Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Songket Pandai Sikek harganya masih tinggi.
Istimewa karena motif dan bahannya.
Produksinya masih terbatas.
S
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IANG itu, sebuah rumah gadang berukuran 7 x 5 meter terlihat sepi, tak ada bunyi berisik mesin tenun. Randi Fernando dan tiga penenun laki-laki tengah beristirahat. Di ruangan itu, terdapat lima palanta atau mesin tenun lengkap dengan berbagai benang di atasnya. Terlihat pula kain tenun yang tengah digarap, baru setengah jadi dengan motif seperti gunung dan rantai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, di sebelah rumah gadang, terlihat Nika, 55 tahun, bersama anaknya di rumah mereka tengah menenun. Ia menyelipkan helai demi helai benang di palanta. Nika sudah 20 tahun menenun songket. Dia mendapatkan keterampilan menenunnya secara turun-temurun dari keluarga.
Nika menuturkan, biasanya ia menyelesaikan pembuatan sehelai kain songket selama sepekan hingga 10 hari, tergantung pada motifnya. Setiap hari ia menyelipkan benang dan menggerakkan mesin tenun sejak pukul 08.00 dan mengakhirinya pada pukul 17.00. Nika dan Randi adalah bagian dari beberapa kelompok perajin tenun di daerah Pandai Sikek di lereng Gunung Singgalang, tepatnya di Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, yang Tempo temui pada Selasa, 13 Juni lalu.
Menurut Randi, sejak awal 2000, songket Pandai Sikek sudah menjadi primadona fashion, bahkan menjadi tren. Di masa lalu, pembuatan songket di Pandai Sikek menggunakan benang emas, yang memberikan sentuhan kemewahan pada kain tersebut. “Hal ini membuat songket dari Pandai Sikek menjadi simbol status sosial dan kemewahan,” ucapnya.
Peserta membawa kain songket saat mengikuti parade seribu songket, pada Festival Pandai Sikek, di Nagari Pandai Sikek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Agustus 2022.Antara/Iggoy el Fitra
Kain songket dibuat dengan cara menyelipkan benang emas atau perak pada pola tenunan yang kompleks. Pembuatannya membutuhkan keterampilan tinggi dan waktu yang cukup lama. Setiap kain songket biasanya memiliki motif tradisional yang khas, seperti motif bunga, hewan, dan geometris, yang memberikan ciri khas pada daerah atau nagari tempat kain tersebut diproduksi.
Randi menuturkan, kain songket dari Pandai Sikek memiliki reputasi yang baik dalam kerajinan tenun Indonesia. Pencinta seni dan budaya acap menghargai keindahan dan kualitas tinggi kain songket yang dihasilkan di sana. Kerajinan tenun songket telah menjadi warisan budaya yang berharga dan dihargai oleh masyarakat di Pandai Sikek dan di luar daerah tersebut.
Songket Pandai Sikek dari segi harga, dia menerangkan, terbilang cukup tinggi. Di pasar, selembar songket berbahan katun bisa dibanderol dengan harga Rp 2,5-3 juta, tergantung pada kerumitan motif dan benang yang dipakai. Songket Pandai Sikek juga mempunyai berbagai jenis atau ragam. Ada yang berbahan katun, semisutra, dan sutra murni. Setiap bahan memiliki harga yang berbeda. “Songket bahan semisutra harganya di kisaran Rp 5 juta dan sutra murni bisa sampai Rp 10 juta per helai.”
Dia mengatakan para perajin songket di Pandai Sikek selalu menjaga kualitas bahan songketnya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat harga songket Pandai Sikek menjadi mahal. Ia memperlihatkan kumpulan benang berwarna merah dan benang emas. Benang emas ini didatangkan dari Singapura. ”Kami masih menggunakan benang emas dari Singapura agar tetap terjaga kualitasnya,” kata Randi. Karena itu, kain songket Pandai Sikek ini pun lebih berat ketimbang songket yang lain.
Selain itu, yang membuat harga songket Pandai Sikek mahal adalah penenunan yang penuh ketelitian dan kehati-hatian. Pria 30-an tahun ini menuturkan, jika ada satu motif yang salah, tenunan harus dibuka kembali dan dirangkai ulang dari awal. Para perajin menginginkan hasil yang sempurna dengan menjaga kualitas dan hasil. Yang juga membuat songket Pandai Sikek mahal adalah nilai filosofi yang terkandung dalam motifnya. Ia mencontohkan motif yang bernama saluak laka yang berbentuk rantai berpilin. “Itu melambangkan betapa pentingnya menjaga silaturahmi sesama manusia,” ujarnya.
Ada pula motif lain, seperti pucuak rabuang, buah palo, sirangkak, bi teh, ula gerang, dan ilalang rabah. Semua motif tersebut memiliki arti filosofi yang sangat dalam dan mencerminkan kehidupan sosial masyarakat. Motif-motif tersebut pasti selalu ada di setiap songket Pandai Sikek. “Tapi yang paling wajib di setiap songket Pandai Sikek adalah saluak laka,” tuturnya.
Lalu, apakah perbedaan mendasar songket Pandai Sikek dengan songket daerah lain? Perbedaan itu terlihat dari posisi motifnya yang sangat padat, berisi, dan rapat. Makin rumit dan padat, harganya makin mahal. Motif itu, Randi mengimbuhkan, juga istimewa karena adanya sumpah nenek moyang masyarakat Pandai Sikek. Sumpah tersebut adalah larangan mengajarkan rahasia songket Pandai Sikek kepada orang asing. Hal inilah yang membuat keasliannya tetap terjaga hingga kini.
Randi mengatakan ada beberapa penamaan motif yang sama dengan daerah lain. Tapi, dari segi bentuk, songket mereka punya ciri khas masing-masing. Para perajin kini juga berusaha menyesuaikan zaman dengan menerima pesanan konsumen bermotif khusus, seperti wajah orang atau pemandangan.
Sementara itu, bentuk kain juga memiliki perbedaan. Mereka hanya membuat songket untuk bentuk selendang atau kodek. Alasannya adalah mempertahankan kualitas. Songket Pandai Sikek untuk selendang berukuran rata-rata 180 sentimeter dan lebar 50 sentimeter. Para perajin juga membuat kain dalam bentuk kodek atau kain yang biasa dipakai di pinggang. Berbeda hal dengan Silungkang, para perajin songket daerah ini sudah mulai membuat songket sebagai bahan dasar baju.
Yang menjadi tantangan para perajin songket di Pandai Sikek, para pedagang mengeluhkan permintaan pelanggan yang tak terpenuhi. Salah satu penyebabnya adalah waktu pembuatan songket yang lama dan tidak sepadan dengan uang yang diterima. Pembuatan selembar songket membutuhkan waktu 20-30 hari. Artinya, dalam sebulan penenun hanya bisa menghasilkan sehelai kain. “Ditambah lagi harga bahan yang selalu naik,” ucapnya.
Untuk mengatasi masalah waktu penenunan, Randi bersama rekannya mencoba memodifikasi alat tenun tradisional tersebut. Setelah mencoba beberapa cara, barulah tercipta alat tenun semiotomatis pada 2020. Alat tenun itu tidak menggunakan mesin, melainkan sebuah kartu untuk merangkai pola motifnya. Mereka menggunakan alat tersebut sejak saat itu. Awalnya, mereka menggunakan sebilah kayu untuk menyusun benang dan membentuk pola. “Sekarang tinggal bolak-balik kartu saja.”
Dengan alat baru tersebut, penenun yang sempat berhenti akhirnya kembali menenun. Perajin baru pun muncul dari kalangan anak muda. Alat tersebut bisa mempersingkat waktu produksi hingga sepekan. Hasilnya, produksi tenun kembali meningkat setiap minggu.
Saat ini terdapat 100-an perajin aktif yang terbagi dalam beberapa kelompok. Meski jumlah perajin bertambah, mereka belum bisa memenuhi kebutuhan pasar. Banyak juga toko yang meminta lebih banyak songket karena permintaan pembeli meningkat setiap bulan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo