Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hiruk-pikuk kemenangan kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Senayan mengingatkan Fahmi Idris pada obrolannya bersama Jusuf Kalla, awal Oktober lalu. Fahmi mengutarakan kekhawatiran pemerintahan tersendat jika parlemen dikuasai kubu "lawan". Ketika itu Kalla menjenguk Fahmi yang terbaring sakit di kediamannya di wilayah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Kalla menenangkan kerisauan tokoh Partai Golkar dan pentolan alumnus Himpunan Mahasiswa Islam itu. Dengan memakai contoh fungsi kewenangan membahas anggaran, ia meredakan kecemasan koleganya ini. Jika usul anggaran pemerintah tak disetujui, kata Kalla, pemerintah akan memakai anggaran tahun sebelumnya. "Kenapa you mesti khawatir?" ujar Fahmi kepada Tempo, 10 Oktober lalu, menirukan ucapan Kalla.
Fahmi pantas ketar-ketir melihat perkembangan yang terjadi di Senayan. Koalisi pro-Joko Widodo tak kebagian kursi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Sidang paripurna awal Oktober mengesahkan kemenangan koalisi Prabowo di kursi pimpinan. Bendahara Umum Golkar Setya Novanto terpilih sebagai ketua dengan Fadli Zon dari Gerindra, Agus Hermanto dari Demokrat, Taufik Kurniawan dari Partai Amanat Nasional, serta Fahri Hamzah dari Partai Keadilan Sejahtera sebagai wakil.
Kalla menuturkan, kekalahan di parlemen terdesain sejak perubahan Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Karena kekurangan satu fraksi, koalisi Jokowi berniat menggandeng Demokrat. Tapi, hingga detik-detik pemilihan, Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak kunjung bersua. Walhasil, mereka gagal mengajukan paket pimpinan Dewan. PDI Perjuangan cs pun memilih walk out dari ruang sidang.
Kalla menampik anggapan bahwa mereka disebut kurang kukuh berkomunikasi dengan partai lain. Bersama Ketua Umum NasDem Surya Paloh, dia sudah berupaya mengontak Yudhoyono agar bersedia bertemu dengan Megawati. Upaya ini mentok. "Ini masalahnya kehilangan trust masing-masing," kata Kalla. Di sisi lain, Kalla menganggap koalisi Prabowo lebih pacak mengatur strategi.
Pekan berikutnya, koalisi Jokowi kembali tersungkur dalam pemilihan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Paket koalisi Prabowo, yaitu Zulkifli Hasan sebagai Ketua MPR bersama Mahyudin dari Golkar, Evert Erenst Mangindaan dari Demokrat, Hidayat Nur Wahid dari PKS, dan Oesman Sapta Odang dari Dewan Perwakilan Daerah, berhasil menjegal koalisi pro-Jokowi. Melalui voting tertutup, koalisi Prabowo unggul dengan 347 suara melawan 330 suara koalisi Jokowi. Padahal koalisi pro-Jokowi sudah menarik Partai Persatuan Pembangunan ke dalam paket ini.
Sampai di sini, Kalla mengaku belum terlalu cemas. Dia yakin dominasi koalisi Prabowo di parlemen tak bakal menghambat kinerja pemerintah. Pembentukan undang-undang, misalnya, menurut Kalla, mesti dibahas parlemen bersama pemerintah. "Jika tak disetujui salah satu, ya, tidak jadi," ujar bekas Ketua Umum Golkar ini.
Ihwal penganggaran, Kalla mengingatkan parlemen tidak lagi berhak membahas hingga satuan tiga. Parlemen tak lagi mengurusi teknis proyek sehingga hanya tinggal bersepakat atau tidak dengan usul program pemerintah. Sedangkan terkait dengan pengawasan, Kalla justru senang pemerintah diawasi selama 24 jam penuh. Tapi dia sudah membayangkan kerepotan menteri-menterinya meladeni kerewelan Senayan. "Kalau dipanggil terus, salah-salah bisa interpelasi," kata Kalla.
Wakil Presiden periode 2004-2009 ini berpendapat salah satu faktor buntunya komunikasi politik dua kubu adalah hilangnya tokoh Taufiq Kiemas. Hanya, figur Taufik bukanlah sebab tunggal. Menurut Kalla, ada hal-hal tertentu dalam politik yang tak bisa dibicarakan dan dicairkan. Apalagi dia menganggap Megawati adalah orang yang amat memegang teguh prinsip. "Dulu, sewaktu Taufik menjadi Ketua MPR, tetap saja Mega tak mau bergabung dengan pemerintah."
Politikus Golkar, Poempida Hidayatullah, menilai Kalla sebenarnya bisa menjadi pemecah kebekuan komunikasi dua kubu yang berseteru. Namun peran Kalla terbatas karena posisinya tak merepresentasikan partai politik, tapi mewakili tokoh profesional. "Setiap langkahnya mesti atas keputusan bersama partai politik," ucap Poempida.
Sama-sama duduk di kursi wakil presiden, peran Kalla jauh berbeda ketika mendampingi Presiden Yudhoyono pada periode pertama pemerintahannya. Setelah memenangi pemilihan presiden, Kalla bergerak cergas. Politikus Golkar, Firman Subagyo, menuturkan, ketika itu dia diutus Kalla mendekati kader Golkar daerah. Tujuannya menggalang dukungan pemilik suara supaya Kalla bisa mengalahkan ketua umum inkumben Akbar Tandjung di Musyawarah Nasional Golkar 2004. "Saya diminta gerilya ke daerah," ujar Firman. Misi ini sukses.
Mulanya Golkar di bawah Akbar merupakan anggota Koalisi Kebangsaan, pengusung calon presiden Megawati-Hasyim Muzadi, oposisi terhadap pemerintah. Setelah dipimpin Kalla, sikap politik Golkar langsung berbelok. Tak hanya memimpin partai pemenang Pemilihan Umum 2004 itu, Kalla juga intens mendekati tokoh kritis PDI Perjuangan, seperti Panda Nababan. Keluwesan Kalla ini membuat parlemen menjadi relatif kalem.
Situasi sepuluh tahun lalu tersebut berbeda dengan yang dialami Kalla hari ini. Dia sadar sekarang tak punya kekuasaan di partai politik. Dinamika politik, kata Kalla, mengenal istilah take and give. Situasi ini makin runyam karena Jokowi juga bukan pengurus partai. Padahal setiap keputusan politik berada di tangan ketua umum. "Saya sering diajak berunding, tapi setelah minta tak bisa dikasih," tutur Kalla.
Fahmi Idris mengatakan Kalla makin terjepit karena Golkar memilih menjadi oposisi terhadap kadernya sendiri. Secara matematis, kuantitas kursi koalisi Prabowo juga lebih besar dibanding kursi koalisi Jokowi. Inilah sebabnya kubu Jokowi keteteran menghadapi manuver kubu Prabowo di Senayan. "Kalla tetap bakal berkomunikasi dengan partai sebelah," kata Fahmi.
Meski belum ada penugasan khusus soal itu, Kalla mengatakan akan melobi Golkar dan PPP. "Tidak ada yang mengerti Golkar selain saya," ujar Kalla. Terhadap PPP, Kalla masih menunggu terbentuk kepengurusan definitif seusai perpecahan antara kubu Ketua Umum Suryadharma Ali dan Sekretaris Jenderal Romahurmuziy. Menurut dia, partai berlambang Ka'bah itu tak bisa masuk ke kabinet jika masih terbelah. Di sisi lain, dia tak terlalu berharap kepada PAN karena mereka amat bergantung pada Demokrat. "Yang paling mungkin masuk, ya, PPP."
Wakil Sekretaris Jenderal PPP Syaifullah Tamliha mengatakan sempat bertemu dengan Kalla dua pekan lalu. Kubu Romahurmuziy juga demikian. Sebelum pemilihan pimpinan MPR, Tamliha diundang pimpinan partai koalisi Jokowi makan siang di restoran Italia di Hotel Mulia, Senayan. Hanya, mereka belum bersepakat apakah tetap di kubu Prabowo atau berbalik arah. "Ajakan koalisi tentu ada, tapi negosiasi kan tidak boleh emosional," tutur Tamliha.
Politikus Golkar, Agus Gumiwang Kartasasmita, yakin Kalla segera bergerak seusai pelantikan. Sejauh ini, kata dia, Kalla memilih pasif karena tak ada kewenangan yang ia miliki. Sejumlah politikus Golkar di parlemen, menurut Agus, menunggu arahan Kalla. Dia yakin situasi pada 2004 akan kembali terulang di periode ini. Menurut politikus yang dipecat Aburizal Bakrie ini, kekuatan Kalla di pemerintahan bisa menjadi daya tarik kader di daerah mendukungnya. "Kalla punya keluwesan menarik gerbong Golkar."
Kalla mengingatkan Golkar tak bisa jauh dari kekuasaan. Dia memilih menunggu musyawarah nasional untuk mengubah sikap politik Golkar. Perebutan kekuasaan partai bakal dimotori "generasi baru" Golkar. Karena itu, dia masih menahan diri untuk tak bermanuver hingga resmi duduk sebagai wakil presiden. "Setelah pelantikan, tentu ceritanya bakal lain," ujar Fahmi Idris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo