Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG kerjanya berbau anyir, formalin, dan karbol. Di sisi kiri-kanannya, berdiri pilar besar peninggalan Belanda. Di tengah ruangan, seonggok jenazah—diduga korban pembunuhan—terbujur di atas meja beralas aluminium.
Di kamar otopsi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dokter Swasti Herlian, 59 tahun, menelisik jenazah: mencari tahu sebab-sebab kematiannya. Dialah dokter forensik perempuan pertama di Indonesia—dokter mayat, julukan tak resminya. Setiap kali selesai mengotopsi jenazah, Swasti akan mengeluarkan visum et repertum—dari bahasa Latin, artinya lihat dan temukan. Surat yang menerangkan kondisi sang jenazah.
Mengotopsi, membantu polisi memburu pembunuh, terkadang juga mengundang risiko. Pada Maret silam, sejumlah orang yang keberatan atas otopsi sohibnya menjadi beringas. Mereka menggeruduk instalasi Swasti. Tapi Swasti tak beringsut: jenazah hanya boleh dipindahkan dengan izin polisi.
Teman dekat atau anggota keluarga kadang tak mengizinkan otopsi pada korban. Tapi Swasti tahu jalan yang harus ditempuh. Undang-undang hukum pidana memberinya wewenang: otopsi tak membutuhkan izin keluarga. ”Pembedahan mayat dilakukan demi kebaikan, untuk mengungkap tabir kejahatan,” katanya.
Swasti telah jatuh hati pada forensik, dan ia telah berjalan jauh. Ia mengotopsi jenazah yang kepalanya terpenggal, tubuhnya terpotong-potong. Ia biasa mencari bukti kejahatan pada tubuh korban yang sudah ditanam di liang kubur. Ia pernah terjun ke makam yang sudah menjadi kubangan air hujan; seraya harus mengais-ngais jenazah yang tubuhnya sudah membusuk. Komentarnya? ”Itulah saatnya dokter forensik memberikan pertunjukan gratis bagi warga; biasanya otopsi selalu dikerumuni massa,” ucapnya.
Satu lagi yang kerap dilakukannya: menjadi saksi di pengadilan. Kesaksian yang membuatnya berhadapan dengan pelaku kejahatan, kesaksian yang bisa meringankan atau memberatkan terdakwa. ”Ada Tuhan yang melindungi saya.”
Swasti menekuni forensik setelah lulus Fakultas Kedokteran UI pada 1972. Ya, satu spesialisasi tanpa banyak saingan, suatu bidang ”kering” yang kemudian disyukurinya. ”Saya jadi punya waktu lebih untuk keluarga,” ujar ibu tiga anak ini. Pagi-pagi, ia menyiapkan sarapan untuk suami—Dokter Hertian S. Tanudjaja—dan anak-anak. Seharian berkutat di Departemen Forensik dan Medikolegal FKUI-RSCM, ia bisa membuka praktek sore di rumah. Kali ini pasiennya manusia hidup. Harinya ditutup dengan satu ”klimaks”, kegiatan yang paling ia sukai: memasak santap malam untuk keluarga.
Swasti, perempuan kelahiran Bogor ini, kini Kepala Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-RSCM. Ia satu di antara 120 dokter forensik di Indonesia atau 14 dokter perempuan spesialis forensik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo