Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Slamet Iman Santoso menguji pengetahuan calon menantunya.
Eyangnya mengirimkan katebelece agar Slamet bisa diterima di sekolah Eropa.
Slamet Iman Santoso menolak menjadi pamong dan juru ukur.
BERTANDANG ke rumah calon mertuanya di Jalan Cimandiri, Menteng, Jakarta Pusat, pada 1970-an, Lucky Surjadi Slamet seperti menjalani ujian praktik. Kala itu, mahasiswi jurusan farmasi di Universitas Indonesia yang berpacaran dengan putra keenam Slamet, Surjadi Slamet, tersebut dihadapkan ke berbagai tanaman. Slamet lalu menanyakan kandungan obat di pohon-pohon yang ada di rumahnya. “Saya seperti menghadapi dosen sendiri,” kata Lucky pada Kamis, 12 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan itu mengenang mertuanya sebagai pribadi yang hangat. Lucky selalu teringat pesan dekan pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu soal cara mendidik anak. Salah satunya supaya dia dan suaminya tak terlalu protektif terhadap anak-anak. Misalnya anak-anak harus lebih sering bermain di alam dan melepas sandal. Tujuan bertelanjang kaki itu adalah meningkatkan imunitas mereka. Putra ketiga Slamet, Suryono Slamet, mendapat pesan serupa. Menurut Suryono, bermain di luar rumah sudah menjadi tradisi di keluarga besar Slamet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suami Lucky, Surjadi, mengatakan ayahnya juga mendorong anak-anaknya bermain dan menjadi bandel. “Kalau saya kurang bandel, disuruh lebih bandel lagi,” ujarnya. Namun Slamet bisa menjadi tegas ketika anak-anaknya melanggar aturan. Surjadi mengatakan ayahnya memang memiliki karakter jail dan humoris.
Soal kejailan ini juga disinggung dalam autobiografi Slamet berjudul Warna-Warni Pengalaman Hidup R. Slamet Iman Santoso. Contoh kebandelan itu dia ceritakan saat bersekolah di bewaarschool, sekolah setingkat taman kanak-kanak di bagian timur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Suatu kali sekolah itu kedatangan dua laki-laki yang berperan sebagai Sinterklas dan Piet Hitam, tapi para guru tak memberi tahu para murid. Pria yang menjadi Piet membawa lidi dan karung goni, lalu berlagak memukul teman-teman Slamet. Dia tak terima dan merebut sapu tersebut. Keributan berakhir setelah gurunya menjelaskan siapa tamu hari itu.
•••
SLAMET Iman Santoso lahir pada 7 September 1907 di kawasan pegunungan Dieng di Desa Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah. Ayahnya seorang mantri polisi di Kejajar dan belakangan naik pangkat sebagai asisten wedana—daerah setingkat kabupaten—di Banjaran, Jawa Tengah. Dari cerita orang tuanya, seperti tertulis dalam Warna-Warni Pengalaman Hidup R. Slamet Iman Santoso, kelahiran Slamet menimbulkan kehebohan. Sebab, dia lahir dengan ketuban masih utuh. Umumnya ketuban akan pecah bersamaan dengan lahirnya bayi.
Semua orang yang menanti kelahiran itu panik dan berteriak-teriak. Lalu datanglah seorang perempuan Belanda bernama Nyonya Tambi sambil membawa gunting. Nyonya Tambi langsung memotong ketuban itu. Saat bersekolah kedokteran di The School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau STOVIA, Slamet mengetahui nama jenis kelahirannya. “Namanya sturzgburt,” katanya.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Profesor Slamet Iman Santoso. Dok. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Rampung di bewaarschool, Slamet melanjutkan pendidikan di Europeesch Lagere School Magelang, sekolah untuk orang Belanda dan kalangan terpandang. Sebenarnya dia hanya berhak masuk ke Hollandsch-Inlandsche School atau sekolah untuk pribumi karena bapaknya hanyalah asisten wedana. Eyangnya, yang menjadi mantri guru Jawa di Opleding School Voor Inlandsche Ambtenaren, sekolah pendidikan untuk pegawai bumiputra, mengirimkan katebelece ke Residen Kedu. Karena eyang Slamet sudah mengabdi puluhan tahun, Residen Kedu memenuhi permintaan itu dengan syarat. “Saya diuji selama dua hari.”
Lulus tes tersebut, Slamet naik ke kelas I pada Juli 1913. Slamet mengenang, meskipun lebih tinggi ketimbang sekolah pribumi, sekolahnya itu berisi mereka yang berasal dari kelompok sosial rendah. Namun, dalam bukunya, Slamet mengaku menjalani pendidikan yang menerapkan disiplin dan seleksi ketat. Para murid diwajibkan menulis, membaca, dan berbicara dalam bahasa Belanda. Tulisan mereka pun harus rapi dan bagus. Begitu pula saat membaca dan berbicara, setiap kata harus diucapkan sepatah demi sepatah. Guru-guru pun selalu mengawasi mereka, dari kerapian pakaian hingga kelakuan.
Di sekolah itu, usia para murid bervariasi, dengan sepertiganya berusia 18 tahun. Slamet yang termasuk bocah kerap dipalak oleh murid lain yang lebih tua. Separuh uang jajannya sebesar segobang atau dua setengah sen habis karena pemerasan, sering untuk membeli kembang gula. “Saya kalah secara fisik dan selalu dikeroyok,” tulis Slamet. Empat tahun bersekolah, Slamet baru terbebas dari pemerasan, setelah dia meminta pertolongan dari Fpyrt, kawannya yang berbadan besar.
Kemampuan anak-anak yang diterima di sekolah itu pun bervariasi. Dari 40 murid, hanya 17 orang yang lulus hingga kelas ketujuh. Slamet tak hanya lulus, tapi juga dikenal cerdas. Di kelasnya ada noni Belanda yang selalu juara satu. Terpacu mengalahkan perempuan tersebut, Slamet belajar dengan lebih serius. Saat penerimaan rapor, Slamet sukses mengalahkan noni tersebut.
Selepas sekolah dasar, Slamet melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Magelang pada 1920. Saat itu, pergerakan kepemudaan di berbagai daerah mulai bermunculan. Slamet menuturkan, selalu muncul perasaan berbagi dan saling melindungi di kalangan pelajar Jawa di sekolahnya. Karakter ini kemudian terbawa hingga Slamet dewasa dan tua. “Pengaruh Jawa sangat kuat dalam karakter ayah saya,” kata Surjadi, putra keenam Slamet.
Setelah itu, Slamet melanjutkan pendidikan di Algemeene Middelbare School B Yogyakarta. Lulus dari sekolah ini, sebenarnya Slamet diwajibkan menjadi pamong seperti ayahnya, tapi dia menolak. Ayahnya lalu bersurat kepada asisten residen, yang kemudian mengirimkan utusan ke rumah Slamet. Dia menjelaskan ingin menjadi insinyur atau ahli matematika. Namun, Slamet menyadari, orang tuanya tak memiliki uang untuk menyekolahkannya ke Belanda.
Slamet kemudian memilih masuk STOVIA atau sekolah pendidikan dokter untuk bumiputra. Rupanya, pemerintah Belanda masih tetap ingin dia menjadi pamong. Mereka mengirimkan utusan dan menawarkan beasiswa bersekolah di Wageningen University di Provinsi Gelderland, Belanda. Alasannya, Slamet memiliki nilai sempurna untuk ilmu ukur. Namun Slamet menolak. Kata dia, “Seorang landmeter pekerjaannya kalayapan saja, ngukur-ngukur tanah.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo