Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Moewardi diculik oleh empat pemuda yang diduga merupakan anggota Front Demokrasi Rakyat yang berteriak seolah-olah ada seseorang yang terluka parah di halaman rumah sakit.
Sehari sebelumnya, ia sudah diberi peringatan agar tidak berpraktik dulu dan dijaga oleh pengawal pribadi, tapi ia mengabaikannya.
Kedekatan politiknya dengan Tan Malaka hingga membentuk Gerakan Revolusi Rakyat dianggap ancaman oleh Front Demokrasi Rakyat yang belakangan menjadi Partai Komunis Indonesia.
TAK seperti biasa, Moewardi berpamitan dua kali setelah menyantap sarapan kepada istrinya, Soesilowati. Hari itu 13 September 1948. Pada pukul 09.00 dia pamit karena andong milik Perguruan Tinggi Klaten, tempat ia mengajar, sudah menunggu untuk mengantarnya ke tempatnya berpraktik, Rumah Sakit Jebres, Surakarta, Jawa Tengah. Dokter 41 tahun itu mengecup kening istrinya, lalu dua anak mereka yang masih berumur dua dan satu tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru beberapa langkah melewati pintu rumah di Jalan Mataram (sekarang Jalan Brigjen Slamet Riyadi), Surakarta, Moewardi balik badan. Ia menghampiri Soesilowati dan mencium kembali kening istri dan kedua anaknya. “Wis, ya, Jeng,” katanya. Soesilowati tersenyum. “Kok, seperti pengantin baru saja,” tuturnya seperti tertera dalam buku Dr. Moewardi yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1981.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banteng Witjaksono, anak dua tahun yang dikecup Moewardi, mengungkapkan dari cerita ibunya, pamit pagi itu adalah pamit terakhir ayahnya. Banteng kini 74 tahun. Ia anak keenam dari tujuh bersaudara. Kakak-kakak dan ibunya tak pernah tahu apa yang terjadi hari itu, termasuk pasien yang konon menunggu Moewardi di rumah sakit untuk dioperasi.
Rushdy Hoesein, dokter lulusan Universitas Indonesia yang menjadi sejarawan, mengumpulkan kepingan-kepingan cerita di sekitar peristiwa hari itu dengan mewawancarai Soesilowati dan anak-anaknya serta para asisten dokter di Rumah Sakit Jebres. Menurut Rushdy, pasien yang menunggu Moewardi di Jebres itu adalah seorang anak yang tengah sekarat karena terluka parah.
Rupanya, bukan hanya pasien yang menunggu. Seorang pemuda juga tengah menanti Moewardi di teras rumah sakit. Dari para juru rawat Rushdy mendengar cerita bahwa pemuda tersebut mengajak Moewardi pergi sebelum ia masuk ke klinik. “Saya mau operasi pasien dulu,” ujar Rushdy menirukan Moewardi, seperti dituturkan para saksi.
dr Moewardi (ketiga dari kiri) bersama rekan dokter di Solo, 1947. Dok. Keluarga
Baru saja selesai ia mencuci tangan, pintu kamar operasi diketuk kembali. Kali ini ada empat pemuda. Mereka berteriak, “Ada orang luka parah di luar.” Tanpa curiga, Moewardi bergegas menuju halaman rumah sakit. Di sana ada jip hijau yang menunggu. Hanya ada sopir. Tak ada orang yang luka parah.
Menurut Rushdy, empat pemuda itu menodong Moewardi dengan pistol. Mereka menggiringnya masuk ke jip, lalu menghilang. Tak ada yang tahu siapa para pemuda itu. Dokter dan juru rawat juga tak mengenali jip hijau itu. Apatah lagi urusan mereka membawa-bawa pistol dan menodong dokter yang sedang berpraktik.
Sejak hari itu, Moewardi lenyap. Nasibnya tak ada yang tahu. Jasadnya tak ditemukan.
“Penculikan” itu membikin geger. Kabar menghilangnya dokter yang aktif di politik itu segera menyebar di kalangan aktivis Surakarta. Moewardi adalah Panglima Barisan Banteng dan Ketua Gerakan Revolusi Rakyat. Soediro, Wakil Panglima Barisan Banteng, waktu itu menjabat Residen Surakarta. Ia memerintahkan pasukan mengejar jip itu. “Stop dan jika tidak berhenti tembak saja,” Soediro memberikan perintah yang keras dan tegas.
Kepada para sejarawan yang mewawancarainya, Soesilowati mengingat-ingat percakapan terakhir dengan suaminya. Sebelum makan sarapan, Moewardi memberinya uang untuk membeli seprei. Ia bercerita bahwa dua anak buah terdekatnya di Barisan Banteng telah dibunuh. Soesilowati pun mengingatkan Moewardi supaya mengingat pesan seorang tentara agar sang suami tak ke rumah sakit dulu dan tinggal di Markas Besar Barisan Banteng.
Waktu itu, kata Rushdy, sudah ada desas-desus bahwa Moewardi masuk daftar culik para pemuda komunis. Sebagai pengikut Tan Malaka di Persatuan Perjuangan, Moewardi salah satu yang keras menentang hasil Perundingan Linggarjati 15 November 1946 dan segala kolaborasi dengan Belanda tentang status kemerdekaan Indonesia.
Pemerintah, terutama di bawah kabinet Perdana Menteri Sjahrir, berada di seberang kelompok ini. Menurut kelompok Moewardi, Sjahrir dan para pejabat cenderung pro kepada Belanda karena Belanda mengakomodasi keinginan pemerintah dalam pengakuan wilayah merdeka. Sementara itu, kelompok Sjahrir menilai tuntutan grup Tan Malaka susah dieksekusi.
Moewardi mengabaikan saran istri dan orang-orang lain di sekitarnya. Ia tetap berpraktik di rumah sakit dan tinggal di rumahnya. Tiap kali diingatkan soal ancaman kepadanya, ia selalu berseloroh bahwa dua tahun sebelumnya, ketika ditangkap Menteri Dalam Negeri Kabinet Sjahrir I, Soedarsono, ia segera dibebaskan. Pembebasan itu terjadi berkat campur tangan Jenderal Soedirman dan Oerip Soemohardjo.
Soesilowati mengingat, dalam dua tahun sebelum Moewardi menghilang, suaminya itu agak intens bertemu dengan sejumlah tokoh penentang Perundingan Linggarjati, seperti Tan Malaka, Roestam Effendi, dan Maroeto Nitimihardjo. Tuntutan mereka cuma satu: Indonesia merdeka 100 persen. Sedangkan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin cenderung setuju terhadap tawaran Belanda bahwa wilayah Indonesia hanya Jawa, Sumatera, dan Madura.
Pada 29 Januari 1948, Amir lengser dari pemerintahan ketika jabatan perdana menteri diisi Mohammad Hatta. Amir juga gagal menjadi Menteri Pertahanan karena Hatta merangkap jabatan ini. Amir lalu mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 26 Februari 1948. Musso, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) yang baru pulang dari Uni Soviet, bergabung dengan FDR karena gagal mendekati kelompok Tan Malaka.
Menurut Rushdy, tensi politik yang memanas itu membuat Tan Malaka menyarankan Moewardi membentuk Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Berbasis di Surakarta alias Solo, gerakan ini dikehendaki Tan menjadi penyeimbang gerakan kelompok pendukung Linggarjati. “Saat itu ada informasi Solo akan dibuat ‘Wild West’, kancah pertempuran terbuka untuk mengalihkan gerakan yang dirancang Amir dan Musso di Madiun,” ucap Rushdy.
Moewardi bersama dua koleganya mendirikan Gerakan Revolusi Rakyat pada 6 Juni 1948. Kolega-koleganya cemas terhadap posisi Moewardi yang keras menentang kelompok Amir Sjarifuddin yang sudah bergabung dengan grup Musso yang komunis. Analisis Rushdy tentang muslihat Musso mengalihkan perhatian ke Solo agar ia bisa merencanakan Peristiwa Madiun ada benarnya.
Setelah peristiwa penjemputan di Rumah Sakit Jebres itu, kolega-kolega Moewardi di Barisan Banteng ataupun GRR mencari keberadaannya. Residen Surakarta Soediro yang paling aktif bersama Sri Sejati, anak tertua Moewardi, yang waktu itu berusia 15 tahun. “Soediro ini yang menyuruh Moewardi bawa pistol ke mana-mana, tapi tak diacuhkan,” kata Rushdy.
Peristiwa Madiun meledak lima hari setelah penculikan Moewardi. Musso memproklamasikan Republik Soviet Indonesia dengan mengangkat diri sendiri sebagai presiden dan Amir Sjarifuddin sebagai perdana menteri. Peristiwa yang acap disebut sebagai pemberontakan PKI itu menelan korban 36 ribu orang, termasuk Musso, yang terlibat baku tembak dengan tentara Divisi Siliwangi sebulan kemudian.
Pencarian Moewardi diteruskan anak keduanya, Adi S. Moewardi, saat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Solo. Namun ia tak menemukan jasad ayahnya hingga kini. Presiden Sukarno mengangkat Moewardi sebagai pahlawan nasional pada 1964.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo