Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Becak Perjuangan Ponirah
GELAP hari, 04.00. Tapi Ponirah, 54 tahun, sudah bergegas ke dapur. Menanak beras setengah kilogram. Sembari menunggu nasi masak, ia mulai membersihkan rumahnya di Dusun Jeblok, Desa Tirtomolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Ketika nasi tanak, Mbak Pondemikian ia biasa disapamenyisihkan separuh untuk makan siang nanti. Selebihnya untuk sarapan dia dan empat anaknya.
Ketika semua urusan rumah sudah beres, ia segera mengenakan sepatu olah raga kusam, menangkupkan caping bambu di kepala. Mbak Pon sigap menjangkau becak di halaman belakang. Pas 06.30, perempuan tegar itu siap mengawali harinya.
Ya, mbecak (menarik becak) adalah pekerjaan resmi janda enam anak dengan tiga cucu ini. Dan ia tak pernah risi atawa sungkan. ”Yang penting halal,” katanya. ”Daripada mencuri.”
Awalnya adalah beberapa tahun silam, ketika iseng-iseng ia mengayuh becak tarikan Suparjo, suaminya. Eh, di tengah jalan malah ada penumpang yang menawar naik. Itulah awal ”karier” mbecak-nya.
Dua tahun lalu Suparjo wafat akibat kanker pankreas. Mbak Pon mesti mengambil alih peran kepala keluarga. ”Saya harus menjadi bapak, ibu, sekaligus nenek,” katanya. ”Apalagi saya juga masih menanggung ibu.”
Maka hari-hari Mbak Pon pun habis di Jokteng Kulon (Pojok Benteng Barat Keraton Kesultanan), tempat mangkalnya. Matahari Yogyakarta menjadi saksi perjuangan perempuan gigih ini.
Kulitnya legam digodam matahari. Badannya gempal, rambut cepak. Kadang sebatang rokok terselip di bibirnya. ”Sekarang susah, Mas,” katanya kepada Tempo. ”Orang lebih suka naik bus atau taksi.”
Untunglah ia punya langganan tetap. Setiap pagi, sebelum mangkal di Jokteng, ia mengayuh becaknya ke Desa Sonosewu, Kecamatan Kasihan. Di sana Mbak Pon menjemput anak Nyonya Sari untuk diantar ke sekolah. Ia juga yang menjemput anak itu pulang. Uang langganannya Rp 200 ribu per bulan.
Jumlah itu, ditambah hasil mangkal, masih jauh dari mencukupi kebutuhan keluarga. Tapi ia mencoba menerima keadaan. Ia gemar menonton sinetron yang mengumbar gambaran kemewahan, guna menghibur diri. ”Sudah hidup susah, masak nonton yang sedih-sedih,” katanya.
Mbak Pon juga bersyukur karena kadang ia juga menerima kemudahan. Anaknya, Sumarjono, yang masih sekolah, mendapat keringanan uang SPP. Mereka dibolehkan membayar Rp 25 ribusementara siswa mampu membayar Rp 75 ribu. ”Setiap hari saya nyelengi (menabung) Rp 1.000 untuk SPP itu.”
Toh, cobaan tetap saja tak kenal ampun. Ketika itu, 27 Mei, gempa bumi meluluh-lantakkan sebagian rumahnya. Tapi Ponirah tak menerima bantuan dana rekonstruksi. Ia juga tak masuk daftar penerima bantuan langsung tunai sebesar Rp 100 ribu per bulan. Gelar ”Wanita Perkasa 2004” yang diberikan GKR Hemas, dua tahun lalu, ternyata tak menolong dalam keadaan darurat ini. ”Pernah saya sampai akan nglalu (bunuh diri),” katanya.
Sisa Impian Datin
LANGKAH Datin, 43 tahun, tertatih menapaki anak tangga di Pasar Legi Solo, siang itu. Satu kuintal wortel yang membebani punggungnya nyaris tak tertanggungkan. Ketika menurunkan gendongan, Datin nyaris terjengkang. Untunglah lelaki pemilik barang sigap menolong.
Dalam standar normal, hidup Datin mungkin memang terjengkang di ceruk kemiskinan. Telah delapan tahun ia menjalani takdir sebagai buruh gendong, untuk membantu suaminya, buruh tani dan tukang becak.
Pendapatan suami tak cukup untuk menanggung keluarga dengan dua anak yang sudah duduk di kelas 2 SMP dan 5 SD ini. Saban pagi, Datin meninggalkan rumah pada sekitar pukul 04.00. Dia mesti menempuh dua kilometer untuk sampai ke Pasar Legi.
Dari rezeki yang ia terima, Datin berhemat ketat. ”Sehari saya hanya makan dua kali,” katanya. Untuk tujuan berhemat pula kedua anaknya terpaksa dititipkan ke saudara di kampung.
Di Solo, dia dan suaminya mengontrak rumah petak Rp 60 ribu per bulan. Di rumah ini tak terlihat perabotan, kecuali kompor minyak dan panci. Untuk tidur, pasangan ini hanya memiliki selembar tikar kusam.
Dalam keterbatasan inilah Datin, yang tak bisa baca-tulis, menyisakan impiannya. ”Semoga, kelak anak saya bisa kerja di pabrik,” katanya.
Ngatmi, Sayekti di Grobogan
LAKSANA pasangan Sayekti dan Hanafi, demikianlah Ngatmi dan Sudarmin. Pasangan suami-istri ini menyandarkan rezekinya dari aktivitas pasar. Sudarmin menarik becak, Ngatmi jadi buruh gendongyang menarik becak juga.
Sehari-hari keduanya mangkal di Pasar Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah. Dengan dasternya yang khas, Ngatmi siap mengantar penumpang ke mana saja. ”Hidup ini kian susah,” katanya. Perempuan 38 tahun ini menarik becak sejak enam tahun lalu. ”Yang penting dapat uang dan halal,” katanya.
Ngatmi rela bangun lebih pagi dari anggota keluarga yang lain. Ia harus menyiapkan kebutuhan dua anaknya yang duduk kelas 3 SMP dan kelas 5 SD. Ia baru menyusul suaminya setelah pekerjaan rumah usai.
Saban hari dia hanya bisa mengumpulkan Rp 7.000 hingga 15.000. Itu pun masih dipotong Rp 2.500 untuk sewa becak. Namun, bersama keluarganya, dia tetap mencoba menikmati kebahagiaan sederhana di rumah papan berlantai tanah. Setiap malam mereka bercengkerama saling mendekatkan diri.
Suyanti, Demi Alasan Ideologis
MENJADI sopir busapalagi bus malam dengan trayek jauhbukanlah cita-cita Suyanti. Tapi rute Wonogiri-Jakarta telah menjadi menu rutin ibu tiga anak ini, bahkan selama 15 tahun terakhir. Kadang ia menyetir sampai ke Sumatera.
Suyanti mulai bekerja sebagai pengemudi bus karena alasan ”ideologis”. Ia pisah dengan suaminya karena menolak dimadu. Lalu ia pulang kampung ke Wonogiri, mencoba peruntungan.
Dia melamar ke perusahaan otobus untuk bagian administrasi. Lamaran ditolak. Pantang mundur, Suyanti pun melamar sebagai sopir. Eh, malah diterima. ”Yang penting, saya bisa bekerja menyambung hidup,” ujarnya.
Tentulah tak mudah menjalani hidup di atas roda jalanan. Sering dia pulang pagi, dan mesti langsung masuk kantor siang harinya. Tapi tak ada cara lain untuk memperbaiki hidupnya.
Pada Agustus lalu dia menikah lagi untuk ketiga kalinya. Tapi gaji sang suami, sebagai sopir pribadi, tak juga memadai untuk menghidupi keluarga. Suyanti memilih bekerja keras. Paling tidak, ia ingin masa depan anaknya lebih cerah. ”Semua anak saya harus sekolah dengan baik,” katanya.
Duo Ibu di Atas Truk Raksasa
Sementara Suyanti perkasa di atas bus, Asmawaty (26 tahun) dan Irmayasari (23 tahun) tampak gagah mengendarai haul truk raksasa. Sehari-hari duo ibu satu anak ini mesti menguasai kendaraan setinggi 7 meter, lebar 9 meter, dan panjang 15 meter itu.
Mereka bertugas mengangkut muatan hingga ratusan ton di pit (lubang tambang) PT Newmont Nusa Tenggara. Jangan bayangkan tubuh mereka keras dan liat. Alih-alih postur tubuh mereka seperti perempuan kebanyakan.
Baik Asmawaty maupun Irmayasari sama-sama tak membayangkan akan mengendarai truk raksasa itu. ”Tadinya saya hanya bisa mengendarai sepeda motor,” kata Asmawaty.
Membawa muatan berat melalui rute penuh tanjakan dan berbelok-belok sudah pekerjaan sehari-hari. Bahkan kadang mereka harus menjalaninya dalam gelap jika sedang kebagian kerja malam. Tetapi kerja keras itu sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh.
Gaji pokok Asmawaty Rp 2,7 juta. Gaji kotor Irmayasari Rp 3,5 juta. ”Sebenarnya saya kasihan, tetapi bangga juga,” kata Arif Junaidi, suami Irmayasari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo