MENGAPA perusahaan pers, terutama di daerah, tak kunjung maju?
Soal inilah yang berkecamuk di benak para peserta pengembangan
manajemen perusahaan penerbitan surat kabar di Puncak, Bogor,
pekan lalu. Program yang diselenggarakan Institut Manajemen
Prasetya Mulya selama seminggu itu diikuti 29 peserta. Rata-rata
mereka menjabat pimpinan umum, pimpinan redaksi, atau pimpinan
perusahaan. Peserta diutamakan dari daerah, ada empat di
antaranya dari Jakarta.
Program ini merupakan kerja sama antara Serikat Perusahaan Surat
kabar (SPS) dan Yayasan Prasetya Mulya--pendiri institut (1982)
yang selama ini juga menyelenggarakan program pendidikan
bersifat akademis praktis untuk mencapai gelar master of public
administration. Sebelum menyelenggarakan program tersebut,
institut melakukan peneitian di Suara Karya (Jakarta), Suara
Merdeka (Semarang) dan Kedaulatan Rakyat (Yogya).
Menurut Ketua Umum SPS Pusat Sunardi D.M., 60 tahun, program
pendidikan manajemen perlu untuk mengatasi kesulitan pengelolaan
surat kabar. Kesulitan yang sekarang, menurut Sunardi, umumnya
berpangkal pada pola lama -- pengelolaan pers masa perjuangan:
surat kabar cukup dipimpin oleh seorang wartawan yang jempolan.
Pada hal, setelah Orde Baru, ternyata segi komersial penerbitan
pers sangat penting. Dan wartawan ulung menurut Sunardi, belum
tentu seorang manajer yang baik.
Pasang-surut jumlah penerbitan, kalau itu boleh menjadi ukuran,
memprihatinkan Sunardi yang juga pemimpin umum harian Berita
Yudha itu. Sebagai contoh, sejak lahirnya UU Pokok Pers (1966),
ada 1.491 Surat Izin Terbit (SIT) yang dikeluarkan. Sembilan
tahun kemudian jumlah SIT merosot drastis, kurang dari 300. Lima
tahun kemudian, juga sampai tahun kemarin, angka tersebut tidak
beranjak naik. Barangkali hal itulah yang tahun lalu mendorong
SPS menyelenggarakan program pendidikan pers sendiri di Solo
(untuk kawasan Indonesia bagian tengah dan barat) dan di Ambon
untuk Indonesia bagian timur.
Pihak institut sendiri rupanya menyadari, berhasilnya misi surat
kabar tergantung dari basis ekonominya. "Perusahaan pers pada
hakikatnya suatu bisnis juga. Bisnis tersebut perlu diperkukuh
dengan upaya manajemen," kata Lo S.H. Ginting, direktur Institut
Manajemen Prasetya Mulya.
Ceramah lain mengenai pengorganisasian perusahaan penerbitan,
usaha promosi, pemasaran, dan periklanan juga menarik minat. N.
Drost, 62 tahun, dari The Netherlands Management Consultancy
Programme for Deveoping Countries, yang menyampaikan ceramah
tersebut, berpengalaman lebih dari 20 tahun mengelola manajemen
berbagai penerbitan, antara lain majalah wanita terkenal Libelle
dan Margriet dari Negeri Belanda.
Program pendidikan manajemen seperti ini juga sangat
dimanfaatkan Basyiruddin Yusuf, wakil pemimpin redaksi Dili Pos
yang terbit seminggu sekali sejak dua tahun lalu. Koran ini
disiarkan gratis. Oplahnya 3.000 eksemplar, belum pernah memuat
iklan. Basyiruddin, yang tujuh tahun lalu pernah mengikuti
latihan kerja di Berita Yudha itu, cukup serius mengikuti
penataran ini, sebab kelak Dili Pos harus berdiri sendiri tanpa
dana Inpres Provinsi Timor Timur seperti sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini