Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH sekitar 6 bulan disandera Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Rahmatsyah, 20 tahun, ditemukan pasukan Marinir pada Rabu siang pekan lalu. Dalam penyergapan di Aceh Timur, sopir Ersa Siregar dan Ferry Santoro, wartawan RCTI yang masih disandera, ini ditinggalkan begitu saja oleh GAM.
Rahmat mengaku diperlakukan dengan baik oleh penyanderanya. Kebutuhan makan dan rokok dipenuhi. Tempat tinggalnya yang berpindah-pindahlah yang merepotkan. ”Saya berada di tempat terpisah. Terakhir ketemu Pak Ersa 3 bulan lalu. Saat itu kondisi beliau sehat,” katanya. Sehari kemudian, Rahmat dipertemukan dengan orang tuanya di Markas Komando Operasi TNI, Lhok Seumawe. Rahmat, Ersa, dan Ferry disandera GAM sejak 29 Juni 2003, saat mereka sedang meliput operasi militer di Aceh Timur.
Adapun Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) menilai pemerintah Indonesia lamban memfasilitasi pelepasan dua jurnalis itu. Maka organisasi yang beranggotakan lebih dari 500 ribu orang ini meminta pemerintah Indonesia menghilangkan hambatan-hambatan tadi. ”Kelambanan pemerintah sulit dimaafkan dan tak dapat dimengerti,” kata Presiden IFJ, Christopher Warren, dalam suratnya kepada Presiden Megawati, Kamis pekan kemarin. Surat itu disampaikan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI), afiliasi IFJ di Indonesia, yang dipimpin ketuanya, Edy Suprapto.
Komisi Hukum Terancam Tutup
PARA pengacara boleh panen, tapi Komisi Hukum Nasional (KHN) justru terancam tutup. Pasalnya, Sekretariat Negara tak kunjung mengucurkan dana anggaran kerja untuknya. Tak ada penjelasan mengapa dana terlambat turun. ”Januari depan, komisi ini kemungkinan tutup,” kata anggota KHN, Frans Hendra Winarta.
Menurut Frans, bila sampai Januari mendatang anggaran masih terhenti, pihaknya sudah menyediakan dana cadangan dari anggaran 2003 untuk membayar ”uang perpisahan” bagi 30 karyawan yang berstatus kontrakan.
Anggaran terhenti, papar Frans, karena tidak seriusnya pelaksanaan agenda reformasi. ”Hukum tetap dianggap tak penting,” ujarnya kecewa. Padahal, menurut dia, lembaga seperti KHN penting untuk menata hukum dan memetakan berbagai persoalan jangka panjang. Tak cuma itu. Pengembangan fungsi KHN, semisal penasihat presiden di bidang hukum, dalam prakteknya tidak pernah berjalan.
Sejumlah anggota DPR justru mempertanyakan kinerja Komisi. ”Apa yang sudah dilakukan KHN selama ini?” tanya Djasri Marin, anggota Fraksi TNI/Polri.
Tempat Kampanye: ITB Oke, Undip Menolak
REKTOR Institut Teknologi Bandung (ITB) Kusmayanto Kadiman mengizinkan kampusnya menjadi ajang kampanye semua partai pada Pemilihan Umum 2004. Kalau mau tahu kotor-tidaknya politik, katanya, ”Kita harus mengerti benar politik itu. Karena itu, penting warga kampus terlibat langsung di dalamnya.” Ini dinyatakannya dalam diskusi publik ”Kontroversial Kampanye dalam Kampus” di Kampus ITB, Bandung, Selasa pekan lalu.
Namun Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, menolak menjadi tempat cuap-cuap peserta pemilu. Hasil jajak pendapat atas semua mahasiswa dan civitas academica menunjukkan 65 persen menolak, 32 persen menerima, dan 3 persen abstain. Alasan penolakan antara lain omongan politikus sekarang tak bisa dipercayai. Sikap ini diperkuat guru besar Fakultas Hukum Undip, Satjipto Rahardjo dan Muladi. Mereka mengatakan, UU Pemilu melarang kampanye di kampus, meski dalam penjelasannya diperbolehkan dengan syarat ada izin dari pemimpin lembaga.
”ITB menerima karena ITB tidak punya pakar hukum, ha-ha-ha...,” kata Rektor Undip Eko Budihardjo, disambut tawa dan tepuk tangan riuh peserta diskusi. Ikut berbicara pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies, Indra J. Piliang.
Kantor Golkar Dirusak
KANTOR Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, diserang sekelompok massa, Selasa-Rabu pekan lalu. Para penyerang mem-bakar bendera partai dan menghancurluluhkan kantor Angkatan Muda Partai Golkar.
”Mereka peserta seleksi calon pegawai negeri sipil yang tidak lulus,” kata Ketua Partai Golkar Muna, La Ode Djohan Boy. Penyerbuan yang disertai pelemparan atas kantor Partai Golkar itu dimulai sekitar pukul 5 petang. Sejumlah jendela dan genting kantor itu hancur. Kata Djohan, penyerangan—yang terulang hari berikutnya—tidak berbalas karena kantor sudah kosong.
Djohan heran mengapa serangan menimpa pihaknya. ”Salah alamat, dong, karena kami tak ikut-ikut soal seleksi itu,” katanya. Ia menduga hal itu terjadi karena Bupati Muna, Ridwan B.A.E., adalah ketua Partai Golkar setempat. Tersebar kabar, peserta tes yang lulus umumnya anak dan kerabat pejabat partai tersebut. Merasa mustahil menyerbu kantor Bupati, kata Djohan, ”Mereka menghancurkan kantor Golkar.”
Jari Terluka, Bentrok
WARGA dua kampung di Solok, Sumatera Barat, terlibat tawuran pada Rabu pekan kemarin. Akibatnya, seorang meninggal dan enam lainnya terluka, termasuk karena terkena peluru karet polisi.
Menurut Kepala Kepolisian Resor Solok, Ajun Komisaris Besar Nasrullah, bentrokan dipicu penganiayaan terhadap seorang pemuda Nagari Muaropingai, Mulyadi, 24 tahun. Ia dikeroyok dua warga Saningbakar pada Selasa malam.
Saat tengah bekerja di ladang di belakang Sanggar Kegiatan Nagari Saningbakar, Sepuluh Koto, Singkarak, Mulyadi didatangi dua pemuda warga setempat yang melarangnya bekerja di sana. Karena Mulyadi menolak, mereka bersilang kata sampai salah satu pemuda itu menebaskan parangnya hingga melukai jari tangan kiri lawannya. Mulyadi membalas dengan cara yang sama, hingga melukai salah seorang dari dua pemuda itu. Bentrokan terhenti karena kedua pihak lari ke kampung masing-masing.
Sama terbakar hasut, perang antarnagari pun pecah. Akibatnya, sore itu juga sebuah rumah warga Saningbakar yang berada di batas kedua nagari dibakar warga Muaropingai. Aksi pun berbalas aksi, yang menewaskan Tamar Jaya, warga Muaropingai.
Kunjungan Bupati Solok, Gamawan Fauzi, esoknya ke kedua kubu untuk mendamaikan mereka justru ditampik. Malah, beberapa jam sepeninggal Bupati, warga Muaropingai kembali menyerang warga Saningbakar di perbatasan nagari. Penjagaan pasukan gabungan Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Kepolisian Resor Solok, dan TNI mereka abaikan. Ketika pelu-ru karet harus dilepaskan aparat, enam warga Muaropingai terluka. Namun massa masih sempat membakar empat bangunan ditambah dua sepeda motor milik polisi. Untung, belakangan, kedua pihak sepakat berdamai, berkat prakarsa Bupati Solok.
Mataram Berendam
WARGA Kampung Ringgit, Tanjung Karang, Mataram, Nusa Tenggara Barat, terendam banjir sepanjang hari Kamis pekan lalu. Banjir setinggi satu meter yang meluap dari Sungai Berenyok—yang membelah kampung tersebut—menggenangi rumah 75 keluarga (300 jiwa). Air tak kunjung surut sejak pukul 10 pagi hingga magrib, yang makin menggenang tinggi selepas asar.
Akibatnya, sekitar 5 hektare tanaman kangkung (setara dengan 5 truk) dan puluhan hektare padi yang baru ditanam hanyut. ”Baru malam ini Bapak Camat Ampenan akan datang,” ujar M. Yusuf, warga korban banjir.
Sersan Satu TNI-AD Frans D. Rosari, yang baru 2 bulan menetap di selatan Batu Ringgit, mengaku rumahnya tergenang air hingga selutut. ”Saya sudah dua kali kebanjiran selama tinggal di sini,” kata staf Markas Komando Resor Militer 162 Wirabhakti ini.
Di Sumatera, sudah seminggu Kota Jambi tergenang air, sehingga banyak toko dan pasar yang terpaksa tutup. Sekitar 10 ruas jalan utama di Kota Jambi dan jalan lainnya tak bisa dilalui kendaraan. Memang langganan banjir—dan tahun ini paling besar—hampir setiap tahun Provinsi Jambi ”rata dengan air”. Banyak kalangan menuding, musibah ini disebabkan oleh ulah dan ketidakpedulian pemerintah daerah.
Lurah Berdwifungsi Intel
PARA lurah di Indonesia bakal berdwifungsi: ya kepala desa, ya agen Badan Intelijen Negara (BIN). Tujuannya, menurut Brigjen Polisi Wenny Warow, yang mengepalai bagian perekrutan anggota BIN, untuk mengendalikan keamanan di kota dan desa. Caranya? Bila si lurah-intel menemukan ”informasi aneh yang mengganggu stabilitas,” ia dapat melaporkannya ke kantor BIN provinsi.
Tentangan pun datang. Anggota Komisi Pertahanan-Keamanan dan Luar Negeri DPR, Djoko Susilo, mengaku setuju dengan pembentukan Badan Koordinasi Intelijen Daerah sebagai kepanjangan tangan BIN. Tapi, ”Perekrutan pemerintahan lokal itu aneh,” katanya.
”Apabila benar, kami akan meminta penjelasan Kepala BIN,” kata Djoko kepada Koran Tempo lewat telepon, Sabtu kemarin. Menurut politikus Partai Amanat Nasional itu, BIN seharusnya sudah memiliki standar perekrutan anggota—yang undang-undangnya (UU Intelijen Negara) tak kunjung dirampungkan pemerintah. Padahal undang-undang itulah yang bisa menjadi pedoman pelurusan langkah-langkah BIN.
Munir, Direktur Eksekutif Imparsial, khawatir, bila rencana BIN itu tak segera distop, Indonesia akan menjadi negara intel. Kekuasaan BIN yang sudah meluas tanpa kontrol dapat menjadi ancaman baru bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Ia menganggap tak perlu ada perwakilan BIN di daerah-daerah. Tugas pengamanan negara, katanya, cukup ditangani aparat intel kepolisian dan kejaksaan. Munir secara khusus menyoroti luasnya kekuasaan Kepala BIN A.M. Hendriproyono: koordinator semua unit intelijen nasional, operasi antiterorisme, pemberantasan uang palsu, pengamanan dokumen penting, bahkan tagihan kartu kredit.
Jika rencana baru tersebut diterapkan, itu bisa mengancam kehidupan publik dan pribadi warga negara, katanya. ”Seperti rumah kaca, seluruh kehidupan pribadi diawasi negara.”
Jobpie Sugiharto, Rinny Srihartini (Bandung), Zainal Bakrie (Lhok Seumawe),Supriyantho Khafid (Mataram), Syaipul Bakhori (Jambi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo