Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMBALI menjadi wakil presiden, Jusuf Kalla menghadapi situasi yang berat. Pria 72 tahun ini bersama Presiden Joko Widodo berhadapan dengan parlemen yang dikuasai lawan politik, koalisi partai penyokong Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden.
Pengalamannya di pemerintahan dan memimpin Partai Golkar pada 2004-2009 membuat Kalla memiliki posisi strategis dalam membantu Presiden Joko Widodo menghela pemerintahan periode 2014-2019. Kalla mengungkapkan tantangan yang bakal dihadapi pemerintah akibat gempuran lawan politik kepada Tempo di kediamannya di Jalan Brawijaya 6, Jakarta Selatan, Rabu siang awal Oktober lalu.
Masalah apa yang akan dihadapi pemerintah nanti?
Pertarungan politik itu biasa. Tapi menyambung dua kubu ini cukup sulit. Itu bisa merepotkan para menteri. Mereka bisa dipanggil terus-menerus oleh parlemen. Salah-salah bisa interpelasi. Tapi, jangan lupa, pemerintah dengan mayoritas dukungan partai seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menghadapi masalah yang sama.
Tak khawatir dimakzulkan?
Pastilah tidak mudah. Sistem kita presidensial, sehingga parlemen tak banyak ikut campur dalam berbagai hal. Koalisi di parlemen juga tidak gampang disatukan. Di kalangan internal partai saja belum tentu kompak.
Apa strateginya?
Kami membuat program prorakyat. Saya yakin Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa menolak kebijakan tersebut. Apalagi mereka tak lagi mengurusi teknis proyek seperti sebelumnya. Diawasi 24 jam sehari pun tak ada masalah.
Tapi semangat mereka menjatuhkan.…
Memang, seperti yang terlihat dalam revisi Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). Tapi di atas DPR masih ada konstitusi. Kami menggugat Undang-Undang MD3 ke Mahkamah Konstitusi. Masih ada enam gugatan lagi yang sedang berproses.
Bagaimana dengan kabar penjegalan pelantikan presiden dan wakil presiden?
Saya mendengar, tapi tidak akanlah. Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Setya Novanto, dan Ketua DPD Irman Gusman soft, bukan orang yang suka berposisi keras. Cukuplah, saya sudah menghubungi Golkar dengan Demokrat.
Anda terlibat lobi politik?
Anda saja yang tidak tahu apa yang saya buat. Ini adalah pergulatannya politik. Perlu take and give. Nah, saya belum punya kekuatan itu. Orang mengajak berunding. Tapi, ketika ada yang minta sesuatu, kami tidak bisa kasih karena kami belum dilantik. Baru ketika dalam pemerintahan, kami bisa membuat kebijakan.
Mengapa Megawati Soekarnoputri dan Yudhoyono gagal bertemu?
Semua ingin ketemu, tapi masalah perbedaan waktu saja. SBY ingin ketemu sebelum pemilihan pemimpin DPR. Sedangkan Ibu Mega ingin ketemu setelah pemilihan. Datang sebelum pemilihan berarti meminta, kalau setelahnya berarti berterima kasih. Ibu Mega sudah siap ketemu pada 2 Oktober pukul 11.00 di mana pun. SBY juga mau cukup dengan telepon.
Telepon Yudhoyono tak diangkat?
Memang tak langsung telepon SBY, tapi melalui Amir Syamsuddin dan Sjarifuddin Hasan. Tapi tidak jadi.
Kenapa tak langsung saja sodorkan telepon kepada Mega?
Memang begitu rencananya, tapi kalau tiba-tiba tidak mau diterima, kan tidak enak. Begitu juga sebaliknya. Harus sepakat dulu mau bicara.
Mengapa koalisi Anda kalah di parlemen?
Itu masalah kehilangan trust masing-masing. Mereka lebih lihai mengatur skenario. Kami merasa kondisi didesain sejak awal, seperti mengubah Undang-Undang MD3 tadi. Jadi mau usaha apa lagi kalau aturannya sudah diubah.
Bagaimana soal pemilihan pimpinan MPR?
Pihak sana membuat strategi yang tepat, mengganti dan memasukkan unsur pimpinan. Maka Partai Demokrat tidak pecah, awalnya diperkiraan 20 orang Demokrat galau. Dirigennya Pak Wiranto, tapi ada hal-hal yang tak diperkirakan.
Suara siapa yang bocor?
Menurut perkiraan, Dewan Perwakilan Daerah tidak kompak. Kami perkirakan mendapat dari DPD 100-an suara. Lupa kami pertimbangkan bahwa DPD sekarang itu setengahnya orang partai.
Anda kecewa?
Oh, iya. Tapi, kalau di DPR kami didesain terjegal, di MPR tidak. Di DPD juga tidak karena calon dari DPD pilihan sendiri, jadi betul-betul demokratis. Tapi kalangan internal kami melihat figur Oesman Sapta Odang cukup kontradiktif dan banyak kontroversi, tingkat penerimaannya rendah.
Kok, bisa begitu?
Awalnya saya menyarankan kepada Ketua DPD Irman Gusman agar memilih Ratu Hemas, supaya ada keterwakilan perempuan. Dia juga dari Jawa. Tapi Oesman yang terpilih. Oesman juga meyakinkan bahwa dukungannya solid. Saya dilapori semua sudah teken, baik DPD, PDI Perjuangan, maupun Partai Persatuan Pembangunan. Susah diubah. Pada saat yang sama, Koalisi Merah Putih mengubah calon ketua dari Demokrat ke Zulkifli Hasan.
Setelah parlemen dikuasai lawan politik, bagaimana Anda melihat relawan?
Relawan tidak menuntut, tapi ingin berpartisipasi. Kami tidak ingin ada satu massa yang permanen karena berbahaya. Saya bilang ke Pak Jokowi, kayak Thailand nanti. Jadi mereka akan kembali pada aktivitas semula. Ada beberapa pemimpin relawan mungkin membangun kekuatan, tapi hanya melalui seminar-seminar.
Tapi pemerintah bakal digempur luar biasa….
Namanya politik. Tapi, seburuk apa pun, kita yang terbaik dari negara-negara Asia yang besar. Bayangkan, 130 juta orang dari 250 juta warga negara ikut pemilihan langsung. Tak ada satu orang pun yang jadi korban. Lihat Filipina, Afganistan, dan India, ada ratusan orang tewas. Kita ini hanya gaduh. Indonesia memiliki kematangan dalam berdemokrasi, beda dengan Amerika, tapi jauh lebih baik dibanding negara-negara Asia lainnya.
Kalau baik, mengapa pemilihan kepala daerah langsung dihapus?
Memang dalam konstitusi hanya menyebutkannya kepala daerah dipilih secara demokratis, tidak disebut dipilih secara langsung atau lewat DPRD. Hanya memang pemilihan langsung dijalankan sebelumnya. Kita bisa menilai itu kembali ke Orde Baru karena itu kepentingan sesaat, ingin menguasai kepala daerah. Namun pelaksanaannya tidak mudah. Belum tentu di bawah kompak. Di kalangan internal partai saja tak kompak. Ada calon yang maju lewat partai lain.
Bagaimana penyusunan kabinet?
Bukan hal yang mudah karena harus mempertimbangkan banyak hal. Misalnya soal keahlian calon menteri. Tidak ada orang yang benar-benar memenuhi syarat. Tapi yang terpenting adalah leadership. Hal lain, keseimbangan antardaerah. Jangan tiba tiba-tiba hanya diisi orang Jawa dan Bugis. Bisa marah orang Kalimantan dan Sumatera. Begitu juga agama dan kesetaraan gender. Dalam pemerintah sebelumnya, perempuan minimum empat. Sekarang kami patok lima.
Pelibatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Komisi Pemberantasan Korupsi seperti apa?
Pada zaman saya bersama Pak SBY, kami menyodorkan daftar nama calon menteri ke Badan Intelijen Negara untuk mencari catatan latar belakangnya. Karena belum ada PPATK dan KPK. Sekarang lebih menggunakan PPATK karena memiliki data. Berbeda dengan KPK yang masukannya berupa penilaian. Bisa menggunakan BIN, tergantung keadaan.
Ada partai lain yang akan bergabung?
Tidak bagus kami masukkan menteri yang belum jelas keputusan partainya. Soal matriks pembagian untuk partai koalisi akan dilihat dari perolehan kursi dan apa yang mereka sumbangkan dalam pemilihan presiden yang lalu. Mesti adil.
Maksudnya?
Walaupun bergabung pada saat pemilihan pemimpin MPR, keputusan Partai Persatuan Pembangunan belum resmi karena kepengurusannya masih dua. Tentu ada pertimbangan lain nantinya. Kalau Partai Amanat Nasional tergantung Demokrat.
Anda melobi Golkar?
Tentu. Tapi yang paling mungkin masuk cuma PPP. Soal Golkar nanti setelah musyawarah nasional. Mereka tidak pernah jauh dari kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo