DI tepian Danau Maninjau, Sumatera Barat, Tahun Kunjungan Indonesia berbuah. Adalah Helmut Heinz Horst Muller, 62 tahun, sudah menyunting Ureh, 35 tahun. Janda berkulit hitam manis ini warga Desa Pasar Maninjau, Kecamatan Tanjungraya. Helmut, duda dari Peine, Hannover, Jerman, enam bulan terakhir menetap di penginapan "Palanta". Ia mengaku jatuh hati kepada Maninjau lima tahun silam. Alasannya: udara di sini bersih, sejuk, kehidupannya damai, biaya hidup murah. Ketika visanya habis, dia memperpanjangnya ke Singapura, kemudian balik lagi ke penginapan yang sama. Hanya Maninjau tujuannya. Selebihnya, leha-leha, atau berenang di danau. Ini dirasakan oleh pensiunan pegawai pos itu beda dengan di Jerman, yang udaranya tercemar dan biaya hidup terlalu tinggi. "Jerman tidak cocok lagi buat orang seusia saya," katanya, bak Malin Kundang. Di "Palanta" ia mengontrak kamar, dan meminjamkan Rp 5 juta pada pemilik penginapan, Rangkayo Sorda, untuk perbaikan rumah itu. Tapi di situ pula ia mengamati Ureh yang bekerja sebagai juru masak dengan upah Rp 1.500 sehari. "Ureh baik, rajin, jujur. Saya mencintainya," kata Helmut kepada Fachrul Rasyid dari TEMPO. Perkawinan mereka, awal Maret lampau, direstui kedua keluarga. Malah lima anak Helmut -- semua sudah bekerja -- mengirim ucapan selamat, meski belum kenal ibu baru mereka. Dan sesuai dengan adat, semenda (sumando) baru ini bermukim di rumah pihak perempuan. Setelah menikah, nama Helmut diganti Helmi. Namun, pasangan hitam-putih ini kemudian jadi gunjingan. Juga, camat melayangkan surat panggilan, ingin tahu kewarganegaraan Helmut, minta bukti surat nikah dari KUA, siapa yang mengkhitankan, dan keterangan tentang Islam-nya dia. Selain itu, tersiar protes kalangan ninik mamak, menyoalkan gelar Sutan Mancayo di belakang nama Helmut. Sebab, gelar pusaka kaum Chaniago itu tidak boleh sembarang diberikan. Lebih parah lagi, ada pengaduan ke polisi: pasangan itu kumpul kebo. Toh pihak keluarga Ureh memilih diam. Bagi mereka, kehadiran Helmut bagaikan paman (mamak) kaya yang pulang dari rantau. "Ketika keluarga kami susah, siapa mau tahu? Sekarang, banyak saja yang hiruk," cetus anggota keluarga Ureh. Helmut belum bisa berbahasa Minang, tapi paham membaca keadaan. Istri dan dua anak tirinya diboyongnya ke rumah kontrak. Tapi ini tak meredakan gunjingan. Malah pihak berwajib siaga mengamati rumahnya, karena ada yang ingin memberi "pelajaran" kepada sumando asing itu. Wajar, perlindungan diberikan. Mereka menikah menurut aturan. Cuma mereka nikah di desa lain. Surat masuk Islam dan khitannya Helmut sah. Camat Tanjungraya, Mairunding Panggabean, gembira bahwa urusan itu sudah jelas. Dan persoalan tentang gelar itu bisa diselesaikan secara baik. "Saya punya gelar Sutan Rajo Intan, ya, setelah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku," katanya. Makanya, ia sarankan mereka mengadakan pesta (baralek) tanda menikah. Helmut bukannya tak punya rencana. Jika piutang tadi diterima kembali, ia berniat membeli tanah dan membuat rumah untuk Ureh. Bahkan hidung istrinya akan dimancungkan, dan giginya yang sudah separuh ompong itu mau ditambalnya di Singapura. Mereka juga bakal melancong ke Jerman. Tapi siapa tahu nama Ureh nanti digantinya menjadi Ulrich? Hihi, namanya ya senang sama senang. "Itu rencananya, saya tak minta apa-apa. Saya tahu diri, saya ini miskin," kata Ureh. Itu sebabnya sejak semula para pegawai penginapan tak percaya bahwa Helmut serius naksir Ureh. "Tuan mau menikah dengan Ureh?" tanya pegawai hotel. "Ya," sahut Helmut. "Bagus. Tuan kami kasi gelar Sutan Mancayo," ujar si pegawai, bergurau. Gelar tonggok-tonggok itulah yang beredar ke mana pun Helmut pergi. Bahkan sampai di Bukittinggi, ada pemuda yang menyapanya dengan Sutan Mancayo. "Jadi, bukan keluarga kami yang memberi gelar itu," kata Ureh, yang nama aslinya Yuniar. Ia tamat SD. "Buat saya, Sutan atau Mancayo, tak jelas bedanya. Sebut saja Helmi, saya lebih senang," kata Helmut, eh, Engku Helmi, sambil membetulkan sarungnya yang sering tagarebeh, kedodoran. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini