Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA pandemi, banyak di antara seniman yang justru menemukan waktu luang untuk memikirkan kembali proses berkaryanya dan menggali ide-ide baru. Seniman kembali mengakrabi studionya, mencoba beragam metode yang berbeda dengan biasanya, justru karena keterbatasan untuk pergi keluar. Proyek Nindityo Adipurnomo terbaru barangkali dapat ditunjuk sebagai salah satu yang lahir selama situasi pandemi ini, berbasis pada kerja studio yang elaboratif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nindityo merupakan satu dari sedikit seniman laki-laki yang banyak mengangkat persoalan tubuh dan gender. Salah satu yang barangkali banyak muncul pada awal karier keseniannya adalah seri sanggul dari rotan, yang merupakan kritik sang seniman atas budaya patriarki dalam masyarakat Jawa, dengan sanggul sebagai salah satu metaforanya. Pada tahun ini, Nindityo melahirkan satu proyek seni baru yang cukup provokatif dan, lagi-lagi, berangkat dari kritik atas sistem patriarki dalam peradaban manusia. Judul proyek ini adalah “Investigation on Male/Female Gaze”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek ini dipresentasikan secara terbatas sebagai sebuah “studio terbuka”, menggunakan ruang pamer Cemeti - Institute for Art and Society di Yogyakarta untuk memajang karya pada 15 Juli-5 Agustus 2020. Memasuki ruangan, pengunjung dihadapkan pada gambar-gambar cat air di atas kertas, cukup banyak jumlahnya, dengan beragam ukuran, seperti menelusuri lorong panjang.
Selera Cowok karya Nindityo Adipurnomo dalam pameran bertajuk Investigation on Male/Female Gaze, di Ruang Pamer Cemeti, Yogyakarta. Alia Swastika
Nindityo menyebutkan pengunjung yang mendaftar dalam jumlah terbatas ini tidak diajak dalam kerangka menonton pameran, tapi memasuki sebuah ruang setting film. Selama tiga minggu masa presentasi, memang sepuluh hari di antaranya digunakan Nindityo untuk menjalankan tahap lanjutan dari proyek ini, yaitu membuat film atau video seni. Meski demikian, karena ruang itu sendiri merupakan sebuah galeri dan lukisan-lukisan dipajang layaknya dalam pameran, tetap saja sulit bagi pengunjung, setidaknya ini yang saya rasakan, melepaskan diri dari kesan menonton pameran.
Para pemerhati kajian media feminis dengan segera akan memahami bahwa judul proyek mengkonfrontasi satu istilah konseptual kritis yang dimunculkan oleh Laura Mulvey, pemikir kajian budaya asal Inggris, yaitu male gaze (tatapan lelaki). “Sebenarnya saya tidak berangkat dengan perspektif yang langsung teoretis seperti itu. Proyek ini lahir dari sebuah pengalaman kecil, yang saya kira penting, dan kemudian saya refleksikan dalam posisi saya sebagai seniman,” demikian penjelasan Nindityo, seniman kelahiran Semarang, 1961.
Nindityo kemudian mengisahkan bahwa ide awal muncul ketika Mella Jaarsma, istrinya, yang juga perupa, pulang ke rumah membawa bingkisan berisi jilbab hadiah dari arisan di kampung tempat mereka tinggal. Nindityo kemudian iseng saja mengenakan jilbab itu pada dirinya sendiri. Kebetulan juga kepalanya gundul, ia seolah-olah ingin menutupi kepalanya. Mella yang melihat kejadian itu kemudian mengambil telepon selulernya dan mulai memotret Nindityo. Nindityo melihat gambar-gambar dirinya mengenakan jilbab tersebut. “Entah mengapa, ketika mengamati lagi foto-foto itu, insting seniman saya bekerja karena saya sangat terpanggil dengan visualitas yang muncul di sana. Seorang lelaki berjilbab!”
Saat membangun idenya, Nindityo menemukan artikel wawancara dengan Marlene Dumas, seniman Afrika Selatan yang bermukim di Belanda (yang kebetulan menjadi mentor ketika Nindityo belajar di Rijksakademie Amsterdam pada awal 1990-an), mengenai keinginan Dumas membalikkan cara pandang umum yang berbasis pada tatapan laki-laki menjadi tatapan perempuan. Nindityo tampaknya menemukan satu titik penghubung penting antara eksperimentasi dirinya (laki-laki) yang memakai jilbab kemudian difoto oleh Mella (perempuan) dan apa yang disampaikan Dumas. Tindakan Mella memotret itu sudah dengan sendirinya menunjukkan kuasa tatapan perempuan terhadap tubuh laki-laki, sebagai obyek. Dari situlah Nindityo akan menjadikan tatapan perempuan ini sebagai frasa dan pendekatan kunci bagi proyek seninya; sebuah eksperimen tempat dia menyediakan dirinya untuk dieksploitasi oleh (tatapan) mata para perempuan, atau laki-laki jika ia non-heteroseksual. Dalam catatan saya, yang menarik juga bagaimana tatapan perempuan diwujudkan melalui interaksi langsung dan direkam menggunakan teknologi sebagai alat.
“Saya tertarik pada proses terbuka dalam penciptaan. Karena itu, saya membuat pengumuman terbuka bagi perempuan/lelaki non-hetero yang tertarik terlibat dalam proyek ini. Mereka saya minta mengarahkan saya dalam bermain dengan jilbab, dalam gaya apa pun yang mereka inginkan, menjadikan saya sebagai obyek yang bisa dikuasai dan dieksploitasi.”
Bagi Nindityo, penggunaan jilbab pada proyek ini tidak serta-merta merupakan kritik terhadap institusi agama. Nindityo menempatkan jilbab seperti halnya konde, yang digunakan dalam proyek-proyek sebelumnya. Tentu saja ia sendiri menyadari akan selalu ada tafsir bahwa jilbab menjadi simbol kritik atas institusi dan perilaku keagamaan tertentu, terutama karena makna dan konteks sosial-politik yang sudah terkandung di dalamnya. Tapi, dalam pandangan saya, tafsir semacam itu bisa jadi hanya merupakan efek samping(an) dari narasi besar yang hendak dibongkar Nindityo dalam proyek ini.
“Ini suatu permainan fashion dan permainan fotografi (selfie). Hasil atas permainan ini adalah komposisi artistik pada bentuk, warna, ungkapan raut muka, variasi bebas menerapkan ulang desain jilbab/hijab di atas kepala dari tubuh laki-laki, beserta seluruh peluang asosiatif yang bekerja atas semua ini.”
Dari panggilan terbuka itu, Nindityo mendapatkan tujuh relawan yang bersedia terlibat dan akhirnya menjalani sesi pemotretan, termasuk Mella Jaarsma, yang disebutnya sebagai relawan pertama. Beberapa relawan lain adalah laki-laki non-heteroseksual, yang membuat perdebatan tentang tatapan berbasis gender ini menjadi sesuatu yang lebih kompleks dan berlapis. Bersama setiap relawan, Nindityo menggelar sesi pemotretan di studionya. “Sekali lagi, partisipan itu benar-benar mengarahkan gaya dan cara saya mengenakan jilbab dan berpose sesuai dengan imajinasi dan bayangan mereka. Entah saya obyek hasrat, obyek benda artistik, ataupun tafsir lain.” Meskipun demikian, Nindityo sadar bahwa selama proses pemotretan ia pun memandang pemegang kamera sehingga proses saling pandang itu juga memunculkan kontestasi oposisi biner tatapan laki-laki (male gaze) versus tatapan perempuan (female gaze) yang terjadi secara alami.
Selera Cowok, karya Nindita Adipurnomo di Ruang Pamer Cemeti, Yogyakarta. Alia Swastika
Ada ratusan foto yang dihasilkan dari tujuh sesi pemotretan tersebut. Dari sini, Nindityo memilih beberapa gambar yang kemudian menarik untuk ia pindahkan ke atas kertas dan dilukis dengan media guache, sebuah media yang memang sepertinya menjadi ciri khas kekaryaan Nindityo. Di sebuah dinding lorong, Nindityo menempelkan hasil foto para partisipan dengan mencetaknya dalam bentuk kacamata, sebuah metafora yang jelas dari konsep “tatapan”. Beberapa citra foto dan gambar itu menunjukkan seorang Nindityo yang menyerahkan diri dalam arahan partisipan eksperimennya, bahkan kadang hingga nyaris telanjang.
Selama mencermati 70 gambar yang dipajang, terus terang saya sempat terpukau oleh citra auratik pada gambar-gambar itu; dibuat dengan penguasaan keterampilan tingkat tinggi, dengan imajinasi yang nyaris sempurna atas komposisi dan fantasi realitas, dan ide pembalikan tatapan yang provokatif. Beberapa gambar menunjukkan kepekaan mata fotografer dalam mengimajinasikan pose seorang laki-laki, gestur-gestur yang menunjukkan sisi femininitas tertentu, atau pose seorang laki-laki yang terpojok, tampak kaku dan kurang nyaman.
Nindityo menciptakan gambar itu dengan kepekaan kesenimannya yang sesekali menampilkan sketsa dengan pensil di sela gambar-gambar berwarna tersebut. Sungguh menjadi sebuah godaan untuk datang dan hanya menikmati “keindahan” gambar-gambar itu saja. Tapi, karena Nindityo menyebutkan bahwa presentasi ini bukan pameran, proses diskusi dengan Nindityo tentang proses dan subyek gambar sendiri merupakan sebuah cara untuk mempertanyakan dan memproduksi pengetahuan.
ALIA SWASTIKA, PENGAMAT SENI RUPA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo