant, karya duo wartawan Dusko Doder dan Louise Branson. Milan Panic, semula pengusaha farmasi yang sukses, mempunyai hubungan yang baik dengan Washington. Ketika Gedung Putih sibuk menekan Milosevic, Milosevic meletakkan Panic sebagai perdana menteri sisa-sisa kawasan Yugoslavia, berduet dengan Dobrica Cosic, novelis kesohor Serbia yang diangkat menjadi presiden.
Tapi, menurut buku yang dibuat berdasarkan wawancara dengan berbagai orang dekat Milosevic itu, peristiwa delapan tahun silam itu membuat Panic dan Cosic segera tahu bahwa kekuasaan Milosevic bakal runtuh oleh tekanan dunia luar. Karena itulah Panic meminta Milosevic meninggalkan kursinya.
Ia sungguh gusar melihat foto-foto bayi dijagal di Bosnia. Karena itu, saat Milan Panic bertandang ke rumah Milosevic, ia langsung menerkamnya. "Hentikan kekejamanmu di Bosnia." Amarah Milosevic muntap. "Kamu tak tahu apa-apa soal Serbia . Rakyat memahami perintahku."
SEBUAH ilusi tentang kebangsaan selalu berisiko memiliki sisi lain: sebuah imaji hitam. Tapi munculnya gejala paranoia terhadap nasionalisme ternyata bukan hanya disebabkan oleh glorifikasi keunggulan sebuah ras ala Hitler. Ia bisa berangkat dari fantasi keperihan sebuah bangsa. Serbia adalah contoh soal pengidap kompleksitas psikologis itu. Pada tahun 1389, Turki mencaplok Kosovo (dan menduduki Bosnia dan Herzegovina pada 1463). Terjadi suatu eksodus besar-besaran warga Serbia dan baru 500 tahun kemudian mereka kembali. Kosovo menjadi penting secara historis bagi Serbia.
Dan dari Kosovo, romantisme kesakitan dan halusinasi "Serbia Raya" di penghujung abad ke-20 ini dikumandangkan oleh seseorang bernama Slobodan Milosevic. Sebelumnya laki-laki kelahiran Posarevac, Agustus 1941, itu " bukan apa-apa." Ia hanya anggota Partai Komunis Serbia yang tak populer. Syahdan, suatu siang yang menentukan di tahun 1987, sebuah demonstrasi terjadi, yang isinya protes dominasi warga Albania di Kosovo. "Maling, maling," teriak mereka. Polisi Albania memukuli demonstran Serbia dengan kayu. Milosevic, yang berada di sana, menghalangi. Ia melindungi demonstran. "Tidak ada lagi yang berani memukul kalian," jerit Milosevic dengan gaya heroik. "Slobo, Slobo," massa langsung histeris.
Adegan itu tertangkap kamera televisi. "Kalian harus tetap tinggal di sini. Di sini rumah kalian. Di sini ada memori. Yugoslavia dan Serbia tidak pernah ada tanpa Kosovo." Televisi terus-menerus menayangkan adegan itu. Saat itulah wajah Milosevic menancap dalam benak pemirsa Serbia. Ia seperti mengeluarkan sebuah persoalan yang tersumbat sekian lama dalam jiwa rakyat Serbia.
Berbagai analisis sejarah mengemukakan bahwa sejarah yang perih di Kosovo membuat karakter masyarakat Serbia agak cenderung mesianistis. Di dalam bawah sadar masyarakat Serbia, entah bagaimana, tertanam semacam perasaan bahwa mereka adalah bangsa yang dikasihi Tuhan tapi selalu dirundung malang akibat perlakuan bangsa lain. Ini ditambah lagi dengan kisah-kisah kepahlawanan yang tragis yang memenuhi balada, legenda-legenda, dan mitologi yang dimiliki bangsa itu. Bahkan sedemikian romantisnya, syahdan menurut kepercayaan orang Serbia, pohon-pohon apiun yang mekar di Kosovo pada bulan Mei warna merahnya berasal dari darah nenek moyang mereka yang meresap ke tanah saat dibantai Turki.
Adalah kebiasaan keluarga-keluarga di pedesaan Serbia untuk meninabobokan bayinya dengan tembang-tembang heroik. Duet wartawan Dusko Doder dan Louise Branson mengungkapkan bahwa di masa kanak-kanaknya, Milosevic kecil sering dibacakan puisi The Mountain Wrath oleh ayahnya, yaitu sebuah puisi yang berkisah tentang pahlawan pembebas lembah. Milosevic kecil mengagumi tokoh Pangeran Marko, yaitu seorang sosok yang menunggang kuda sembrani yang mampu membunuh naga dan prajurit-prajurit Turki. Tatkala menjadi mahasiswa, Slobodan kerap mengunjungi patung Pangeran Milos Obrenovic, pejuang anti-Turki. Dalam dirinya, rasa narsisisme kebangsaan bergolak mendidih.
Ia seolah membaptis dirinya menjadi pembebas Serbia dan mendistorsikan "legenda-legenda puitis" itu menjadi suatu gagasan xenophobianasionalisme gelap yang mengerikan.
Yang menarik adalah bagaimana irasionalisme nasionalisme Yugoslavia itu bisa berbaur dengan Marxisme. Milosevic adalah pengagum Joseph Broz Tito, yang tidak segaris dengan Stalin tapi tetap berpegang pada konsep "internasionale". Betapa bisa internasionale dan semangat Bolshevik pada diri Milosevic dapat melenceng ke arah ultranasionalisme? Bukankah itu sebenarnya lebih dekat dengan sang musuh komunis: fasisme? Penulis Disko Doder dan Louise Branson tak menjelaskan pemikiran Milosevic ini secara rinci.
Namun, buku itu menyodorkan potret keluarga komunis Milosevic dan istrinya, Mirjana Markovic, yang penuh trauma. Tumbuh dalam sebuah keluarga berhaluan Marxis, "Romeo-Juliet" tersebut memendam sejarah kehidupan keluarga yang dekat dengan kematian. Ibu Milosovic, seorang Marxis saleh, mengakhiri hidupnya dengan gantung diri menggunakan tali lampu. Demikian pula ayah Milosevic, sehari-hari ia dikenal sebagai pendeta ortodoks. Ibu Mirjana Markovic, Vera Miletic, adalah seorang sekretaris gerakan bawah tanah komunis di zaman pergerakan melawan Nazi di Beograd. Suatu kali ia ditangkap Gestapo. Setelah penangkapan itu, gerakan bawah tanah tersebut tercium Gestapo dan semua pemimpin terasnya diciduk.
Vera dicurigai sebagai pengkhianat. Syahdan ia dieksekusi oleh pihak komunis sendiri. Itulah sebabnya mengapa Miraistri Milosevicmenyukai kisah Antigone karya Sophocles, yang bercerita tentang perjuangan seorang perempuan muda untuk merehabilitasi nama baik anggota keluarganya yang terbunuh akibat menentang tiran Creon. Bagi Milosevic, Mira bagaikan pribadi yang bisa memahami ambisi-ambisi gelapnya. Mira memiliki "kasih sayang" yang merestui dan memahami tindakan-tindakan brutalnya. Ketika Milosevic gusar kepada Alija Izetbegovic karena pemimpin Bosnia itu bakal melibatkan Turki dan Libia untuk menciptakan negara Islam, justru Mira yang meneguhkan hatinya untuk menyerang Bosnia. Miraseperti diutarakan kedua penulis buku biografi iniadalah seorang Lady Macbeth: seorang istri yang tak ikut berlumuran darah tapi amat menentukan keputusan suaminya.
Entah karena sentuhan Lady "Mira" Macbeth ini, di saat tokoh nasionalis Serbia lain di awal 1990-anDobrica Cosicmenganggap gagasan Serbia Raya sudah mati, keinginan ekspansif Milosevic malah semakin menggumpal. Kebiadaban menjadi hal yang semakin masuk akal. Padahal, Dobrica Cosic adalah sosok yang dipercayai Milosevic. Mantan presiden itu dianggap sebagai seorang "LeoTolstoy" (penulis Soviet terkemuka) dari Serbia. Novel-novelnya menggambarkan perjuangan Serbia selama ratusan tahun untuk kembali ke ibu pertiwi dan mampu mendidihkan iklim intelektual nasionalisme Serbia. Milosevic sungguh mengaguminya karena suatu ketika Cosic pernah berkata: "Kenapa bila Inggris punya Inggris Raya, Serbia tidak boleh?"
Hubungan Cosic dan Milosevic bagaikan Faust dan Mephistopheles. Tapi keakraban itu putus karena sang Novelis berbalik rasional dan mematikan ide Serbia Raya.
Bagaimana Milosevic memandang lembaga dunia seperti PBB? Ia juga tak mampu menjadi rasional. Ia masih terobsesi campur tangan Presiden Woodrow Wilson yang membuat faktor terciptanya Serbia Raya pada akhir Perang Dunia I. Perang Dunia I berawal dari Gavrilo Princip, seorang nasionalis Serbia yang di tahun 1914 membunuh Archduke Franz Ferdinand, bangsawan Austria di Sarajevo. Adalah AS yang kemudian membuat Serbia, Kroasia, dan Slovenia masuk ke satu wilayah kekaisaran. Karena itu, konsep negara kedaulatan yang saling menghormati wilayah negara lain adalah konsep asing bagi Milosevic. Itulah sebabnya dia sungguh angkuh di hadapan PBB. Duta-duta besar di Yugoslavia tak paham mengapa Milosevic mengkhianati perjanjian damai Dayton yang ditandatanganinya pada 21 November 1995.
PBB mendaratkan 50 ribu tentara. Inilah jumlah terbesar sepanjang sejarah pasukan PBB. Tapi, seolah tak gentar, pasukan Milosevic di Kosovo tetap membantai pejuang Kosovo Liberation Army (KLA).
Wartawan Vanity Fair, T.D. Alliman, pernah melaporkan bahwa pemandangan sehari-hari di Kosovo adalah pasukan Serbia yang sibuk membuldozer tanah membuat galian kuburan massal. Setelah itu, biasanya secara diam-diam warga Albania menggali lagi dan mengais-ngais ceceran mutilasi tubuh anggota keluarganya dan menguburkannya secara muslim.
Akhir September 1998, telah ditemukan 45 mayat anak dan perempuan yang merupakan hasil sebuah pembunuhan massal. Menteri Luar Negeri AS Madame Albright mendorong "gol"-nya sebuah hukuman besar.
Ancaman hukuman ini disampaikan secara langsung oleh Jenderal NATO, Wesley K. Clark, kepada Milosevic. Ia meminta agar sang "Penjagal" menarik seluruh pasukannya di Kosovo. Milosevic menjawab bahwa mereka tak memililki kekuatan ekstra di sana. "Silakan NATO mengerjakan apa yang harus dikerjakan," ia menantang. Maka, Jenderal Clark Few selanjutnya diterbangkan ke Beograd untuk melemparkan peringatan berikutnya, yang berisi "jika Milosevic keras kepala, bom udara akan segera dilancarkan". Milosevic marah, "Kalau begitu, Anda adalah penjahat perang!" katanya.
Sampai detik-detik terakhir hari H pengebomanseperti diutarakan Dusko Doder dan Louise Branson dalam bukunyaMilosevic masih tetap anteng-anteng saja. Ia tak percaya ancaman AS. Perhitungannya, PBB tak akan berani, karena jika pengeboman itu terjadi, akibatnya akan menimbulkan arus pengungsian yang luar biasa.
Tanggal 22 Maret 1999, Duta Besar AS untuk PBB, Richard Holbrooke, bertemu dengan Milosevic. Kali ini adalah acara peringatan terakhir. Milosevic tetap bersikukuh. Setelah pertemuan itu, Holbrooke memerintahkan agar semua diplomat Barat dan keluarganya yang berada di Yugoslavia segera dievakuasi. Tanggal 24 Maret, raungan sirene dinyalakan. Hujan rudal berjatuhan. NATO menyerang Yugoslavia dengan menggunakan 80 pesawat tempur jenis F-16, F-18, B-2. Serangan berlangsung selama 78 hari.
Tetapi AS salah kira apabila mengharap Milosevic menyerah setelah pengeboman. Ketika pesawat-pesawat tempur NATO itu tengah beristirahat, paramiliter Serbia di Kosovo membunuhi warga Albania secara membabi buta. "Kami tidak akan bisa mengalahkan NATO, tapi kami siap mati untuk kedaulatan Serbia." tutur Milosevic. Hujan bom seolah secara psikologis membuat Milosevic merasa dirinya sebagai seorang martir. Kebijakan bunuh diri, dengan membiarkan warga Yugoslavia "menjadi titik sasaran pesawat-pesawat siluman", di mata Milosevic adalah sebuah pengorbanan kudus yang mengangkat derajat kehormatan Serbia.
Pada 10 juni 1999 ia menyetujui sebuah perjanjian gencatan senjata. Dan pasukan Serbia pun meninggalkan Kosovo. Tapi ia tak kunjung lengser. Alhasil, daftar penentang Milosevic bertambah. Benih-benih demonstrasi, yang semenjak 1996 telah digalang para oposisi seperti Zoran Djinjic, semakin luas. Tahun 1996, Milosevic menenangkan pendukungnya dengan menyebut para demonstran itu vandalis. "Mereka punya rencana, tapi tidak punya pilot." Pada saat pasca-pengeboman pun ia tetap berkeyakinan bahwa warga silent majority Yugoslavia tetap mendukung dia. Tapi ia salah. Pada titik pemilu kemarin, silent majority tersebut meledak tak tertahankan. "Pilot" itu ternyata bernama Kostunica.
Kini PBBdan semua keluarga korbansudah siap mengajukan Milosevic ke mahkamah pengadilan penjahat perang di Hague. Tuduhan utama? Pembasmian etnis di Kosovo. Penulis buku War Crimes: Brutality, Genocide, Terror and Struggle, Aryeh Neier, kepada TEMPO mengutarakan bahwa ia yakin soal Bosnia akan ditambahkan sebagai riwayat dosa Milosevic. Mengapa? Karena persyaratan-persyaratan untuk mengategorikan dia sebagai penjahat perang di Bosnia sudah lengkap seperti yang dituduhkan bagi para algojo Nazi dalam pengadilan Nuremberg.
Menurut Neier, kamp-kamp tahanan di Bosnia seperti Kamp Omarsca, Keraterm, Manjaca, dan Prijedor tak kalah sadisnya dengan kamp-kamp Nazi. Neier, yang melakukan wawancara dengan eks penghuni kamp tahanan Bosnia, membuat perbandingan tentang metode pembunuhan di dua kamp itu. Menurut Presiden Open Society Institute Soros itu, pembunuhan dalam kamp Nazi berciri "teknokratik", yang berarti: dalam membunuh, mereka ingin efisien, selekas mungkin. Di kamp Jerman itu seolah ada prinsip depersonalisasi eksekutor, algojo tidak ditampakkan. Seluruh proses "pembantaian" harus "bersih". Karena itulah kamp Nazi sering memakai gas.
Sementara itu, satu hal yang mencolok di kamp-kamp Bosnia, penjagal rata-rata dikenali korban. Penjagal itu terkadang adalah teman sekerja, teman sekolah, tetangga, guru, atau sopir taksi yang dikenali para korban. "Yang paling mengerikan dari pembunuhan di kamp Bosnia adalah derajat keintimannya," kata Neier. Ketika Neier mengunjungi sebuah kamp di Kroasia, ia mendapatkan kisah kelam dari Aida, seorang gadis berusia 18 tahun.
Aida pernah mendekam di kamp tahanan Trnopolje, yang menggunakan gedung bekas sekolah. Tiap hari, menurut Aida, terjadi pemerkosaan oleh penjaganya. Ibu-ibu yang berusaha melindungi anaknya disepak. Dan Aida mengenali para biadab itu adalah guru-guru SMA-nya sendiri. Ada Ljubomir Zelarguru fisikayang menjadi favoritnya dahulu. Ada Miso Radulovic, guru kerajinannya. Bagaimana orang biasa-biasa seperti mereka tiba-tiba bisa kerasukan histeria nasionalisme?
Neier mengutarakan bahwa koran dan televisi milik kroni-kroni Milosevic turut menciptakan histeria sentimen anti-Albania. Jenderal Radovan Karadzic dan Jenderal Ratko Mladic, dua algojo terbesar Bosnia, juga tak akan bertindak tanpa dukungan Milosevic.
Sebuah halaman pada buku Milosevic, Portrait of a Tyrant karya Dusko Doder dan Louise Branson menyertakan transkipsi percakapan Milosevic saat Karadzic tampak ragu-ragu mengoperasikan pembasmian. "Jangan takut. Kita terkuat," kata Milosevic. "Tapi bagaimana dengan bom?" demikian Karadzic bertanya. Milosevic menjawab dengan guyon yang mengerikan: "Laksanakan saja. Pesawat-pesawat mereka menganggur. Masyarakat Eropa tengah rapat!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo