Masa kampanye untuk Pemilu 2004 belum dimulai. Tetapi, di televisi, kampanye untuk memilih "partai politik tertentu" terus-menerus diulang. Hanya, kampanye itu bukan merujuk ke nama partai, melainkan "partai yang memperjuangkan kaum perempuan".
Iklan itu dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Di media cetak, kampanye serupa juga dilakukan oleh para aktivis perempuan yang memperjuangkan terpenuhinya kuota 30 persen calon legislatif pada Pemilu 2004. Yang paling gencar berkampanye adalah Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), yang diketuai Machfudhoh Aly Ubaid, dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) pimpinan Nursjahbani Katjasungkana. Organisasi pertama adalah kumpulan politikus—beberapa di antaranya masih menjadi anggota DPR—dan organisasi kedua kebanyakan anggotanya aktivis LSM.
Pasal 65 Undang-Undang Pemilu Tahun 2003 memang mencantumkan ketentuan adanya 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Tidak disebutkan adanya sanksi jika ada partai yang melanggar ketentuan ini. Karena itu, gerakan aktivis tersebut lebih bersifat moral, mengajak kaum perempuan di Indonesia agar tidak memilih partai yang tidak memberikan kuota 30 persen pada daftar calon legislatif yang diajukan ke KPU. Bahkan politikus seperti Machfudhoh Aly Ubaid (PPP), Miranty Abidin (PAN), Oelfah Harmanto (Golkar), dan Nursanita Nasution (PKS), yang bergabung di KPPI, akan pasif jika partai mereka tidak mematuhi Pasal 65 Undang-Undang Pemilu itu.
Apakah pimpinan partai politik kesulitan mencari calon anggota parlemen perempuan, ataukah ada kesengajaan untuk "menyudutkan" kaum perempuan? PDI Perjuangan, yang saat ini dipimpin oleh perempuan, mengakui kesulitan memenuhi kuota itu karena memang sulit menjaring politikus perempuan. Partai lain serupa. Namun, ketika PDIP mengumumkan nama-nama seperti Marissa Haque, Dessy Ratnasari, Sofia Latjuba sebagai calon anggota DPR—sebelumnya Partai Golkar mengajak Nurul Arifin—para aktivis perempuan bukannya memuji, tetapi justru memberi kritikan. Marissa dan kawan-kawannya itu dianggap lebih "artis" ketimbang "perempuan".
Memang, tidak gampang mencari perempuan yang mau terlibat politik saat ini, karena kultur masyarakat kita masih menempatkan perempuan sebagai "pendamping suami". Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Khofifah Indar Parawansa, yang kini sibuk menjaring politikus perempuan untuk Partai Kebangkitan Bangsa, mengakuinya. Ia menyebut ada kendala internal dan kultural yang membuat perempuan jarang berminat ke politik. Khofifah mengutip hasil penelitian yang dilakukan International Republican Institute (IRI) pada Maret 2003, perempuan sebagian besar menginginkan laki-laki untuk duduk di DPR. Kenyataan di DPR saat ini memang demikian, dari 550 anggota DPR hanya 44 orang perempuan.
Ide ada kuota 30 persen perempuan di parlemen memang baik. Ini akan memicu kaum perempuan untuk peduli pada politik. Dari sini akan tercipta iklim bahwa dalam urusan politik dan urusan apa pun di luar kodrat sebagai wanita, tidak ada lagi perbedaan gender. Lirik lagu "wanita dijajah pria sejak dulu" bisa kita buang jauh-jauh. Kesetaraan ini nantinya harus menghapus adanya kuota menyangkut gender, termasuk kuota untuk kaum pria, misalnya. Sekarang masa transisi. Kalau memang tak terpenuhi 30 persen kuota perempuan di DPR, anggap saja ini baru awal dari sebuah proses.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini