Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menahan godaan jati

Disertasi hasanu simon, dosen ugm, sistem pengelolaan hutan jati harus diubah karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. konsep baru pengelo- laan hutan jati dengan pengelolaan per petak.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sistem pengelolaan hutan jati harus diubah karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. PENCURIAN kayu jati oleh penduduk sekeliling hutan jati merupakan cerita usang, karena begitu seringnya terjadi. Semua pihak tahu, tak cukupnya penghasilan penduduk -- yang hidup dari tanaman tumpang sari yang mereka tanam di kawasan hutan -- menyebabkan mereka tergoda melakukan pencurian dan menggembala ternak di sana. Akibatnya, produktivitas hutan menurun, yang otomatis menciutkan penghasilan masyarakat karena potensi pembangunan wilayah anjlok. Menurut dosen Fakultas Kehutanan UGM Hasanu Simon, lingkaran ini hanya bisa didobrak dengan mengubah sistem pengelolaan. "Karena sistem pengelolaan hutan jati kita disusun pada 1938, yang penggunaannya tak sesuai lagi dengan kondisi obyektif dan kebutuhan masyarakat sekarang," kata Simon, ketika mempertahankan disertasinya Sabtu dua minggu lalu. Dengan disertasi itu, Simon memperoleh gelar doktor dengan predikat cum laude. Sistem tumpang sari warisan Belanda itu mulai diperkenalkan di daerah Pekalongan, Jawa Tengah, dan kemudian dilaksanakan secara luas sampai sekarang. Waktu itu, hasil bercocok tanam dengan sistem itu cukup untuk menghidupi sebuah keluarga. Dengan jumlah penduduk saat ini, sistem ini tak bisa dijadikan sandaran hidup. Pada 1950-an, seorang petani bisa mendapat sampai 0,5 hektare lahan yang bisa diolah, sedangkan sekarang paling banyak hanya 0,15 hektare. Dengan luas areal sekitar 1.069 juta hektare di Pulau Jawa, produktivitas hutan jati saat ini hanya 0,63 m3 per hektare per tahun. Jauh di bawah angka ideal yang 2,87 m3 per hektare per tahun. Setengah dari kerusakan hutan -- - yang menurunkan produktivitas -- itu terjadi karena pencurian kayu yang mencapai 150 ribu batang pada tahun lalu. Tanpa perubahan sistem pengelolaan, produktivitas akan terus menurun. Untuk menguji kebenaran hipotesa sistem pengelolaan baru, Hasanu Simon melakukan penelitian di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun, Jawa Timur, sepanjang tahun 1987. Penurunan produktivitas KPH Madiun tampak nyata. Kalau pada 1950-an bisa dipanen 150 meter kubik kayu per hektare tiap tahunnya, jumlahnya merosot tinggal setengahnya 30 tahun kemudian. Sedangkan dalam era 1990-an, produksinya tinggal 40 meter kubik saja tiap hektarenya. Walau penelitian hanya setahun -- hasil hanya didapat dari simulasi -- Simon mengajukan konsep baru pengelolaan hutan jati, yaitu dengan management regime (MR) alias pengelolaan yang dirancang per petak. Menurut pembimbing promovendus, Ahmad Sumitro, adanya konsep pengelolaan hutan jati secara baik inilah yang membedakan penelitian ini dengan yang lain. Manajemen ini dapat disesuaikan dengan luwes pada kondisi yang ada. Bentuknya, intensitas budi daya tanaman hutan, yang dibeda-bedakan menurut keadaan fisik dan lokasi petak dari pusat permukiman penduduk. Untuk itu, pengelolaan hutan ini harus dengan simulasi kependudukan, kebutuhan bahan pokok, produksi bahan pokok, dan model pembangunan hutan. Dalam pengelolaan model management regime, kawasan hutan dibagi dalam 4 MR. MR 1 hampir mirip dengan sistem pemeliharaan hutan jati sekarang ini, tapi budi daya tanaman hutannya ditingkatkan. Caranya, kalau penjarangan jati di hutan konvensional dilakukan pada umur tiga dan tujuh tahun dan terus-menerus dilakukan sampai pohon berusia 60 tahun, pada cara modern ini dilakukan penjarangan keras ketika pohon berumur 20 tahun. Setelah itu, hutan dijarangi sebagian dengan sistem konvensional. Bagian ini bisa dikatakan hanya untuk bisnis. Jatah penduduk tercermin dalam MR 2 dan 3. Petak ini diadakan untuk meningkatkan produksi kayu bakar guna kebutuhan penduduk. Untuk memberi ruang yang dapat ditanami pohon untuk kayu bakar, jati ditanam dengan jarak lebar, 1 X 6 meter. Pengusahaan kayu bakar ini dilakukan sampai pohon berumur sepuluh tahun, dan diulang setelah tebang pendahuluan pada saat tanaman berumur 20 tahun, dan tebang pendahuluan kedua pada usia 40 tahun. Pada MR 3, setelah tebang pendahuluan kedua, masih dapat lagi dilakukan penanaman tanaman pangan yang tahan teduh bersama pohon kayu bakar itu. Hasil sampingan ini bisa digunakan oleh petani penggarap, tapi mereka juga tetap punya kewajiban terus menjaga hutan jati. "Agar pendapatan meningkat, mereka punya tanggung jawab, dan tidak terjadi pencurian lagi," Simon menandaskan. MR 4 adalah wilayah yang berdampingan dengan pemukiman penduduk. Di sini, pohon jati ditanam dalam jalur-jalur berseling dengan tanaman pangan. Sistem ini -- yang dinamai surjan -- lebarnya 18 meter untuk jalur hutan, dan 32 meter untuk jalur tanaman pangan. Hasilnya segera meningkat drastis. Sebelumnya, satu hektare hutan dalam pengelolaan konvensional menghasilkan 58 kilogram tanaman pangan, 0,1 meter kubik kayu bakar, dan 0,54 meter kubik kayu jati tiap tahunnya. Dengan sistem baru, hasil di keempat MR lebih tinggi. MR 1 menghasilkan 4,01 meter kubik kayu jati, 0,75 meter kubik kayu bakar, dan 58 kilogram tanaman pangan. Sedangkan dari MR 2 didapat 6,5 meter kubik kayu jati, 2,75 meter kubik kayu bakar, dan 156 kilogram tanaman pangan. Pada MR 3 bisa diperoleh 6,5 meter kubik jati, 3,1 meter kubik kayu bakar, dan 316 kilogram tanaman pangan. Panen tanaman pangan terbesar dan berguna untuk penduduk tentu di MR 4. Di sini bisa didapatkan 1.454 kilogram tanaman pangan. Produksi kayu pun tidak berkurang: 2,6 meter kubik kayu jati dan 2,1 meter kubik kayu bakar. Penelitian ini disambut gembira oleh Perum Perhutani, karena sistem lama sudah tidak sesuai dengan kondisi yang ada. "Filosofinya, tanah hutan untuk apa saja yang bisa menyejahterakan rakyat. Dengan penduduk meningkat, pengelolaan hutan harus bersifat kehutanan sosial. Saya sangat mengharapkan sistem ini dapat dipakai," ujar Direktur Utama Perum Perhutani Wardono Saleh. Tahun lalu, kayu jati memberi masukan Rp 197,5 milyar ke kas negara. Diah Purnomowati dan Heddy Lugito

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus