Sektarianisme T. MULYA LUBIS SEMINGGU setelah proklamasi Forum Demokrasi, seorang bekas pajabat secara sengit membantah gejala sektarianisme yang menjadi salah satu picu lahirnya Forum Demokrasi. Katanya, sektarianisme sebagai isu politik sudah mati sejak Sumpah Pemuda pada 1928, dan terkubur tuntas pada Proklamasi Kemerdekaan 1945. Tetapi dia tak secara jelas membantah adanya sektarianisme. Bahkan dengan sigap dia berujar bahwa kelompok dan sikap sektarian dari Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak, dan sebagainya justru turut mendirikan pilar-pilar negara Indonesia merdeka yang dalam perjalanannya telah jadi melting pot: tempat berbaur seluruh etnik, agama, bahasa, dan adat-istiadat menjadi Indonesia. Karena itu, buat bekas pejabat itu, dilemparkannya isu sektarianisme ini tak dapat tidak merupakan kemunduran dari kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Selang beberapa hari kemudian, seorang ahli ilmu politik terkemuka secara pribadi mengaku turut prihatin atas menguatnya gejala sektarianisme di tengah masyarakat. Katanya, menonjolnya kepentingan sempit sektarian dalam berbagai format -- baik agama maupun kesukuan -- telah menggerogoti prestasi besar yang dicapai bangsa ini sejak Sumpah Pemuda pada 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945. Tetapi dia tak sepenuhnya menyalahkan lahirnya kelompok dan sikap sektarian ini. Pada dasarnya, hal ini dipacu oleh ketakutan yang semakin nyata terhadap arus globalisasi dunia, yang bisa jadi ancaman bagi kekhasan warna-warna lokal. Dalam bahasa yang lain sebetulnya dapat pula disimpulkan bahwa sektarianisme bisa merupakan reaksi dari pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat dan statistical dan impersonal. Inilah tragedi abad ini. Pada satu sisi kita melihat globalisasi ekonomi yang tak tertahankan, tetapi pada sisi lain muncul pelbagai sikap melawan globalisasi itu dalam bentuk sektarian serta nasionalisme baru seperti yang kita saksikan di Uni Soviet misalnya. Kedua pendapat di atas tentu bisa diperdebatkan sampai bertahun-tahun. Atau, perdebatan itu mungkin tak akan pernah selesai. Setiap titik pandang akan selalu punya rasionalisasi untuk membenarkan pandangannya, dan sering upaya untuk mencari titik temu itu berakhir sia-sia. Kesemua titik pandang berikut pranata organisasi yang mendukungnya akan selalu berlindung di bawah payung konstitusional yang menjamin hak asasi berbeda pendapat dan berserikat. Agaknya, Forum Demokrasi pun akan bersikap demokratis mengakui realitas tersebut, meski dengan cacatan kaki bahwa gejala sektarian itu telah menjadi salah satu dasar keprihatinan dari lahirnya forum ini. Sebetulnya, kata seorang kawan, kekhawatiran akan munculnya sektarianisme itu sudah lama menjadi keprihatinan yang dalam dari pemerintah. Bukankah larangan untuk memberitakan hal-hal yang berkaitan dengan SARA sesungguhnya cermin ketakutan akan munculnya sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan? Hal ini kan bukan suatu ketakutan yang mengada-ada, melihat perbedaan kepentingan yang bisa berbenturan satu sama lain, yang pada gilirannya akan memperlemah ketahanan nasional kita? Alasan-alasan sloganistik ini tak sepenuhnya salah. Dan jika logika ini diteruskan, Forum Demokrasi bisa jadi by default menjadi pembenaran baru untuk segala bentuk larangan bagi media massa untuk tak memberitakan hal-hal yang berkaitan dengan SARA. Setelah dia menjelaskan semua ini, kawan tersebut memandang saya dengan tajam sembari mengulangi kesimpulannya yang memberi benang merah antara Forum Demokrasi dan SARA, meski dia tak sempat menceritakan kenapa SARA dalam prakteknya pernah memberangus beberapa media. Setelah berpikir sejenak, saya bisa mengerti jalan pikiran kawan saya itu. Kalau dicari-cari, orang bisa bilang bahwa pada permukaannya memang SARA juga bertujuan mencegah munculnya berita-berita yang bisa menjadi picu untuk bertumbuhnya kelompok dan sikap sektarian. Tetapi apa yang muncul pada permukaan tak otomatis sama artinya dengan latar belakang pemikiran yang mendasarinya, apalagi kalau kita sudah bicara mengenai cara pencapaian. Pembangunan ekonomi, misalnya, semua berdalih untuk kemaslahatan semua orang. Tapi dalam pencapaiannya cukup banyak orang yang dijauhkan dari kemaslahatan. Penduduk Kedungombo yang baru-baru ini ke DPR dengan lugunya mempertanyakan apa hubungan pembangunan waduk dengan kesejahteraan hidup mereka. Konstitusi Uni Soviet, misalnya, mengakui sejumlah hak asasi manusia, tetapi sejarah membuktikan bahwa hak-hak asasi hanya muncul di permukaan dan hanya untuk orang-orang terkemuka. Mayoritas orang Yahudi di sana masih tetap jadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia oleh agen-agen KGB. Saya kira, pikiran dasar SARA adalah merawat harmoni sosial dan mencegah benturan-benturan sosial, agar proses pertumbuhan ekonomi bisa berjalan dengan lancar. Karena itu, pendekatan ini suatu upaya prevensi yang sifatnya kebijakan dari atas, suatu pendekatan top-down. Biasanya pendekatan model ini amat bergantung pada cara pencapaiannya. Jika pendekatannya bersifat birokratis dan kurang persuasi, yang dilahirkan justru harmoni sosial semu, atau lebih jelek lagi penyeragaman sosial. Kemajemukan kita sebagai bangsa yang kaya dengan warna-warna lokal akan semakin rapuh. Kehidupan sosial kita bisa-bisa jadi monoton dan steril. Sebaliknya Forum Demokrasi, yang juga ingin menumbuhkan harmoni sosial dan mencegah benturan-benturan sosial. Dia datang dari kesadaran yang tumbuh di masyarakat pada dirinya akan tumbuh semangat persuasi yang tinggi. Bagaimanapun, saya tak siap untuk mengatakan Forum Demokrasi sebagai suatu pendekatan bottom-up, karena kesadaran yang terkristal di sini adalah juga kesadaran elite. Tetapi, karena kesadaran ini tumbuh sebagai kekhawatiran atas gejala sektarian, dan karena dia juga belajar dari potensi-potensi bahaya dari kebijakan SARA, demokrasi yang diidamkan oleh Forum Demokrasi akan berupa demokrasi yang di dalamnya tumbuh subur kemajemukan sosial, demokrasi yang memberi tempat yang sah kepada mayoritas dan minoritas, demokrasi yang dijiwai oleh hak asasi. Akhirnya, saya katakan kepada kawan saya itu, analoginya mengenai SARA dan Forum Demokrasi itu dari segala segi agak keliru, untuk tidak disebut salah kaprah. Tapi jika kawan saya itu tetap berkesimpulan bahwa Forum Demokrasi by default memberi pembenaran baru bagi SARA, meski saya tak setuju, saya harus bilang bahwa sebagai orang Forum Demokrasi saya harus berdemokrasi untuk mencatat kesimpulannya yang tidak saya setujui itu. Inilah demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini