Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Songket Minangkabau yang Nyaris Hilang

Pameran songket Canduang, wastra lawas yang hampir hilang. Sepasang suami-istri merevitalisasi dari penelitian di Canduang.

18 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perajin tenun songket Minang di Sumatra Barat, pada 1890. KITLV

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran songket Canduang di Padang.

  • Hasil revitalisasi dari penelitian Nanda dan Iswandi.

  • Menelusuri jejak-jejak sentra tenun masa lampau.

SENYUM Nanda Wirawan dan Iswandi, suaminya, mengembang dalam acara itu. Hari itu adalah hari penting bagi mereka, yaitu pembukaan pameran dari hasil penelitian mereka selama dua setengah tahun. Galeri Taman Budaya Sumatera Barat ramai oleh pengunjung dan pencinta wastra Minang. Ya, hari itu, Kamis, 8 Juni lalu, Nanda Wirawan tengah memamerkan songket-songketnya dalam perhelatan bertajuk "Menapak Jejak Songket Minangkabau Canduang, Sentra Lama yang Terlupakan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pameran itu menampilkan 22 lembar songket hasil revitalisasi Nanda bersama Studio Wastra Pinankabu sejak Februari lalu. Ia meneliti kekayaan tanah Canduang ini dengan dukungan dana dari Indonesiana serta Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Songket-songket ini buatan enam perajin Nagari Canduang yang telah mengikuti lokakarya Revitalisasi Songket Canduang pada Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Songket-songket tersebut terbuat dari katun dan sutra, juga menggunakan benang emas asli yang diimpor dari Singapura. Kain-kain tersebut ditenun dengan motif asal Nagari Canduang. Nana mendapatkan motif-motif tersebut dari hasil penelitian dan pengamatan terhadap kain songket lama. Selain memperlihatkan motif Canduang, dipamerkan pula songket dengan motif dari Pandai Sikek, Silungkang, Muaro Labuh, dan motif yang diciptakannya sendiri. Yang menarik, selain songket hasil revitalisasi, dipamerkan pula lima lembar kain songket Canduang yang umurnya diperkirakan 150 tahun.

Acara tersebut juga dihadiri Sekretaris Jenderal Traditional Textile Arts Society of South East Asia Siti Mariah Waworuntu. Ia terpukau oleh motif songket Canduang. Dia menjelaskan, songket Canduang punya nilai filosofi mendalam. Ia menilai songket Canduang adalah yang terbaik. “Baik secara kualitas maupun cara mereka menenun, benangnya sangat bagus, motifnya juga mendalam,” ucapnya.

Proses revitalisasi songket Minangkabau di Studio Wastra Pinakabu, Kenagarian Canduang Koto Laweh, Kenagarian Canduang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Tempo/Fachri Hamzah

Songket Canduang memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan songket lain, yaitu kehalusannya, filosofi, dan pembuatannya yang sangat rapi. Songket Canduang pernah dibawa ke ajang wastra internasional dan semua orang yang menyaksikannya terpikat oleh kecantikannya. Salah satu yang terpikat adalah Permaisuri Azizah dari Kerajaan Malaysia.

Sumatera Barat menjadi salah satu provinsi penghasil songket yang terkenal di Indonesia. Beberapa daerah di Sumatera Barat menjadi sentra perajin songket, di antaranya Pandai Sikek, Halaban, Payakumbuh, Limapuluh Kota, dan Silungkang. Songket yang paling terkenal berasal dari Pandai Sikek yang harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Selain lima daerah tersebut, ada beberapa sentra songket yang keberadaannya sudah hilang. Salah satunya sentra songket di Kenagarian Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam. Daerah dingin yang berada di lereng Gunung Marapi itu tidak pernah dikenal sebagai sentra kerajinan songket. Sebab, dalam catatan sejarah, Canduang hanya dikenal sebagai tempat lahirnya seorang ulama besar, yaitu Syekh Sulaiman Ar-Rasuli atau Inyiak Canduang.

Rumah Gadang yang tidak bergonjong yang pernah digunakan sebagai perguruan tenun di Jorong Bingkudu, Kenagarian Canduang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Tempo/Fachri Hamzah

Canduang diperkirakan juga sebagai salah satu sentra perajin songket. Nanda Wirawan dan Iswandi penasaran akan hal itu. Pasangan suami-istri ini kemudian mengadakan penelitian berdasarkan buku yang ditulis Christine Dobbin yang berjudul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau 1784-1847. Selama dalam penelitian, Nanda menemukan beberapa daerah di Canduang yang memiliki nama seperti alat tenun. Hal ini seperti sebuah bagian puzzle. Diperoleh pula keterangan dari masyarakat setempat tentang pewarna alami, yang kemudian melengkapi kepingan puzzle yang lain. Nanda adalah seniman yang tertarik mendalami songket sejak 2006. 

Saat penelitian itu ia cukup beruntung menemukan sebuah kain yang umurnya diperkirakan lebih dari 150 tahun di Kecamatan Baso, Kabupaten Agam. Pemilik songket itu menyebutkan kepada Nanda bahwa kain tersebut berasal dari Canduang dan sudah diwariskan selama lima generasi. Namun ada temuan lain yang tak kalah pentingnya, yaitu keterangan bahwa di daerah ini pernah berdiri sebuah perguruan songket. Murid-muridnya juga berasal dari daerah lain. Inilah yang menguatkan hipotesis bahwa Canduang juga salah satu sentra songket di masa lalu. 

Pameran songket di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat, pada 8 Juni 2023. Tempo/Fachri Hamzah

Dobbin dalam bukunya juga menuliskan bahwa di desa-desa di Agam pada 1824 terdapat industri celup indigo. Indigo merupakan pewarna yang berasal dari tanaman. Warna indigo dalam buku tersebut rata-rata berwarna biru tua dan gelap. Lalu, Dobbin juga menuliskan para petani kapas menjual hasil pertaniannya kepada perajin tenun di desa-desa Agam pada abad ke-18. Kapas tersebut diolah dan dijual perajin kepada pihak Belanda. 

Penanaman kapas mulai berkembang di pesisir pada pertengahan abad ke-17. Akhir 1780-an, diperkirakan setidaknya 1814.37 kilogram atau 4.000 pon kapas dijual ke penenun setiap tahun. Hal ini menorehkan kesuksesan Belanda sebagai bangsa Eropa pertama yang menembus Minangkabau. Industri kapas tenun tangan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang berkembang. Industri dan perdagangan sektor ini kemudian membawa kemakmuran di sekitar pinggiran Tanah Datar. 

Perajin menunjukkan cara menggunakan alat tenun saat pameran Songket Canduang di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat, Padang, 9 Juni 2023. Antara/ Muhammad Arif Pribadi

“Agam, misalnya, sudah lama menjadi pusat adat tenun Minangkabau. Wilayah tersebut menjadi lebih aktif secara ekonomi,” demikian Dobbin menuliskan. Tidak hanya tenun, berkembang pula industri pewarnaan indigo. Residen Yogyakarta, Nahuijs van Burgst, melaporkan pada 1824 dia menemukan fakta bahwa di semua desa di Agam warganya mencari nafkah dengan mewarnai kain menggunakan nila.

Apa yang ditulis Dobbin selaras dengan cerita yang menyebar di tengah masyarakat Canduang. Pendiri Studio Wastra Pinankabu, yang juga suami Nanda, Iswandi, mengatakan terdapat bahan-bahan pewarna alami di Nagari Canduang Koto Laweh. Salah satu cara pewarnaannya adalah dengan cara mencelupkan benang ke dalam lumpur yang di atasnya terdapat tanaman banto. Setelah seminggu, warna benang tersebut akan berubah menjadi hitam. Iswandi juga menuturkan pakaian adat di Canduang juga identik dengan warna gelap. Hal ini yang membuat dugaannya menjadi kuat terkait dengan keberadaan sentra songket di Canduang.

•••

RUMAH Gadang yang tidak memiliki gonjong itu berada di Jorong Bingkudu, Kenagarian Canduang. Bangunannya masih berdiri dengan kokoh. Sebagian rumah itu sudah dirobohkan. Rumah beratap seng dan berdinding kayu yang terlihat kusam, dengan tangga kayu untuk naik turun ke tanah. Bersama Iswandi, Tempo mengunjungi rumah itu. Rumah tersebut kini menjadi tempat tinggal Yuliezuenis.

Yulizuenis. Tempo/Fachri Hamzah

 

Rumah itu, Yuliezuenis mengimbuhkan, pernah digunakan sebagai perguruan tenun di masa lampau. Perguruan tenun itu berdiri pada abad ke-17. Muridnya tak lebih dari 20 orang. Perguruan tenun ini dipimpin oleh Mariam, istri salah satu ulama termasyhur pada saat itu. Yuliezuenis mendapat cerita tentang sejarah rumah itu dari ibunya. Ia adalah generasi kelima dari Mariam yang menempati rumah itu. “Muridnya 20 orang berasal dari berbagai daerah di Minangkabau,” ujar Anis—panggilan Yuliezuenis—kepada Tempo.

Selain itu, Anis menerangkan, ibunya juga pernah bercerita bahwa Mariam mendapatkan bahan baku benang dari pamannya yang merupakan seorang pedagang. Setiap kali pulang ke Canduang, paman Mariam selalu membawa tiga peti muatan menggunakan kuda beban dari Singapura. Salah satu peti berisi benang emas dan benang sutra untuk membuat kain tenun.

Bukti lain yang membuat Anis yakin akan cerita ibunya adalah gentong besar yang terbuat dari keramik. Dia menduga gentong itu digunakan sebagai tempat mencelup benang oleh penenun. Tidak hanya gentong, ia juga menemukan peralatan tenun yang terbuat dari kayu yang sudah mulai rapuh.

Pameran songket di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat, pada 8 Juni 2023. Tempo/Fachri Hamzah

“Saya tidak tahu itu alat tenun. Karena tampak tidak terpakai dan lapuk, ya saya bakar. Eh, Ibu marah-marah melihat saya membakar alat tenun itu,” katanya dalam bahasa Minangkabau. 

Anis menemukan beberapa kain songket yang sudah mulai hancur. Kain-kain itu ditemukan juga di dekat alat tenun. Ada tiga lembar kain berupa baju, kondek, dan selendang. Menurut Anis, songket peninggalan neneknya sangat banyak. Setelah neneknya meninggal, kain-kain tersebut dititipkan di surau. Malangnya, surau tersebut dibakar massa pada masa pergolakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pada 1958-1961. Songket-songket itu lenyap terbakar. “Ya, yang tinggal tiga ini saja lagi, lainnya sudah habis dibakar,” ucapnya.

Anis menyimpan tiga songket karya neneknya selama puluhan tahun di rumahnya. Songket yang menjadi pusaka keluarga secara turun-temurun ini diserahkan kepada Studio Wastra Pinankabu agar lebih terjaga dan terawat. “Saya ingin pusaka ini lebih terjaga dan saya menyerahkan ini juga karena melihat semangat anak muda seperti mereka,” tuturnya. 

Anis menuturkan, keahliannya menenun hilang di keluarganya karena neneknya meninggal saat ibunya berusia empat tahun. Ibunya tidak pernah belajar menenun dan tak ada yang melanjutkan kepandaian tersebut. Karena tak ada yang meneruskan, alat tenun neneknya disimpan di atas rumah gadang. “Karena sudah lama tidak terpakai menjadi lapuk,” katanya saat ditemui di rumahnya di Jorong Bingkudu, Nagari Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, pada Selasa,13 Juni lalu.

Selain di Jorong Bingkudu, bersama Iswandi, Tempo menelusuri sebuah lokasi tempat berdiri perguruan tenun di masa lalu. Perguruan tersebut berada di Jorong XII Kampuang, Nagari Canduang Koto Laweh. Namun rumah yang digunakan untuk belajar tenun itu sudah rata dengan tanah. Iswandi menuturkan, rumah yang menjadi sekolah tenun itu adalah rumah gadang, tapi sudah hancur.

Dari kepingan informasi yang diperoleh dari penelitiannya itu, Anis mantap menghidupkan lagi songket Canduang. Awalnya ia menjadikan rumahnya sebagai pusat Studio Pinankabu. Revitalisasi atau upaya menghidupkan lagi wastra Canduang ini bermula dari sana. Namun, karena ruangannya tidak cukup, Nanda memutuskan menyewa rumah yang tak jauh dari tempat tinggalnya untuk dijadikan studio. Setiap hari empat muridnya bekerja di studio dan dua lainnya bekerja di rumah masing-masing. 

Nanda tertarik menghidupkan songket Canduang karena memiliki beberapa perbedaan dengan songket lain. Perbedaan yang mendasar pada songket Canduang adalah warna dasarnya. Songket Canduang pada umumnya berwarna agak gelap, seperti hitam, biru tua, dan merah tua. Hal ini didapatinya dengan melihat pakaian-pakaian adat masyarakat Canduang.

Motif Songket Canduang juga biasanya lebih kaku bentuknya, seperti segitiga ataupun persegi. Namun penamaan motif songket di Sumatera Barat hampir sama, di setiap daerah pasti punya motif saik aji dan pucuak rabuang. Yang membedakan adalah bagaimana motif itu dibentuk dan dipadukan. Dalam proses revitalisasi ini ia menggunakan pewarna alami, seperti buah-buahan, lumpur, dan tanaman bunga. Pemberian warna itu dilakukan oleh Iswandi.

Saat ini Nanda masih berfokus menghidupkan motif-motif songket Canduang. Ia masih enggan membicarakan pemasarannya. “Ya, untuk sekarang belum memikirkan pasar. Tapi, kalau ada yang mau membeli, silahkan,” ujarnya. Dari pameran itu sudah tiga kain yang dibeli oleh kolektor. “Salah satunya dihargai Rp 24 juta,” katanya.

Sementara itu, Siti Mariah menyatakan pengagum songket kebanyakan adalah orang asing. Hanya sedikit peminat dari masyarakat Indonesia. Menurut dia, perkembangan industri wastra seperti songket bersifat statis. Motifnya tak banyak berubah, hanya berubah pada pilihan warna. Ia juga mengingatkan masyarakat sering kali terlalu percaya diri dan tidak berupaya menjaga kekayaan wastra ini. Indonesia juga sering kecolongan dengan ditetapkannya songket sebagai warisan tak benda asal Malaysia oleh organisasi pendidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Songket Canduang yang Nyaris Hilang"

Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus