Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Swastika di langit yang tua

Dikenal sejak 6000 th yang lalu, di timur tengah. muncul sebagai lambang kemanusiaan yang paling tua, dan tersebar luas. menjadi motif dekorasi dan upacara adat hindu. (sel)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA hubungan antara Nazi Jerman dan agama Hindu. Yakni dalam penggunaan lambang yang sama: swastika. Tentu, orang boleh tahu, Nazisme yang fasis itu bukan penemu swastika. Hitler hanya mengadopsinya untuk memenuhi mimpinya tentang sesuatu yang berhubungan dengan "dasar kemanusiaan", yang olehnya diberi tafsiran yang menjurus kepada pemilihan ras. Dan itulah "ras Aria yang jaya" -- dengan lambangnya yang magis. Swastika, dalam kenyataannya, sudah dikenal sejak 6.000 tahun berselang -- di Timur Tengah. Istilah yang berasal dari bahasa Sanskerta ini sebenarnya memiliki arti yang cukup ramah: 'tujuan kesejahteraan'. Setelah berkalang tahun dan abad, ia memang muncul sebagai lambang kemanusiaan yang paling rumit, paling tua, dan tersebar luas. Penyebarluasan itu, ke Asia dan Eropa, terjadi pada abad Dertama Masehi. Dan baru sekitar 19 abad kemudian ia diambil alih 'Kerajaan Ketiga' Hitler, yang lalu memanfaatkan "tenaga"nya untuk tujuan yang diidamkan -- sampai swastika menjadi sebagian dari kesadaran dunia. Konrad Heiden, penulis awal biografi Adolf Hitler, menggambarkan dampak penampilan pertama swastika itu seperti ini: "Pada 1921, untuk pertama kalinya bendera merah Hitler dengan swastika hitam dalam bulatan putih dikibarkan secara terbuka di depan publik. Sambutan khalayak luar biasa, sehingga Hitler sendiri terperanjat dalam kegirangan yang bukan kepalang. Swastika segera menjadi senjata magis Hitler paling perkasa .... Kekuatan aneh bin ajaib yang datang dari lambang misterius." Tapi bisa dimengerti, begitu swastika diasosiasikan dengan Nazisme, banyak negeri di dunia terutama yang langsung tertimpa akibat Perang Dunia II -- terdorong menganggapnya sebagai lambang kekejian tiada tara. Stanley A. Freed dan istrinya Ruth, dalam majalah Natural History menyatakan lambang itu berurat berakar pada peradaban Mesopotamia dan Persia kuno. Di India, tempat swastika kemudian secara luas menjadi motif dekorasi dan upacara adat Hindu, ia merupakan pembauran antara simbolisme keagamaan dan astronomi. Dan jejaknya di anak benua itu dapat dilacak sampai ke peradaban Harappa di Lembah Sungai Indus, sekitar 3.000 tahun Sebelum Masehi. Tapi pengusutan umum bisa dimulai dari rekaman gambar swastika yang ditemukan di Samarra, Mesopotamia Tengah, dan di Susa, Iran (alias Persia) Barat. Gambar itu tertera pada bahan-bahan tembikar dari sekitar 4.000 tahun SM. Untuk masa kira-kira 3.000 tahun SM, lambang swastika diketemukan pula pada tembikar dari Troya di barat laut Asia Kecil. Lalu, untuk waktu yang tidak terlalu lama berselang, pada cap dari masa peradaban Harappa yang sudah disebut. Menjelang era Kristen, swastika sudah tersebar luas sejak dari India, melintasi Asia Barat untuk kemudian masuk Eropa. Kawasan penyebaran utamanya kebetulan meliputi penduduk yang berbahasa Indo-Eropa. Toh anehnya Mesir luput kecipratan -- kecuali pada barang-barang ekspor, misalnya tembikar Yunani. Di bagian Afrika yang lain gambar ini malah hampir tak dikenal. Penyebaran berikutnya terjadi di kawasan Asia Timur dan Tengah. Budhisme mengambil alih lambang itu dari Hinduisme. Dan ketika agama Sang Budha itu menyebar dari India ke Tibet, Cina, dan Jepang, swastika menyertainya. Penyebaran yang kisruh berlangsung pada masa pra-Columbus yang sudah memasuki zaman Dunia Baru. Ada misalnya galian pada busut Hopewell di Ohio, AS. Di sini, pada awal 1890-an para arkeolog menemukan tempat penyimpanan makanan dari tembaga -- yang masih dianggap penemuan paling hebat di Amerika Utara. Bersama cache itu ditemukan pula sejumlah swastika orisinal, yang kehadirannya di sana masih tetap membingungkan. Soalnya tidak ada yang dapat dijadikan bahan banding dari kawasan yang berdekatan. Hanya diketahui, di masa post Columbus orang Eropa membawa swastika ke Amerika, dan orang Indian acap menggunakannya sebagai unsur disain mereka. Para ahli mencoba mengemukakan sejumlah teori tentang arti simbolis lambang itu. Mereka mengatakan swastika merupakan gambaran matahari, bulan, peredaran tahunan bintang biduk, titik pedoman utama mata angin, kebakaan, tuhan Zeus, Baal, api, beberapa dewa-dewi agama Hindu (Agni, Indra, Wishnu, dan Ganesha, misalnya), cahaya, kilat, air, hubungan seks, kesuburan, dan alat pembuat api. Sebuah buku yang diterbitkan Parisada Hindu Dharma, dewan agama Hindu Indonesia, mengajarkan bahwa lambang swastika "merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit", alias makrokosmos dan mikrokosmos. Lambang itu "dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini". Dari swastika pula muncul bentuk padma, teratai, dengan bunga delapan daun (asthadala) "yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi". Dan, dari akar kata yang sama dengan 'swastika' pula muncul ucapan Hindu Om Swastyastu, yang diberi arti: "mudah-mudahan baik, atas karunia Hyang Widhi". Di situ diterangkan 'swastika' berasal dari su, baik, dan asti, adalah. Jadi. aslinya "adalah baik". Sedang akhiran ka dipakai untuk mengubah kata sifat menjadi kata benda seperti jana, lahir, menjadi janaka, ayah atau pawa, membakar, pawaka, api. Itulah contoh penafsiran swastika oleh salah satu kaum yang merupakan pewaris, yang menggunakannya sebagai doktrin dalam ruang lingkup praktis. Dalam kenyataan, posisi swastika memang dekat dengan berbagai konteks dunia perlambangan, yang bersandar pada pikiran manusia sendiri secara alamiah dan lumrah. John, Pangeran Loewenstein, dalam sebuah karangannya yang terbit pada 1941 bertahan: "Swastika, yang sejak dulu kala sangat diasosiasikan dengan wanita, harus . . . menjadi lambang kesuburan." Ia mengemukakan contoh ditemukannya gambar swastika pada kendi Troya, yang konon berasal dari 3.000 tahun SM. Juga pada benda yang berhubungan dengan wanita, misalnya mesin tenun tangan dan gelendongan. Secara lazim swastika menggambarkan matahari. Pada 1894 Pangeran Goblet d'Alviella, diikuti sejumlah pengarang, mempersoalkan teori yang secara umum bertolak pada pendekatan swastika dengan lambang-lambang, citra, dan dewa-dewa matahari. Gambar sampul bukunya yang berjudul The Migration of Symbols menampilkan Apollo, jelas-jelas sebagai putra sang surya, dengan swastika di dadanya. Antropolog Zelia Nuttall mengedepankan teorinya yang terutama didasarkan pada "gagasan yang tentunya dapat mensugestikan diri mereka (orang-orang lain red) kepada jalan pikiran pengamat primitif." Ia, yang mengamati peredaran tahunan bintang biduk di sekitar bintang kutub dan memusatkan gambarannya pada posisi empat equidistant, merasa melihat bentuk swastika. Pengalamannya sendiri menggambarkan suatu proses kejiwaan. "Di dalam kilasan penglihatan kejiwaan, aku merasakan gambaran berganda empat dari seluruh konstelasi, mencuat cemerlang di tengah kegulitaan langit tak berangin . . . muncul bagaikan swastika raksasa .... Kutinggalkan jendelaku, pada malam penuh kenangan itu, dengan persepsi yang bangkit perlahan di antara pengaruh kuat dan dalam dari pengamatan kutub yang berkepanjangan. Konstelasi sekitar kutub yang mendesak-desak pikiran seorang manusia primitif." "Interpretasi seperti itu pada dasarnya tidak dipercaya orang," tulis Freed mengomentari. Ini "karena tiadanya hubungan yang jelas antara bentuk swastika dan pengertian simbolis yang berkaitan." Dalam pada itu, matahari yang beredar tidaklah jelas terlihat di dalam gambar swastika yang bersiku-siku. Hubungan antara swastika dan, umpamanya, dewa berkepala gajah (Ganesha), atau hubungan seks, malahan lebih tidak jelas lagi. Cara terbaik untuk melacak pengertian simbolis swastika, menurut Freed, ialah melalui masyarakat yang masih hidup dan berkembang. Karena dalam masyarakat yang demikian "lambang yang berasal dari zaman baheula masih merupakan gambaran adat istiadat dan kehidupan sehari-hari." Freed tidak menunjuk Bali, melainkan India, sebagai contoh. Di desa-desa India bagian utara, swastika masih tetap dipakai dan menempati posisi utama dalam kehidupan ritual, terutama dalam upacara-upacara yang menandai kehidupan baru, seperti kelahiran dan perkawinan. Pendeta yang memimpin seremoni semacam itu acap menyertakan swastika sebagai disain simbolis, digambar dengan kapur berwarna di tanah -- yang menjadi altar ritus pembakaran. Di dalam perayaan menyambut kelahiran, perkawinan, festival keagamaan, kaum wanita acap melukis swastika pada kendi-kendi, di tanah, dan dinding-dinding. Setelah sebuah lambang tertentu dihapus seusai upacara, kaum perempuan kadang menggantinya dengan gambar swastika -- agar jin dan setan tidak masuk ke tempat yang menjadi kosong. "Kita acap menyaksikan gambar swastika di dalam upacara seperti itu. Tapi selalu tidak menaruh minat khusus, karena bertebaran di mana-mana," kata Freed. Dan karenanya kita tidak memperoleh informasi yang lebih khas." Suatu hari, pasangan penulis itu mengaku, mereka berkesempatan menyaksikan upacara adat yang disebut baratlena -- satu mata rangkaian seremoni perkawinan. Dalam baratlena itu mempelai laki disambut kaum pria pihak pengantin wanita. "Karena kami biasa menyaksikan upacara serupa, kami menyangka tidak akan menemukan hal yang baru," tutur Freed. Ternyata meleset. Talam besar dari kuningan berisi perhiasan pusaka berikut berbagai perlambang disiapkan untuk upacara dan di antaranya terdapat swastika -- dilukis dengan bubuk kunyit. Pada tiap sembilan titik yang -- jika dihubungkan -- menggambarkan lambang itu, diletakkan setumpukan padi. Bentukannya: tengah merupakan sudut puncak, ujung-ujungnya merupakan lengan. Kedua pengarang terdorong menyimak apa yang sesungguhnya telah mereka saksikan sebelumnya. "Seperti lumrahnya orang yang telah menulis tentang swastika, kami lebih terpaku pada lengan-lengannya," kata mereka. Tumpukan padi utama dan lengan-lengan yang kaku itu menjuruskan perhatian mereka pada sembilan titik yang membentuk tiga kali tiga persegi -- ciri utama swastika. Ini, bagi Freed, juga bagai titik pandang yang menggiring mereka ke arah interpretasi baru terhadap arti simbolis lambang itu. Dalam Hinduisme, terdapat sembilan makhluk gaib yang dikenal dengan sebutan graha. Tujuh di antaranya adalah planet-planet yang dapat dilihat dengan mata telanjang Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus -- serta matahari dan bulan. Mereka dianggap sebagai dewa. Besar kecilnya bulan juga menimbulkan anggapan bahwa jin dan setanlah yang menyebabkannya -- termasuk "mendorong bulan dan matahari berhimpitan," sehingga menimbulkan gerhana. Astronomi Hindu tradisional menggambarkan graha sebagai planet-planet. Para dewa dan para setan yang mengangkanginya dianggap dewata planet. Dalam samskara (upacara ortodoks) Hindu, graha biasanya digambarkan oleh sembilan petak persegi dalam pola tiga kali tiga. Setiap petak menjadi wadah lambang dewa tertentu. Petak persegi tengah menggambarkan matahari, asas penciptaan. Di sekitarnya bertahta para dewa lain, yang -- bersama matahari -- menggambarkan seluruh alam dunia. Indikasi lain menunjukkan, penggambaran graha dimaksud untuk mencakup seluruh penciptaan -- dan acap dilakukan pada tepi pola tiga kali tiga petak persegi. Dan dalam upacara perkawinan Hindu itu -- di sini sembilan dewa planet tampil menonjol -- hubungan antara swastika dan para dewata planet tersebut menjadi jelas. Secara umum mungkin dapat dikatakan, pada satu lapisan swastika melukiskan para dewa planet. Pada lapisan lebih bawah, atau lebih umum ia melambangkan tenaga penciptaan dan alam dunia. Hubungan antara swastika dan para dewa planet acap terlihat pula dalam disain altar upacara pembakaran. "Kami memotret sebuah altar yang dihiasi sebuah swastika besar dan sebuah lagi yang kecil, terdiri dari sembilan petak persegi," tutur sejoli Freed. Sepasang swastika dimaksudkan untuk membujukgraha, karena upacara itu diadakan untuk melindungi seorang anak laki-laki dan keluarganya dari pengaruh jahat lambang-lambang astrologi. Bayi lelaki itu lahir di bawah lambang Mula Nakshatra, atau "istana bulan". Ada 27 nakshatra -- bintang-bintang yang tampak terang, atau kelompok bintang yang terletak di garis lintasan bulan ketika mengelilingi bumi. Sudah dikenal dan dinamai sejak dahulu kala, mereka dianggap dapat mempengaruhi nasib buruk atau nasib baik seseorang. Penduduk pedesaan di India bagian utara percaya bahwa Mula Nakshatra memiliki pengaruh paling berbahaya. Anak lelaki yang lahir di bawah zodiak ini akan menemui ajal. Atau, kalaupun hidup, akan membawa kehancuran keluarganya. Karena itulah diharapkan lindungan para dewa planet yang berkuasa. Dalam mitologi Hindu, "istana bulan" itu bersaudara dengan Daksha, yang menyerahkan para nakshatra kepada bulan sebagai istri-istrinya. Keturunan pertama perkawinan itu adalah empat dari para dewa graha: Merkurius, Venus, Mars, dan Yupiter. Maka empat lengan swastika yang saling memotong itu digambarkan untuk upacara Mula Nakshatra. Ini boleh jadi hendak melukiskan keempat planet itu sebagai buah perkawinan bulan dengan empat nakshatra. Hubungan antara peradaban Harappa dari Lembah Indus dari tiga ribu tahun SM dan Hinduisme modern terjalin dengan baik. Stuart Piggott dalam Prehistoric India menyimpulkan bahwa agama Harappa "secara mendasar bersifat India sejak awal." Swastika muncul dalam cap-cap Harappa, juga dalam semacam kisi-kisi -- lambang lainnya yang menggambarkan sembilan titik, dan mungkin juga melukiskan para dewa planet. Pertalian antara swastika dan para dewa planet, sesuai dengan catatan sejarah dan penyebaran lambang-lambangnya, cukup baik. Pengetahuan astronomi yang diperlukan hadir di tempat asal swastika yang sesungguhnya. Orang-orang Mesopotamia mengenal lima planet. Dan mereka juga mengenal "gerhana setengah ramalan", meminjam ungkapan yang dipakai Alfred Kroeber, antropolog Amerika. Itulah sebabnya mereka mengenal besar-kecilnya bulan. Lagi pula, orang Mesopotamia juga mengidentikkan planet-planet dengan para dewa. Ketika hitungan mingguan mulai dikenal di Asia bagian barat, nama-nama para dewa planet Babilon ia dipakai untuk menyusun hari. Ketika hitungan itu menyebar ke seluruh Dunia Lama, penduduk segera menerima dan memakainya. Orang Yunani, Romawi, Jerman, India, mengganti nama hari dengan nama-nama dewa masing-masing. Hubungan nama hari yang memakai nama dewa India dengan Eropa itu sesuai dengan wilayah yang dilanda penyebaran swastika. "Ini memperkuat interpretasi swastika sebagai lambang para dewa planet," tulis Freed. Tapi kelangkaan bahan banding terdapat di kawasan lain dunia. Di Mesir, umpamanya, satu-satunya dewa planet adalah dewa matahari. Akibatnya susah mencari simbolismenya yang orisinal. Dan karena swastika boleh jadi banyak tersebar menyertai migrasi suku-suku Indo-Eropa, lebih mudah melacaknya melalui masyarakat berbahasa Indo Eropa ketimbang lewat penduduk berbahasa lain. Mempertimbangkan swastika sebagai lambang para dewa planet akan memudahkan pemecahan sejumlah permasalahan yang menyumplak di laci arsip para arkeolog dan sejarawan. "Berbagai alternatif permasalahan swastika dapat dikaji kembali," tulis Freed. "Lambang-lambang yang tak punya sembilan titik dalam pola tiga kali tiga, dalam banyak kasus, boleh jadi bukan swastika." Analisa kembali bentuk-bentuk lambang swastika itu mungkin terpenting pada masalah penyebarannya, terutama kehadirannya di Dunia Baru. Berbagai bentuk spiral dan silang dalam bulatan, yang dianggap sebagai swastika di Dunia Baru, mungkin tidak ada hubungan apa-apa dengan sikusiku silang Dunia Lama. Swastika tembaga dari temuan Hopewell masih tetap sebuah misteri. Dapatkah swastika Hopewell dibuktikan dipengaruhi Dunia Lama? "Semua itu sulit di jelaskan," kata Freed, "mengapa disainnya tidak menyebar lebih jauh." Memang, "analisa lambang-lambang menjadi salah satu urusan paling penting dalam antropologi," tulis Freed. Penelitian terhadap simbol-simbol selama ini memang diabaikan orang. Dan banyaknya penyelidikan arkeologi sejak usai Perang Dunia II, dinilai Freed sebagai kesempatan baik menjalin pengertian antarilmuwan di bidang lambang misterius seperti itu. Dari sini bisa dilacak: jin dan setan mana saja yang selama berabad-abad mempengaruhi nasib peradaban umat manusia. "Pewarisnya yang utama, penduduk berbahasa Indo-Eropa, masih tetap menanti jawaban," tulis dua sejoli Freed

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus