ADA hubungan antara Nazi Jerman dan agama Hindu. Yakni dalam
penggunaan lambang yang sama: swastika. Tentu, orang boleh tahu,
Nazisme yang fasis itu bukan penemu swastika. Hitler hanya
mengadopsinya untuk memenuhi mimpinya tentang sesuatu yang
berhubungan dengan "dasar kemanusiaan", yang olehnya diberi
tafsiran yang menjurus kepada pemilihan ras. Dan itulah "ras
Aria yang jaya" -- dengan lambangnya yang magis.
Swastika, dalam kenyataannya, sudah dikenal sejak 6.000 tahun
berselang -- di Timur Tengah. Istilah yang berasal dari bahasa
Sanskerta ini sebenarnya memiliki arti yang cukup ramah: 'tujuan
kesejahteraan'. Setelah berkalang tahun dan abad, ia memang
muncul sebagai lambang kemanusiaan yang paling rumit, paling
tua, dan tersebar luas.
Penyebarluasan itu, ke Asia dan Eropa, terjadi pada abad Dertama
Masehi. Dan baru sekitar 19 abad kemudian ia diambil alih
'Kerajaan Ketiga' Hitler, yang lalu memanfaatkan "tenaga"nya
untuk tujuan yang diidamkan -- sampai swastika menjadi sebagian
dari kesadaran dunia. Konrad Heiden, penulis awal biografi Adolf
Hitler, menggambarkan dampak penampilan pertama swastika itu
seperti ini:
"Pada 1921, untuk pertama kalinya bendera merah Hitler dengan
swastika hitam dalam bulatan putih dikibarkan secara terbuka di
depan publik. Sambutan khalayak luar biasa, sehingga Hitler
sendiri terperanjat dalam kegirangan yang bukan kepalang.
Swastika segera menjadi senjata magis Hitler paling perkasa
.... Kekuatan aneh bin ajaib yang datang dari lambang
misterius."
Tapi bisa dimengerti, begitu swastika diasosiasikan dengan
Nazisme, banyak negeri di dunia terutama yang langsung tertimpa
akibat Perang Dunia II -- terdorong menganggapnya sebagai
lambang kekejian tiada tara.
Stanley A. Freed dan istrinya Ruth, dalam majalah Natural
History menyatakan lambang itu berurat berakar pada peradaban
Mesopotamia dan Persia kuno. Di India, tempat swastika kemudian
secara luas menjadi motif dekorasi dan upacara adat Hindu, ia
merupakan pembauran antara simbolisme keagamaan dan astronomi.
Dan jejaknya di anak benua itu dapat dilacak sampai ke peradaban
Harappa di Lembah Sungai Indus, sekitar 3.000 tahun Sebelum
Masehi.
Tapi pengusutan umum bisa dimulai dari rekaman gambar swastika
yang ditemukan di Samarra, Mesopotamia Tengah, dan di Susa, Iran
(alias Persia) Barat. Gambar itu tertera pada bahan-bahan
tembikar dari sekitar 4.000 tahun SM. Untuk masa kira-kira 3.000
tahun SM, lambang swastika diketemukan pula pada tembikar dari
Troya di barat laut Asia Kecil. Lalu, untuk waktu yang tidak
terlalu lama berselang, pada cap dari masa peradaban Harappa
yang sudah disebut.
Menjelang era Kristen, swastika sudah tersebar luas sejak dari
India, melintasi Asia Barat untuk kemudian masuk Eropa. Kawasan
penyebaran utamanya kebetulan meliputi penduduk yang berbahasa
Indo-Eropa. Toh anehnya Mesir luput kecipratan -- kecuali pada
barang-barang ekspor, misalnya tembikar Yunani. Di bagian Afrika
yang lain gambar ini malah hampir tak dikenal.
Penyebaran berikutnya terjadi di kawasan Asia Timur dan Tengah.
Budhisme mengambil alih lambang itu dari Hinduisme. Dan ketika
agama Sang Budha itu menyebar dari India ke Tibet, Cina, dan
Jepang, swastika menyertainya.
Penyebaran yang kisruh berlangsung pada masa pra-Columbus yang
sudah memasuki zaman Dunia Baru. Ada misalnya galian pada busut
Hopewell di Ohio, AS. Di sini, pada awal 1890-an para arkeolog
menemukan tempat penyimpanan makanan dari tembaga -- yang masih
dianggap penemuan paling hebat di Amerika Utara.
Bersama cache itu ditemukan pula sejumlah swastika orisinal,
yang kehadirannya di sana masih tetap membingungkan. Soalnya
tidak ada yang dapat dijadikan bahan banding dari kawasan yang
berdekatan. Hanya diketahui, di masa post Columbus orang Eropa
membawa swastika ke Amerika, dan orang Indian acap
menggunakannya sebagai unsur disain mereka.
Para ahli mencoba mengemukakan sejumlah teori tentang arti
simbolis lambang itu. Mereka mengatakan swastika merupakan
gambaran matahari, bulan, peredaran tahunan bintang biduk, titik
pedoman utama mata angin, kebakaan, tuhan Zeus, Baal, api,
beberapa dewa-dewi agama Hindu (Agni, Indra, Wishnu, dan
Ganesha, misalnya), cahaya, kilat, air, hubungan seks,
kesuburan, dan alat pembuat api.
Sebuah buku yang diterbitkan Parisada Hindu Dharma, dewan agama
Hindu Indonesia, mengajarkan bahwa lambang swastika "merupakan
dasar kekuatan dan kesejahteraan Bhuwana Agung dan Bhuwana
Alit", alias makrokosmos dan mikrokosmos. Lambang itu "dibuat
sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan
bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari
perputaran alam ini". Dari swastika pula muncul bentuk padma,
teratai, dengan bunga delapan daun (asthadala) "yang kita pakai
dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi".
Dan, dari akar kata yang sama dengan 'swastika' pula muncul
ucapan Hindu Om Swastyastu, yang diberi arti: "mudah-mudahan
baik, atas karunia Hyang Widhi". Di situ diterangkan 'swastika'
berasal dari su, baik, dan asti, adalah. Jadi. aslinya "adalah
baik". Sedang akhiran ka dipakai untuk mengubah kata sifat
menjadi kata benda seperti jana, lahir, menjadi janaka, ayah
atau pawa, membakar, pawaka, api.
Itulah contoh penafsiran swastika oleh salah satu kaum yang
merupakan pewaris, yang menggunakannya sebagai doktrin dalam
ruang lingkup praktis. Dalam kenyataan, posisi swastika memang
dekat dengan berbagai konteks dunia perlambangan, yang bersandar
pada pikiran manusia sendiri secara alamiah dan lumrah. John,
Pangeran Loewenstein, dalam sebuah karangannya yang terbit pada
1941 bertahan:
"Swastika, yang sejak dulu kala sangat diasosiasikan dengan
wanita, harus . . . menjadi lambang kesuburan." Ia mengemukakan
contoh ditemukannya gambar swastika pada kendi Troya, yang konon
berasal dari 3.000 tahun SM. Juga pada benda yang berhubungan
dengan wanita, misalnya mesin tenun tangan dan gelendongan.
Secara lazim swastika menggambarkan matahari. Pada 1894 Pangeran
Goblet d'Alviella, diikuti sejumlah pengarang, mempersoalkan
teori yang secara umum bertolak pada pendekatan swastika dengan
lambang-lambang, citra, dan dewa-dewa matahari. Gambar sampul
bukunya yang berjudul The Migration of Symbols menampilkan
Apollo, jelas-jelas sebagai putra sang surya, dengan swastika di
dadanya.
Antropolog Zelia Nuttall mengedepankan teorinya yang terutama
didasarkan pada "gagasan yang tentunya dapat mensugestikan diri
mereka (orang-orang lain red) kepada jalan pikiran pengamat
primitif." Ia, yang mengamati peredaran tahunan bintang biduk di
sekitar bintang kutub dan memusatkan gambarannya pada posisi
empat equidistant, merasa melihat bentuk swastika.
Pengalamannya sendiri menggambarkan suatu proses kejiwaan. "Di
dalam kilasan penglihatan kejiwaan, aku merasakan gambaran
berganda empat dari seluruh konstelasi, mencuat cemerlang di
tengah kegulitaan langit tak berangin . . . muncul bagaikan
swastika raksasa .... Kutinggalkan jendelaku, pada malam penuh
kenangan itu, dengan persepsi yang bangkit perlahan di antara
pengaruh kuat dan dalam dari pengamatan kutub yang
berkepanjangan. Konstelasi sekitar kutub yang mendesak-desak
pikiran seorang manusia primitif."
"Interpretasi seperti itu pada dasarnya tidak dipercaya orang,"
tulis Freed mengomentari. Ini "karena tiadanya hubungan yang
jelas antara bentuk swastika dan pengertian simbolis yang
berkaitan."
Dalam pada itu, matahari yang beredar tidaklah jelas terlihat di
dalam gambar swastika yang bersiku-siku. Hubungan antara
swastika dan, umpamanya, dewa berkepala gajah (Ganesha), atau
hubungan seks, malahan lebih tidak jelas lagi.
Cara terbaik untuk melacak pengertian simbolis swastika, menurut
Freed, ialah melalui masyarakat yang masih hidup dan berkembang.
Karena dalam masyarakat yang demikian "lambang yang berasal dari
zaman baheula masih merupakan gambaran adat istiadat dan
kehidupan sehari-hari." Freed tidak menunjuk Bali, melainkan
India, sebagai contoh.
Di desa-desa India bagian utara, swastika masih tetap dipakai
dan menempati posisi utama dalam kehidupan ritual, terutama
dalam upacara-upacara yang menandai kehidupan baru, seperti
kelahiran dan perkawinan. Pendeta yang memimpin seremoni semacam
itu acap menyertakan swastika sebagai disain simbolis, digambar
dengan kapur berwarna di tanah -- yang menjadi altar ritus
pembakaran.
Di dalam perayaan menyambut kelahiran, perkawinan, festival
keagamaan, kaum wanita acap melukis swastika pada kendi-kendi,
di tanah, dan dinding-dinding. Setelah sebuah lambang tertentu
dihapus seusai upacara, kaum perempuan kadang menggantinya
dengan gambar swastika -- agar jin dan setan tidak masuk ke
tempat yang menjadi kosong. "Kita acap menyaksikan gambar
swastika di dalam upacara seperti itu. Tapi selalu tidak menaruh
minat khusus, karena bertebaran di mana-mana," kata Freed. Dan
karenanya kita tidak memperoleh informasi yang lebih khas."
Suatu hari, pasangan penulis itu mengaku, mereka berkesempatan
menyaksikan upacara adat yang disebut baratlena -- satu mata
rangkaian seremoni perkawinan. Dalam baratlena itu mempelai
laki disambut kaum pria pihak pengantin wanita. "Karena kami
biasa menyaksikan upacara serupa, kami menyangka tidak akan
menemukan hal yang baru," tutur Freed.
Ternyata meleset. Talam besar dari kuningan berisi perhiasan
pusaka berikut berbagai perlambang disiapkan untuk upacara dan
di antaranya terdapat swastika -- dilukis dengan bubuk kunyit.
Pada tiap sembilan titik yang -- jika dihubungkan --
menggambarkan lambang itu, diletakkan setumpukan padi.
Bentukannya: tengah merupakan sudut puncak, ujung-ujungnya
merupakan lengan.
Kedua pengarang terdorong menyimak apa yang sesungguhnya telah
mereka saksikan sebelumnya. "Seperti lumrahnya orang yang telah
menulis tentang swastika, kami lebih terpaku pada
lengan-lengannya," kata mereka. Tumpukan padi utama dan
lengan-lengan yang kaku itu menjuruskan perhatian mereka pada
sembilan titik yang membentuk tiga kali tiga persegi -- ciri
utama swastika. Ini, bagi Freed, juga bagai titik pandang yang
menggiring mereka ke arah interpretasi baru terhadap arti
simbolis lambang itu.
Dalam Hinduisme, terdapat sembilan makhluk gaib yang dikenal
dengan sebutan graha. Tujuh di antaranya adalah planet-planet
yang dapat dilihat dengan mata telanjang Merkurius, Venus, Mars,
Jupiter, dan Saturnus -- serta matahari dan bulan. Mereka
dianggap sebagai dewa. Besar kecilnya bulan juga menimbulkan
anggapan bahwa jin dan setanlah yang menyebabkannya -- termasuk
"mendorong bulan dan matahari berhimpitan," sehingga menimbulkan
gerhana.
Astronomi Hindu tradisional menggambarkan graha sebagai
planet-planet. Para dewa dan para setan yang mengangkanginya
dianggap dewata planet.
Dalam samskara (upacara ortodoks) Hindu, graha biasanya
digambarkan oleh sembilan petak persegi dalam pola tiga kali
tiga. Setiap petak menjadi wadah lambang dewa tertentu. Petak
persegi tengah menggambarkan matahari, asas penciptaan. Di
sekitarnya bertahta para dewa lain, yang -- bersama matahari --
menggambarkan seluruh alam dunia.
Indikasi lain menunjukkan, penggambaran graha dimaksud untuk
mencakup seluruh penciptaan -- dan acap dilakukan pada tepi pola
tiga kali tiga petak persegi. Dan dalam upacara perkawinan Hindu
itu -- di sini sembilan dewa planet tampil menonjol -- hubungan
antara swastika dan para dewata planet tersebut menjadi jelas.
Secara umum mungkin dapat dikatakan, pada satu lapisan swastika
melukiskan para dewa planet. Pada lapisan lebih bawah, atau
lebih umum ia melambangkan tenaga penciptaan dan alam dunia.
Hubungan antara swastika dan para dewa planet acap terlihat pula
dalam disain altar upacara pembakaran. "Kami memotret sebuah
altar yang dihiasi sebuah swastika besar dan sebuah lagi yang
kecil, terdiri dari sembilan petak persegi," tutur sejoli Freed.
Sepasang swastika dimaksudkan untuk membujukgraha, karena
upacara itu diadakan untuk melindungi seorang anak laki-laki dan
keluarganya dari pengaruh jahat lambang-lambang astrologi.
Bayi lelaki itu lahir di bawah lambang Mula Nakshatra, atau
"istana bulan". Ada 27 nakshatra -- bintang-bintang yang tampak
terang, atau kelompok bintang yang terletak di garis lintasan
bulan ketika mengelilingi bumi. Sudah dikenal dan dinamai sejak
dahulu kala, mereka dianggap dapat mempengaruhi nasib buruk atau
nasib baik seseorang.
Penduduk pedesaan di India bagian utara percaya bahwa Mula
Nakshatra memiliki pengaruh paling berbahaya. Anak lelaki yang
lahir di bawah zodiak ini akan menemui ajal. Atau, kalaupun
hidup, akan membawa kehancuran keluarganya. Karena itulah
diharapkan lindungan para dewa planet yang berkuasa.
Dalam mitologi Hindu, "istana bulan" itu bersaudara dengan
Daksha, yang menyerahkan para nakshatra kepada bulan sebagai
istri-istrinya. Keturunan pertama perkawinan itu adalah empat
dari para dewa graha: Merkurius, Venus, Mars, dan Yupiter. Maka
empat lengan swastika yang saling memotong itu digambarkan untuk
upacara Mula Nakshatra. Ini boleh jadi hendak melukiskan keempat
planet itu sebagai buah perkawinan bulan dengan empat nakshatra.
Hubungan antara peradaban Harappa dari Lembah Indus dari tiga
ribu tahun SM dan Hinduisme modern terjalin dengan baik. Stuart
Piggott dalam Prehistoric India menyimpulkan bahwa agama Harappa
"secara mendasar bersifat India sejak awal." Swastika muncul
dalam cap-cap Harappa, juga dalam semacam kisi-kisi -- lambang
lainnya yang menggambarkan sembilan titik, dan mungkin juga
melukiskan para dewa planet.
Pertalian antara swastika dan para dewa planet, sesuai dengan
catatan sejarah dan penyebaran lambang-lambangnya, cukup baik.
Pengetahuan astronomi yang diperlukan hadir di tempat asal
swastika yang sesungguhnya. Orang-orang Mesopotamia mengenal
lima planet. Dan mereka juga mengenal "gerhana setengah
ramalan", meminjam ungkapan yang dipakai Alfred Kroeber,
antropolog Amerika. Itulah sebabnya mereka mengenal
besar-kecilnya bulan. Lagi pula, orang Mesopotamia juga
mengidentikkan planet-planet dengan para dewa.
Ketika hitungan mingguan mulai dikenal di Asia bagian barat,
nama-nama para dewa planet Babilon ia dipakai untuk menyusun
hari. Ketika hitungan itu menyebar ke seluruh Dunia Lama,
penduduk segera menerima dan memakainya. Orang Yunani, Romawi,
Jerman, India, mengganti nama hari dengan nama-nama dewa
masing-masing. Hubungan nama hari yang memakai nama dewa India
dengan Eropa itu sesuai dengan wilayah yang dilanda penyebaran
swastika. "Ini memperkuat interpretasi swastika sebagai lambang
para dewa planet," tulis Freed.
Tapi kelangkaan bahan banding terdapat di kawasan lain dunia. Di
Mesir, umpamanya, satu-satunya dewa planet adalah dewa matahari.
Akibatnya susah mencari simbolismenya yang orisinal. Dan karena
swastika boleh jadi banyak tersebar menyertai migrasi suku-suku
Indo-Eropa, lebih mudah melacaknya melalui masyarakat berbahasa
Indo Eropa ketimbang lewat penduduk berbahasa lain.
Mempertimbangkan swastika sebagai lambang para dewa planet akan
memudahkan pemecahan sejumlah permasalahan yang menyumplak di
laci arsip para arkeolog dan sejarawan. "Berbagai alternatif
permasalahan swastika dapat dikaji kembali," tulis Freed.
"Lambang-lambang yang tak punya sembilan titik dalam pola tiga
kali tiga, dalam banyak kasus, boleh jadi bukan swastika."
Analisa kembali bentuk-bentuk lambang swastika itu mungkin
terpenting pada masalah penyebarannya, terutama kehadirannya di
Dunia Baru. Berbagai bentuk spiral dan silang dalam bulatan,
yang dianggap sebagai swastika di Dunia Baru, mungkin tidak ada
hubungan apa-apa dengan sikusiku silang Dunia Lama.
Swastika tembaga dari temuan Hopewell masih tetap sebuah
misteri. Dapatkah swastika Hopewell dibuktikan dipengaruhi Dunia
Lama? "Semua itu sulit di jelaskan," kata Freed, "mengapa
disainnya tidak menyebar lebih jauh."
Memang, "analisa lambang-lambang menjadi salah satu urusan
paling penting dalam antropologi," tulis Freed. Penelitian
terhadap simbol-simbol selama ini memang diabaikan orang. Dan
banyaknya penyelidikan arkeologi sejak usai Perang Dunia II,
dinilai Freed sebagai kesempatan baik menjalin pengertian
antarilmuwan di bidang lambang misterius seperti itu. Dari sini
bisa dilacak: jin dan setan mana saja yang selama berabad-abad
mempengaruhi nasib peradaban umat manusia. "Pewarisnya yang
utama, penduduk berbahasa Indo-Eropa, masih tetap menanti
jawaban," tulis dua sejoli Freed
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini