Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kuningan

Di jakarta dan bogor, gedung-gedung sekolah yang punya sejarah sudah akan menyingkir ke tempat lain karena telah menjadi tempat yang berharga sekelas kuningan, daerah segitiga emas di jakarta.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kuningan ANDI HAKIM NASOETION ARKHIMEDES berteriak Eureka dan lari keluar dari bak mandi, telanjang bulat. Ia gembira bukan main. Betapa tidak, karena kalau ia tak dapat membedakan antara emas dan loyang mahkota rajanya, kepalanyalah yang akan melayang. Sewaktu ia berendam, diamatinya air yang tumpah dari bak sebanyak volume tubuhnya yang mendesak air. Pengamatan itu membuatnya dapat menentukan volume logam yang membentuk mahkota rajanya. Dengan membandingkan bobot mahkota itu dengan segumpal emas murni yang sama volumenya, ia kemudian menemukan bahwa mahkota rajanya itu lebih ringan. Oleh karenanya, ia pastikan mahkota terbuat dari loyang. Maka, selamatlah kepalanya. Sebaliknya, kepala si pandai emas -- - pembuat mahkota -- yang curang itulah yang melayang. Di Jakarta, segitiga emas terletak di Kuningan. Sementara itu, untuk membedakan dengan jelas, bahwa yang dimaksud dengan kuningan adalah campuran dua jenis logam atau lebih, maka apa yang biasanya disebut sehari-hari dengan istilah kuningan itu dinamakan loyang, suatu kata yang hampir punah, sejalan dengan hampir punahnya penutur bahasa Melayu di Indonesia. Kuningan -- dalam segitiga emas -- kini harganya gila-gilaan. Melebihi emas. Sedangkan kata loyang -- dalam arti kuningan -- semakin lenyap, tak dipakai. Pendeknya, "kuningan" -- dalam artian keduanya -- sama-sama melayang. Yang satu melayang nilainya, dan lainnya melayang punah. Dampak melayangnya nilai Kuningan -- di segitiga emas -- membuat beberapa gedung lain di luar wilayah itu ikut-ikutan melayang. Yang sekarang mulai mendapat giliran adalah tapak gedung-gedung sekolah yang punya sejarah, yang kini berubah menjadi tempat-tempat yang berharga sekelas Kuningan. Kalau kita telusuri Gymnasiumsta B di distrik 19 kota Vienna, maka akan tampak pada kita suatu gedung yang lain dari yang lain. Bukan karena baru atau indahnya, melainkan karena tuanya. Gedung itu hanya berlantai tiga dan tampaknya cebol di samping gedung-gedung lain yang hampir meraih langit. Kekhasannya masih ada. Ada lapangan yang luas, karena gedung itu adalah tapak suatu gimnasium, suatu sekolah persiapan akademik ke perguruan tinggi. Lapangan yang luas itu diperlukan agar para siswa sekolah punya ruang gerak melatih kekuatan fisiknya, di samping kemampuan otaknya. Di dinding pada gerbang masuk tertempel suatu prasasti: "Sekolah ini sudah menghasilkan dua orang peraih Hadiah Nobel untuk fisika". Lain halnya di sini. Menurut berita burung, gedung SMA Negeri III di kawasan Setiabudi, Jakarta, sebentar lagi harus menyingkir ke tempat lain yang harga tanahnya lebih murah. Demikian pula agaknya dengan SMA VI dan 70 di Blok M, SMA IV, V, dan VII di Medan Merdeka Timur, dan SMA I di dekat Lapangan Banteng. Di Bogor, SMA II bahkan sudah dipindahkan. SMA I di Jalan Juanda, pada suatu ketika akan terancam pula. Sudah ada preseden, sebuah bank swasta telah membeli tapak di seberang Kebun Raya dengan harga yang tak kalah gilanya dengan Kuningan Jakarta. Yang akan ikut boyong, kalau hal itu terjadi, adalah SMP Negeri I, pemilik sah tunggal tapak di Jalan Juanda itu. SMA I seharusnya bertapak di bekas gedung HBS, di Jalan Merdeka, yang silih berganti digunakan sebagai rumah sakit tentara Jepang, Balai Kota, dan kini sebagai tapak Korem dan Kodim. Tidak mustahil, tapak Institut Pertanian Bogor di kawasan Taman Kencana, Jalan Gunung Gede, dan Baranangsiang pada suatu ketika akan dikutak-katik. Gedung-gedung itu tadinya dirancang dalam bentuk permanen, didukung oleh prasasti yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tahun 1952. Penandatanganan prasasti yang diiringi oleh penanaman suatu dokumen yang ditulis di atas perkamen itu juga ditandai oleh pidato Bung Karno berjudul Soal Hidup atau Mati. Penulis bayangannya adalah Wisaksono Wiryodihardjo, yang ketika itu menjabat sebagai wakil presiden Universitas Indonesia. Isi pidato itu sudah memperingatkan bahwa pada suatu ketika kita akan harus menggigit buah simalakama dalam hal pemanfaatan tanah sebagai lahan pertanian, lahan non-ekonomi, atau sebagai tapak permukiman dan industri. Seorang wali kota pada zaman Pajak Bumi dan Bangunan baru saja diberlakukan pernah mengeluh. Kota madya Bogor itu benar-benar ketiban sial karena banyak sekali kawasan yang tak dapat dikutip PBB-nya. Antara lain, Kebun Raya Indonesia dengan keliling sepanjang 4,5 km, berbagai lembaga penelitian pertanian, peternakan, dan kehutanan, serta Institut Pertanian Bogor. Dia lupa bahwa dari pajak tontonan hari libur yang ditarik dari pengunjung Kebun Raya, Kota madya juga kebagian jatah. Pandangan sempit seperti ini muncul sebagai akibat pandangan yang menganggap bahwa tanah itu semata-mata sebagai benda ekonomi yang hanya patut diperjualbelikan. Seorang ibu rumah tangga yang membeli tanah di seberang kandang sapi Fakultas Kedokteran Hewan pernah juga mengomel kepada saya. Ia mempersoalkan, mengapa IPB membuat kandang di tengah kawasan perumahan. Pertanyaannya saya jawab dengan bertanya balik. Mengapa ibu itu membeli tanah untuk tapak rumah di sebelah kandang sapi. Sewaktu kandang sapi itu dibuat, Jurusan Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan beserta kandang-kandangnya ada di pinggir kota. Karena tanah di sekitar Baranangsiang itu akhirnya dijadikan kompleks perumahan, kampus IPB terpaksa dipindahkan ke luar kota. Celakanya, batas Kota madya Bogor sekarang juga sudah mulai mengejar ke Darmaga. Lingkungan kampus itu juga sudah mulai berubah menjadi kota. Dengan menggunakan filsafat "untung" yang khas merupakan ciri pemikiran manusia Indonesia, saya pada mulanya merasa bersyukur bahwa Gymnasiumstra B bukan berada di Kuningan. Kalau saja demikian, sebentar lagi kita tidak pernah dapat melihat bagaimana bentuk gedung sekolah yang pernah menjadi lingkungan belajar peraih Hadiah Nobel. Akan tetapi, dengan segera saja timbul reaksi balik di dalam diri saya. Walaupun SMA Negeri yang hebat-hebat di Jakarta dan Bogor tadi belum pernah menghasilkan peraih Hadiah Nobel, apakah tidak sepantasnya gedunggedung itu perlu juga dilestarikan dan diberi prasasti. Sekolah-sekolah itu telah menghasilkan putra dan putri terbaik, seperti menteri, kapolri, jenderal, usahawan, bintang film, dan budayawan? Kalau memang perlu melestarikan gedung-gedung itu, baik dipandang dari sejarah maupun pendapat bahwa tapak sekolah tak boleh dipindahkan ke "tempat jin membuang anak", sesungguhnya harus kita carikan upaya agar semua tapak sekolah di kawasan yang tumbuh menjadi "Kuningan" dilestarikan. Biarkan tapak sekolah itu menjadi loyang, tak perlu melayang seperti Kuningan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus