Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggal 27 September 1945. Surat pertama yang ditulis Louis-Charles -Damais kepada Claire Holt mengabarkan kematian Willem Frederik Stutterheim. Damais dan Holt lama tak bertemu. Setelah Holt balik ke Amerika Serikat pada 1939, banyak peristiwa pedih terjadi. Jepang masuk ke Indonesia pada 1942. Beberapa sahabat mereka ditangkap. Salah satunya W.F. Stutterheim, arkeolog Belanda. Ketua lembaga Oudheidkundige Dienst atau Jawatan Kepurbakalaan itu diinternir Jepang di Yogyakarta.
Stutterheim, Holt, dan Damais adalah tiga sekawan pencinta kebudayaan kuno Jawa. Nama asli Claire Holt adalah Claire Bagg. Dia seorang Yahudi kelahiran Riga, Latvia. Dia menikah dengan -Bernard Hopfenberg dan bermigrasi ke New York, Amerika Serikat. Di New York, perempuan kelahiran 1901 itu mempelajari seni patung. Pada 1928, suaminya wafat. Lalu ia menjadi wartawan di The New York World, menulis tentang tari dengan nama pena Claire Holt.
“Claire Holt pertama kali datang ke Indonesia ke Bali pada 1930. Di sana dia bergabung dengan lingkaran seniman dan peneliti Amerika, Meksiko, seperti Margaret Mead, Miguel Covarrubias,” ucap Jean-Pascal Elbaz, peneliti. Holt mengenal Stutterheim lewat pelukis Walter Spies. “Stutterheim meminta tolong kepada Claire Holt menerjemahkan artikelnya ke bahasa Inggris,” kata Pascal. Lambat-laun, terjalinlah cinta antara Stutterheim dan Holt.
“Mereka berpacaran secara terbuka. Padahal di Belanda Stutterheim sudah memiliki istri,” tutur Pascal. Mereka kemudian tinggal bersama di Solo, Yogyakarta, dan kemudian Batavia. Di Yogya, Holt mempelajari tari klasik. Dia juga mengadakan perjalanan sampai ke Sulawesi. Stutterheim, yang menjadi ketua Oudheidkundige Dienst sejak 1936 menggantikan arkeolog Frederik David Kan Bosch, sangat mempengaruhi Holt. “Buku terkenal Claire Holt, Art in Indonesia: Continuities and Change, yang diterbitkan Cornell University pada 1967, dimulai dengan deskripsi arkeologi Indonesia mengenai gambar gua-gua megalitik dan relief candi-candi. Saya kira itu hasil pergaulan dengan Stutterheim,” kata Pascal.
Damais hendak mengabarkan berita kematian Stutterheim pada 1942, yang mungkin pada 1945 belum didengar Holt. “Stut dibebaskan pada Agustus 1942. Sebab, seorang komandan Jepang (Imamura) memintanya membuat laporan tentang patung-patung Buddha tanpa kepala di Borobudur. Namun, setelah balik ke Batavia, Stut jatuh sakit. Dia terkena tumor. Dia meninggal di hotel 10 September malam setelah beberapa hari tak sadarkan diri. Dia dimakamkan di Tanah Abang,” tulis Damais. Damais juga menceritakan nasib kenalan-kenalan mereka yang lain.
Claire Holt menari Jawa, 1939./Dok. Jean-Pascal Elbaz
“Mangkunegoro wafat setelah sakit panjang, Noto Suroto (penyair Jawa) ditangkap kempetai, Sunan (Pakubuwono XI) juga meninggal, Walter Spies meninggal (kapal yang mengangkutnya ditembak Jepang), Pigeaud (arkeolog Belanda) sakit parah,” tuturnya. Tapi Damais juga mengabarkan hal gembira bahwa dia sudah menikah dengan seorang perempuan Jawa.
Dalam surat itu, Damais mengatakan mengenali sebagian barang yang ditinggalkan Stutterheim di hotel sebagai milik Holt. Dia meminta Holt mengirimkan daftar barangnya. Damais juga berjanji memberikan informasi mengenai nasib sahabat-sahabat mereka lainnya. “Jawa sudah berubah sekarang,” tulisnya.
Pada 31 Oktober 1945, Holt menjawab surat Damais. Dia mengungkapkan, kabar kematian Stutterheim telah didengarnya dari sahabat mereka, Tommy Resink, di Singapura. “Apakah Pangeran Tedjo selamat?” Holt menanyakan nasib guru tari yang dihormatinya, Pangeran Tedjo Kusumo dari Keraton Yogyakarta. Holt menjelaskan, barang-barang miliknya antara lain film negatif foto, patung kayu Bali, dan lukisan Tibet tentang bodhisatwa. Holt menulis, dia mendengar kabar dari Resink pada 1943 bahwa ada iklan di surat kabar mengenai penjualan barang-barang Stutterheim. “Apakah kamu tahu soal itu?” dia bertanya.
Holt menginformasikan, sejak April 1944 dia bekerja di pemerintah pusat (Washington, DC). Lalu dia mengajar khusus bagi para perwira Angkatan Laut di Columbia University. Holt juga mengabarkan, bersama para ilmuwan yang pernah melakukan penelitian di Indonesia, seperti Robert von Heine-Geldern dan Margaret Mead, dia berancang-ancang mendirikan Southeast Asia Institute. Pada akhir suratnya, Holt meminta Damais menyampaikan salam apabila bertemu dengan Ki. Jean-Pascal -Elbaz menduga Ki yang dimaksud Holt adalah Ki Hadjar Dewantara.
Pada 4 Desember 1945, Damais menulis lagi. Dalam suratnya ini, ia masih membahas hari-hari terakhirnya dengan Stutterheim sebelum pendudukan Jepang. Damais ingat, Stutterheim mengajaknya mendiskusikan dua artikel terbaru mengenai prasasti Erlangga dan terjemahan Nagarakretagama. Damais bercerita, pemakaman Stutterheim dihadiri sekitar 25 orang. Di antaranya sejarawan dan arkeolog -Hoessein Djajadiningrat, Prijono, dan Poerbatjaraka, serta istri Bernet Kempers. Damais juga membicarakan barang peninggalan Stutterheim yang masih tersimpan. “Beberapa bukunya hilang dan saya temukan di loakan Senen.”
Dalam surat 17 Desember 1945, Damais mencurahkan kerisauannya kepada Holt tentang bagaimana semasa pendudukan Jepang dia tak bisa bekerja optimal. Dia hanya bisa mengumpulkan bahan untuk menyusun kamus modern Prancis-Melayu. Dia mengungkapkan betapa bahasa Indonesia telah banyak berubah. Damais juga bercerita, untuk menyusun kamus, dia dibantu dua orang Indonesia. “Salah satunya seorang penulis berbahasa Indonesia terbaik, namanya Takdir Alisjahbana. Kamu kenal?”
Claire Holt, W.F. Stutterheim, dan Walter Spies di Candi Borobudur, Jawa Tengah, 1930-an./ Dok. Jean-Pascal Elbaz
SEPANJANG 1946, Louis-Charles Damais menulis 13 surat. Rata-rata suratnya panjang dan hampir semuanya melaporkan situasi politik di Indonesia. Jepang telah hengkang, tapi Belanda bersiap-siap kembali menguasai Indonesia. Damais panjang-lebar menginformasikan kepada Claire Holt bagaimana pihak Indonesia tidak tinggal diam. “Andai di sini, kamu bisa melihat bagaimana anak-anak kecil (berumur 12-14 tahun) membawa senjata ke mana-mana.”
Damais tampaknya mendukung kabinet baru Sjahrir. “Para menterinya sama sekali tak pernah terlibat kolaborasi dengan -Jepang. Saya mengenal Sjahrir secara pribadi,” tulisnya. Damais melihat ada gairah penuh energi dari orang Indonesia. “Saya terkejut melihat banyak orang Indonesia yang tadinya saat sebelum dan selama pendudukan Jepang pasif, pemalu, kini bersemangat berbicara, berpikir, menulis. Ini perubahan yang mengagumkan. Mereka berani mengambil risiko.”
Dalam surat 19 April 1946, Damais menyoroti bagaimana surat kabar Belanda- memfitnah banyak cendekia Indonesia sebagai ekstremis dan antek Jepang. “Salah satu surat kabar Belanda mengatakan -Maria Ulfah Santoso, menteri di kabinet Sjahrir, pernah menjadi penyiar pada zaman Jepang. Itu bohong,” tuturnya. Dia juga mengajak Holt mendiskusikan apakah di Indonesia Sjahrir didukung banyak orang atau tidak, sementara Belanda senantiasa mengembuskan wacana bahwa Sjahrir -tidak memiliki akar rumput.
Pada Mei 1946, Damais membicarakan kedatangan Inggris ke Batavia dan dampaknya terhadap surat kabar berbahasa Indonesia. Dia juga menginformasikan bahwa surat kabar Belanda terus-menerus memberitakan pertempuran kecil di mana pun. Dalam surat 31 Mei, Damais menceritakan ia dipanggil oleh Departemen Pendidikan dan diberi tahu bahwa ada laporan yang mengecapnya sebagai anti-Belanda. Damais menyatakan dia bukan anti-Belanda, melainkan antikolonial. Dalam surat itu dia juga mengabari Holt tentang keinginannya pulang ke Paris untuk menjenguk ibunya. Dia sedih mendengar kabar bahwa ibunya mengalami kelaparan karena situasi perang Paris.
Dalam surat 4 Juni 1946, Damais membicarakan politik Hubertus Johannes van Mook dan bagaimana strategi Sjahrir menghadapi taktik Van Mook. Damais yakin Sjahrir tidak tunduk pada jebakan-jebakan diplomasi Belanda dan tetap ingin merdeka seratus persen. Damais juga membicarakan posisi masyarakat Cina totok dan peranakan, apakah berada di pihak Belanda atau Indonesia.
Selain itu, Damais bercerita tentang situasi Bekasi saat diduduki tentara India. Betapa Bekasi penuh ranjau. Dalam surat 17-18 Juni 1946, dia sekali lagi menjelaskan sikapnya bahwa dia antikolonial dan antirasisme, tapi tidak anti terhadap orang Belanda. Damais menceritakan bagaimana pada zaman Jepang dia menyelamatkan lebih dari 20 orang Belanda dari ancaman ditawan.
Pada akhir suratnya, Damais mengatakan kepada Holt bahwa dia mengirimkan kamus istilah karangan Sutan Takdir Alihsjahbana. Dia meminta Holt menjualkannya kepada siapa saja yang berminat. Harganya US$ 1. Dia meminta uang hasil penjualan digunakan untuk membelikannya buku-buku politik internasional.
Surat terakhir Damais pada 1946, bertanggal 22 Desember, terasa melankolis. Damais mengungkapkan, pada bulan itu, Batavia terasa tenang. Tapi di daerah-daerah mulai terjadi perang. Belanda mulai hendak menduduki Sukabumi dan kawasan lain. Damais membahas bagaimana keyakinan Belanda bisa menguasai Indonesia kembali adalah keyakinan yang bodoh.
SEPANJANG 1947, Louis-Charles Damais hanya menulis enam surat kepada Claire Holt. Surat-surat itu pun tidak sepanjang yang dibuatnya pada 1946. Surat pertamanya pada 1947 bertanggal 21 Januari. Damais, seperti biasa, membicarakan banyak hal. Dia mendiskusikan soal Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat, mana yang ingin bergabung dengan Republik.
Yang menyedihkan, dalam surat itu Damais juga mengeluhkan situasi ekonomi di Batavia yang makin buruk. “Hampir semua hal hanya bisa dibeli di pasar gelap,” katanya. Damais bahkan meminta Holt membawakan sejumlah barang, seperti sabun, bedak, krim wajah, sikat gigi anak, dan kaus kaki katun anak, lewat temannya jika ada yang hendak datang ke Jawa. “Barang-barang seperti itu sudah susah didapatkan di sini,” tulisnya.
Dalam surat 11 Februari 1947, Damais menceritakan pelanggaran pasukan Belanda yang dilakukan di Krian, Porong, Jawa Timur. Mereka melewati garis demarkasi yang telah disepakati sampai sejauh 7 kilometer. Dia juga berbicara tentang Jenderal Simon Hendrik Spoor, yang tak mengetahui situasi Indonesia. Dia menekankan bahwa Indonesia akan memulai perang gerilya bila Belanda memaksa.
Dia juga memberi tahu bahwa ada kapal Amerika Serikat bernama Martin Behrman yang merapat di Cirebon. Yang mengherankan, kapal yang kosong tersebut lalu mengangkut banyak hasil bumi, seperti karet, tanpa memberikan apa-apa kepada masyarakat Indonesia. “Apakah kamu punya informasi soal ini?” dia bertanya kepada Holt. Dalam surat 23 April 1947, Damais menceritakan lagi soal kehidupan ekonomi yang makin tak menentu. Para pegawai Indonesia, kata dia, dibayar dalam rupiah. Nilai tukarnya tak memadai untuk membeli barang-barang. Uang gaji mereka tak cukup untuk hidup layak, tapi mereka bertahan dan tak sudi menjadi jongos Belanda.
Surat terakhir Damais kepada Holt dibuat pada 23 Desember 1947. Saat itu -Damais sudah berada di Paris. Dia meninggalkan Indonesia pada 19 September. “Sejak Juli saya sebenarnya ingin menulis surat kepadamu, tapi saya tidak punya keberanian untuk itu,” begitu dia mengawali suratnya. Damais mengungkapkan hal itu pada awal tulisannya karena dia ingin membicarakan posisi Amerika Serikat. Menurut dia, di Batavia, Belanda gencar mempropagandakan bahwa Amerika mendukung mereka menduduki lagi Indonesia. Aksi polisional yang mereka lakukan atas persetujuan Amerika. “Kamu lebih tahu daripada saya soal ini,” ujarnya.
Pada akhir suratnya, Damais menyatakan keinginannya kembali ke Jawa. Dia ingin menjadi epigrafis spesialis prasasti Jawa kuno. Damais memberi tahu Holt, sebelum meninggalkan Jakarta, dia telah menyelesaikan dua tulisan. Salah satunya tentang makam Troloyo di situs Trowulan dari Kerajaan Majapahit. Satunya lagi tentang daftar inskripsi terpenting Jawa kuno dan Bali kuno disertai pembacaan baru untuk penanggalan. “Gagasan meneliti makam Troloyo datang dari Stutterheim, dan saya bahagia sekali bisa merampungkan tulisan ini,” tulisnya.
Tak syak lagi, surat-menyurat dua pakar ini sangat penting. “Sesungguhnya pada 1997 saya sudah ingin menerbitkan korespondensi mereka. Denys Lombard waktu itu setuju membukukan. Tapi Bu Toen (istri Louis-Charles Damais), yang saat itu masih hidup, menolak. Sebab, dalam surat itu Damais banyak mengkritik orang Belanda, sementara keluarga mereka masih hidup,” kata Jean-Pascal Elbaz. Pascal sendiri antusias saat meneliti korespondensi- ini. Banyak nama yang disebut Damais, tapi tak semuanya orang yang dikenal.
“Misalnya Louis-Charles Damais selalu mengirim surat kepada Claire Holt melalui perantara seseorang bernama Dick Stuart. Siapa orang ini? Namanya selalu disebut dalam korespondensi. Tapi kita tidak mengenal ada intelektual bernama Dick Stuart,” ucapnya. Pascal bahkan berusaha khusus meneliti siapa Dick Stuart. “Sampai suatu hari, saya menemukan buku tentang tentara-tentara Amerika di Jawa. Dick Stuart ternyata tentara Amerika Serikat. Masuk akal bila Damais menitipkan surat kepada dia, karena tentu ada jalur khusus agar surat-surat itu bisa sampai ke New York atau Washington,” ujarnya.
Yang menarik, dari riset Pascal, Dick Stuart- saat di Batavia bekerja di Office of Strategic Services (OSS). Claire Holt, dari riset, juga ternyata berdinas di OSS. “Claire Holt bekerja di OSS Amerika. Dia menjadi tutor bagi perwira atau pejabat Amerika yang hendak ke Asia dan belum mengetahui sama sekali kebudayaan Asia,” tutur Pascal. Bukan hanya Holt, sarjana-sarjana Amerika lain yang pernah meneliti Indonesia juga bekerja di OSS. “OSS adalah lembaga cikal-bakal CIA,” katanya.
SENO JOKO SUYONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo