Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DOKTER perempuan itu pernah membuat para pemimpin bangsa naik pitam. Saat itu, republik ini baru melewati usia balita. Sulianti, dokter perempuan itu, yang baru pulang dari belajar tentang sistem kesehatan ibu dan anak dari London dan Swedia, mencetuskan ide bahwa Indonesia perlu menerapkan kontrol kelahiran untuk menekan angka kematian ibu. Ide itu dia sampaikan secara terbuka lewat siaran Radio Republik Indonesia, juga wawancara dengan Kedaulatan Rakjat pada 16 Agustus 1952. “Sebaiknya para ibu berani dan mau melakukan pembatasan kelahiran,” kata Sulianti dalam artikel berjudul “Bevolkingspolitiek Perlu di Indonesia, Beranikah Kaum Ibu Lakukan Pembatasan Kelahiran?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulianti mengimbau pemerintah mengembangkan sistem kesehatan masyarakat yang menyediakan layanan kontrasepsi. Imbauan itu berlatar kegelisahan Sulianti melihat tingginya angka kematian ibu dan bayi. Saat itu belum ada data statistik yang akurat menghitung seberapa tinggi angka tersebut, tapi staf kesehatan di klinik dan rumah sakit telah banyak menemukan kasus yang mengkhawatirkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendengar ide Sulianti tentang pembatasan kelahiran, Wakil Presiden Mohammad Hatta berang. Presiden Sukarno menegur. Menteri Kesehatan Johannes Leimena memanggil Sulianti. Pemikirannya dianggap rawan. “Waktu itu kampanye keluarga berencana tak diperkenankan Presiden Sukarno,” kata Sulianti seperti dikutip dari buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984.
Dalam buku Science, Public Health and Nation Building in Soekarno-Era Indonesia, Vivek Neelakantan menulis, pada masa itu Sukarno dengan lantang menyatakan bahwa negara muda ini dapat dengan mudah menanggung 250 juta populasi. Wartawan asing menjuluki Sukarno dengan istilah “pro-kelahiran”. Tingkat pertumbuhan penduduk berada pada angka 1 juta per tahun. Populasi 50 juta pada awal 1900 telah mencapai 80 juta pada 1955. Jawa makin padat dan ancaman kekurangan pangan di depan mata. Tapi pembatasan kelahiran tak pernah menjadi opsi solusi.
Menurut Neelakantan, salah satu alasan yang membuat isu ini sensitif adalah pemerintah Indonesia menganggap program perencanaan keluarga sebagai intervensi lembaga internasional yang dapat mengusik kedaulatan Indonesia. Sebenarnya, tulis Neelakantan, Sukarno cukup terbuka kepada ide pengendalian kelahiran untuk menurunkan angka kematian ibu. Namun, sebagai politikus, Sukarno tak bisa menyampaikan dukungannya secara terbuka karena masih banyak pemuka agama yang beranggapan bahwa pembatasan kehamilan menyalahi nilai moral. Begitu juga Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah bersuara tentang ancaman ketahanan pangan di tengah tingginya angka pertumbuhan penduduk tapi tak pernah menyinggung bahwa kontrol kelahiran dapat menjadi jalan keluar.
Adapun Hatta, meski pemikirannya sangat maju untuk urusan ekonomi, masih menganggap topik kontrasepsi sebagai urusan pribadi rumah tangga yang tak layak dibahas di depan publik. “Hatta memerintahkan dokter Sulianti berhenti membicarakan perencanaan keluarga dan menahan diri dalam tugasnya sebagai Pejabat Kepala Bagian Kesejahteraan Ibu dan Anak,” tulis Terence H. Hull dalam bukunya, People, Population, and Policy in Indonesia.
Menurut Hull, Hatta menilai perintahnya masuk akal secara moral. Namun Sulianti menganggapnya kontradiktif. Nyatanya, protes terhadap ide pembatasan kelahiran ini muncul di mana-mana. Dalam catatan Hull, sebuah konferensi perempuan pada Oktober 1952 yang mengundang ahli kesehatan dan pemuka agama Islam dan Katolik mencapai konsensus: “Penggunaan kontrasepsi ditolak. Dalam bentuk apa pun, dengan alasan apa pun.”
Gabungan Organisasi Wanita Yogyakarta juga menolak pandangan Sulianti. Mereka menganggap pembatasan kelahiran melanggar hak asasi manusia, memicu aborsi, memperluas pelacuran, dan merusak moral. Reaksi keras itu membuat Sulianti memperhalus kampanyenya. Meski begitu, di klinik kesehatan keluarga tempatnya berpraktik, Sulianti meyakinkan para pasien bahwa layanan kontrol kelahiran dapat disediakan lewat jalur swasta. “Kegiatan klinik ini sudah terarah kepada pembatasan anak,” tutur Sulianti dalam buku Apa & Siapa terbitan Grafiti Pers.
Hanya, layanan yang dapat Sulianti berikan di kliniknya sangat terbatas karena sulit sekali untuk memperoleh suplai alat kontrasepsi dari luar negeri. Ia hanya dapat menyarankan metode “periode aman” dalam berhubungan seksual. Situasi itu juga dihadapi banyak dokter lain yang mencoba mengkampanyekan gagasan perencanaan kehamilan. Dalam People, Population, and Policy in Indonesia disebutkan bahwa hanya orang kaya yang dapat mengakses kontrasepsi seperti intrauterine device atau IUD, yang sudah jamak digunakan di Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan perempuan dengan kemampuan finansial terbatas harus puas dengan metode Indian, yaitu memasukkan selembar kapas yang direndam dalam air garam atau minyak kelapa dan tersambung dengan tali ke vagina untuk menghalangi masuknya sperma. Kapas dapat dikeluarkan setelah berhubungan dengan cara menarik talinya.
Perhatian Sulianti pada kesejahteraan ibu dan anak sudah ada sejak dia mengawali karier di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo setelah lulus dari Geneeskundige Hogeschool, Batavia, pada 1942. Setelah menikah dengan suami pertamanya, dokter Sukonto, Sulianti berpindah ke Yogyakarta dan membuka klinik kesehatan keluarga. Perencanaan keluarga penting bagi Sulianti karena, “Saya lebih senang mencegah ketimbang mengobati suatu penyakit,” ujarnya dalam buku Apa & Siapa.
Saat belajar di University of London dengan beasiswa dari UNICEF pada 1950-1951, Sulianti makin mendalami kesejahteraan ibu dan anak. Dia juga sempat mengunjungi Swedia, Norwegia, Amerika Serikat, dan Malaysia untuk mempelajari pelaksanaan program perencanaan keluarga di negara-negara tersebut. Mengantongi Certificate of Public Health Administration dari University of London, Sulianti pulang ke Indonesia dan mendapat posisi Kepala Jawatan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan di Yogyakarta.
Julie Sulianti Saroso, saat menjadi Presiden World Health Assembly Geneva, 1973. Dok. Keluarga
Meski di dalam negeri idenya menuai kontroversi dan tersendat, Sulianti mendapat banyak pengakuan dari lembaga kesehatan internasional. Selama lima tahun sejak 1955, Sulianti adalah anggota Expert Committee of Maternity and Child Health World Health Organization. Sebagai anggota komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sulianti juga pernah dikirim ke Afrika Barat dan Afrika Timur untuk melaporkan program pengembangan komunitas pada 1956.
Kampanye perencanaan keluarga itu baru menemukan titik terang saat Soeharto menjadi presiden. Dalam People, Population and Policy in Indonesia, Hull mempertanyakan motif Soeharto. Menurut Hull, kepadatan penduduk awalnya tak dianggap sebagai masalah oleh Soeharto, yang justru ingin meningkatkan dan memperluas persebaran populasi untuk modal membuka lahan pertanian. Tapi Soeharto berubah pikiran karena donor internasional skeptis terhadap kondisi pertumbuhan penduduk Indonesia. Soeharto, tulis Hull, akhirnya menerima saran dari teknokrat dan donor untuk menandatangani World Leaders’ Declaration on Population pada Desember 1967. “Pada September 1968, Soeharto secara terbuka mendeklarasikan bahwa perencanaan keluarga akan mendapat bantuan, dukungan, dan perlindungan penuh dari pemerintah,” ucap Hull dalam bukunya.
Apa yang telah disuarakan Sulianti sejak 1952 terwujud juga 16 tahun kemudian. Lembaga Keluarga Berencana berdiri pada 17 Oktober 1968. Lembaga ini menjadi cikal-bakal Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang masih bertahan hingga hari ini.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo