Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN hal luar biasa bila Muhammad Jusuf Kalla kerap bertemu dengan Wakil Presiden Boediono. Sebagai tokoh penting, dua-duanya memang kerap bersua dalam acara di Jakarta. Dalam acara itu, mereka selalu berbincang-bincang akrab.
Beberapa hari setelah Mahkamah Konstitusi pada 22 Agustus lalu memenangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam sengketa pemilihan presiden, keduanya bertemu lagi. Dalam pertemuan itu, Boediono menyalami dan mengucapkan selamat kepada Kalla. "Pak Boediono bilang, nanti kantor Pak JK saya kembaliin lagi," kata Kalla menirukan ucapan Boediono, Rabu dua pekan lalu, sembari tertawa. Yang dimaksud Boediono tak lain Istana Wakil Presiden di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, yang ditempatinya.
Sebagai wakil presiden terpilih, Kalla kini kembali berkantor di situ. Pada Pemilihan Umum 2004, setelah memenangi pemilu bersama Susilo Bambang Yudhoyono, Kalla masuk ke kantor tersebut. Pada Pemilu 2009, berpasangan dengan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto, Kalla gagal merebut kursi presiden. Kekalahan itu membuat ia hengkang dari kantor tersebut. Dan kini ia masuk kembali.
Kalla mengatakan tak akan mengubah infrastruktur Sekretariat Wakil Presiden "warisan" Boediono. Dia akan tetap mempertahankan adanya seorang sekretaris wakil presiden, lima deputi, dan lima anggota staf khusus. Dia juga menyatakan tak akan buru-buru memutasi kelima pejabat deputi era Boediono.
Kelima pejabat itu adalah Deputi Bidang Politik Dewi Fortuna Anwar, Deputi Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Penanggulangan Kemiskinan Bambang Widianto, Deputi Bidang Administrasi Djadja Sukirman, Deputi Bidang Tata Kelola Pemerintahan Eddy Purwanto, serta Deputi Bidang Ekonomi Tirta Hidayat. "Deputi yang ada sekarang ini berjalan dulu, nanti kami lihat selanjutnya," ucap Kalla. Pertimbangan Kalla tidak langsung main ubah struktur itu karena, menurut dia, posisi wakil presiden tidak memiliki kewenangan mengeksekusi dan membuat keputusan. "Keputusan ada pada presiden," katanya.
Sebelum memasuki kembali kantornya dulu itu, Kalla berkali-kali berdiskusi dengan pengurus Pusat Kajian Trisakti-lembaga kajian yang dibentuk Alwi Hamu-perihal struktur kantor wakil presiden. Di lembaga itu, bersama Alwi, Kalla duduk sebagai dewan penasihat. Alwi adalah teman lama Kalla. Keduanya bersahabat sejak sama-sama kuliah di Universitas Hasanuddin, Makassar. Menurut Rian Andi Soemarmo, Ketua Pusat Kajian Trisakti, dari diskusi-diskusi itu, JK memutuskan mempertahankan infrastruktur yang ada. "Karena dia ingin langsung bekerja," ucap Rian.
Menurut Rian, keputusan tetap mempertahankan struktur Sekretariat Wakil Presiden yang ada diambil Kalla saat mereka menggelar rapat di rumah Kalla. Alasan lain kenapa struktur itu dipertahankan juga menyangkut nasib pegawai yang ada. "Kata Pak JK, akan di kemanakan pegawai yang sudah ada di situ," ujar Rian.
Bukan berarti tak ada yang diganti. Posisi yang dipastikan berganti adalah staf khusus wakil presiden. Staf khusus Wakil Presiden Boediono sekarang adalah Yopie Hidayat, Mohamad Ikhsan, Farid Harianto, Satya Arinanto, dan Muchtar Luthfi Mutty.
Mereka akan digantikan oleh orang-orang yang selama ini membantu Kalla memenangi pemilu lalu. Kalla sudah menentukan kriteria siapa yang cocok menjadi anggota staf khususnya, yakni mereka yang dikenal baik di masyarakat dan memiliki kemampuan di bidangnya. "Staf khusus itu pembantu umum yang bertugas untuk apa saja sesuai dengan kebutuhan," kata Kalla.
Perihal nama-nama kandidat staf khusus wakil presiden, menurut Rian, Kalla sudah berbincang dengannya. Menurut Rian, ada lima nama yang sudah mengerucut, yakni, selain dirinya sendiri, mereka adalah Sofyan Djalil, Iskandar Mandji, Hamid Awaludin, dan Yuddy Chrisnandi. "Tapi ini tetap belum final," ucap Rian.
Iskandar Mandji, 73 tahun, dekat dengan Kalla karena sama-sama pernah menjadi pengurus Golkar. Iskandar bergabung dengan Institut Lembang Sembilan, yang dipimpin Alwi Hamu, dan jadi anggota tim sukses Yudhoyono-Kalla pada pemilihan presiden 2004. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1994-1999 ini juga merupakan Ketua Tim Jenggala, relawan penyokong Kalla pada pemilihan presiden lalu.
Hamid Awaludin, 54 tahun, dekat dengan Kalla sejak di Makassar. Doktor hukum American University pada 1998 ini pernah menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam kabinet Yudhoyono-Kalla 2004-2007. Hamid juga pernah menjabat Duta Besar Republik Indonesia di Rusia. Sedangkan Rian, 38 tahun, sejak 2003 aktif di Institut Lembang Sembilan. Sarjana sastra Inggris lulusan Sekolah Tinggi Bahasa Asing, Bandung, ini merupakan kawan dekat Solihin Kalla, adik bungsu Kalla. Keduanya bersahabat sejak sama-sama bersekolah di SMP Islam Athirah, Makassar. Solihin yang mengajak Rian masuk Institute Lembang Sembilan.
Adapun Yuddy membantu Kalla sejak jadi Ketua Umum Golkar 2004-2009. Pria kelahiran 1968 ini dipercaya sebagai Ketua Golkar Bidang Organisasi dan Kaderisasi. Yuddy tiga kali masuk tim sukses Kalla dalam pemilihan presiden, yakni pada 2004, 2009, dan 2014. Meski hengkang dari Golkar ke Hanura pada 2009, Yuddy tetap penyokong Kalla. Sedangkan Sofyan Djalil pernah dua kali menjabat menteri di kabinet Yudhoyono-Kalla, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika (2004-2007) serta Menteri Badan Usaha Milik Negara (2007-2009). Kedekatan pria kelahiran Aceh pada 1953 ini tak bisa dilepaskan dari peran Tanri Abeng, pengusaha yang juga sahabat Kalla sejak kuliah.
Kepada Tempo, Iskandar dan Yuddy mengaku belum mengetahui namanya diproyeksikan sebagai staf khusus wakil presiden. Yuddy menyatakan belum pernah diajak bicara oleh Kalla perihal posisi itu. Sedangkan Tanri Abeng mengakui menyebut nama Sofyan ketika berdiskusi dengan Kalla di sela-sela sebuah acara makan malam di Hotel JS Luwansa, kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan, bulan lalu. Saat itu, menurut Tanri, keduanya berbicara tentang penguatan ekonomi kerakyatan dan pemerataan pendidikan. Lalu ia menyodorkan nama Sofyan sebagai seorang profesional yang bisa membantu menyukseskan program kerja Jokowi-JK. "Sofyan adalah seorang akademikus dan memiliki rekam jejak yang baik," tutur Tanri.
Adapun soal posisi juru bicara, menurut Rian, Kalla tak memerlukannya. Jabatan ini, yang jika pada era Boediono dipegang Yopie Hidayat, akan dihilangkan. Kalla, kata Rian, tak pernah mengangkat juru bicara saat jadi wakil presiden pada 2004. "Tipe kepemimpinan Pak Kalla itu luwes dan mudah ditemui," ujar Rian.
Pekan-pekan ini, pekerjaan besar yang akan dikerjakan Kalla dan tim barunya adalah membenahi pegawai Sekretariat Wakil Presiden. Kini jumlah pegawai di sana 571 orang. "Dulu di zaman saya saja ada 300-an. Aduh!" kata Kalla sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo