PARA pejabat di Surabaya kini harus pandai-pandai menyembunyikan identitasnya. Terutama mereka yang suka bertamu di lokalisasi pelacuran. Sebab, para pelacur di kota ini telah bersumpah untuk tidak melayani para petinggi.
Perang dingin itu mulai ditabuh sejak Rabu dua pekan lalu. Saat itu sekitar 150 pelacur dan germo di Kota Buaya menggelar unjuk rasa di halaman kantor DPRD Surabaya. Mereka mengaku mewakili 5.000 pelacur di beberapa lokalisasi seperti Gang Dolly, Jarak, Moroseneng, Bangunsari, Klakahrejo, dan Tambaksari.
Tuntutannya? Mereka meminta agar rencana penutupan lokalisasi selama bulan puasa mendatang dibatalkan. "Kalau ditutup, kami makan apa? Sekarang saja sudah sepi," kata Eva, seorang pelacur. Lalu mereka mengajukan jalan tengah: baru membuka "warung" seusai salat tarawih dan akan menutupnya sebelum subuh.
Aksi tersebut menjadi tontonan orang karena, selain berunjuk rasa, mereka juga unjuk raga. Para wanita itu berdandan dengan bedak tebal dan gincu kelewat merah. Tak sedikit pula yang bercelana dan berbaju model anak baru gede. Saat mengacung-acungkan spanduk, pusar mereka tampak melongo.
Demonstrasi ini juga didukung oleh puluhan laki-laki. Pelanggannya? Bukan. Mereka adalah pedagang kaki lima, sopir becak, dan tukang parkir yang biasa mencari nafkah di lokalisasi.
Hanya, para politisi tak memihak mereka. Sebagian besar anggota DPRD Surabaya tidak setuju jika rencana itu diubah. "Sebaiknya, saat puasa, lokalisasi pelacuran memang harus ditutup buat menghormati umat Islam," kata Walidji, anggota Dewan dari PDIP.
Karena itulah para pelacur akhirnya menggunakan "senjata pamungkas". Mereka bersumpah tidak mau lagi melayani tamu dari kalangan pejabat eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif selama tuntutannya belum dipenuhi. "Apalagi para pejabat yang sering memakai uang negara untuk berfoya-foya, kami tak mau melayaninya," kata seorang pelacur.
Masalahnya, bagaimana cara mereka mengenali tamunya pejabat atau bukan. Lilis, seorang pelacur dari kompleks pelacuran Gang Dolly, mengaku masih mencari akal agar tidak ada pejabat yang terlayani. "Tapi, kalau benar-benar tidak tahu, ya, tak apa-apa, tidak sengaja melanggar sumpah," ujarnya sambil tersenyum genit.
Agung Rulianto, Imron Rosyid (Wonosobo), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini