Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perang di gunung etna

Usaha untuk menjinakkan gunung etna (sisilia) yang tahun ini kembali memuntahkan laharnya. dengan menggunakan alat-alat besar, para ilmuwan membuat terusan untuk mengalihkan jalan aliran lahar. (sel)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUNUNG itu menjulang 10 ribu kaki di Gatas pantai Sisilia. Pujangga-pujangga Homerus dan Vergilius pernah melukiskan kedahsyatannya di masa lampau. Dan kini, bagi penduduk Sisilia, Gunung Etna tetap dianggap salah satu gerbang neraka. Tak heran: sejak zaman klasik gunung ini sudah memperlihatkan kemarahannya melalui lebih dari 200 letusan, dan musim semi tahun ini Etna kembali mendidih, dan mengirimkan lahar ke dusun berdekatan. Tetapi sekali ini, tepatnya sejak Mei lalu, ia tak bisa lagi merasa sangat aman. Manusia memperlihatkan jawabannya melalui usaha yang tidak kepalang tanggung: berkeras menjinakkannya. Letusan bermula pada akhir Maret tahun ini. Saat itulah Etna mulai memuntahkan laharnya melalui lubang di lereng selatan. Dengan kecepatan 50 mil sejam, dua juta kubik lahar mengalir setiap hari turun ke selatan, menelan sekitar 100 bangunan, dan mengubah ratusan hektar kebun buah-buahan dan ladang menjadi padang hangus seperti dalam Inferno Dante. Makin jauh dari sumbernya, lahar itu semakin lamban dan semakin dingin. Namun tetap mengancam dusun-dusun Ragalna, Nicolosi, dan Belpasso. Penduduk yang cemas segera memohon pemerintah bertindak. Dan dari pusat pemerintahan di Roma datang jawaban yang dramatis. Pemerintah akan menyewa sebuah tim ahli ledakan. Mereka ini diminta mengubah jalan aliran lahar. Biayanya mencapai US$5 juta -- sekitar Rp 5 milyar. Dalam arti yang sesungguhnya, ketiga desa itu sebetulnya tidak dalam bahaya besar. Sebuah dewan penasihat yang terdiri dari para vulkanolog sudah memberikan pertimbangan kepada Loris Fortuna, menteri perlindungan sipil Italia. Menurut dewan ini faktor kelekatan lahar yang ditakuti itu sebenarnya cukup tinggi, sedang suhunya cukup rendah. Dengan kedua faktor itu lahar akan membeku dan berhenti sebelum mencapai pemukiman sekitar. Toh para politisi ingin menenteramkan hati para pemilih mereka. Di samping itu pemerintah dan para vulkanolog sudah kepalang basah. Mereka ingin menjawab pertanyaan: dapatkah manusia mengubah dan mengendalikan jalan lahar yang turun dari sebuah gunung yang sedang meletus. Tapi sebetulnya, bukan baru pertama kali ini orang di sana berusaha menjinakkan sungai api yang turun dari Etna. Pada musim semi dan permulaan musim panas 1669, gunung itu menunjukkan kemarahan luar biasa. Lusinan kota terkubur di bawah milyaran kubik lahar. Dan ketika gelombang lahar mendekati tembok Kota Catania, penduduknya keluar dan berusaha menjinakkan sungai mendidih itu: mereka menggali parit di sekeliling bagian kota yang tinggi. Usaha ini memang berhasil, namun menerbitkan perkara baru. Lahar membelok ke kota lain -- ke Paterno. Bisa dimaklumi kalau penduduk Paterno murka luar biasa. Lima ratus warga Paterno yang perkasa -- dan terbakar oleh amarah naik gunung dan membawa segala macam senjata: kapak, lembing, beliung, parang, bahkan belantan. Mereka memaksa penduduk Catania menghentikan penggalian parit. Lahar kemudian membelok lagi -- dan menghajar Catania. Karena itu, rencana kali ini diperhitungkan semasak-masaknya. "Tidak akan ada kota lain yang dirugikan. "Menurut konsep lahar akan dipaksa mengalir secara alamiah, sekitar satu mil di atas alas gunung. Pada beberapa tempat di sekitar lereng, dekat puncak, aliran panas itu akan menyusuri jalur-jalur alami yang tercipta melalui endapan vulkanik purba. Para ilmuwan memperhitungkan, dengan mengalihkan lahar dari salah satu alur ini ke 'sungai' yang lebih lebar, dan dengan tekanan alamiah, lumpur panas itu akan terserak dan menjadi dingin dalam tempo lebih cepat. Teoritis, lahar akan berhenti sebelum sempat mencapai pemukiman terdekat. Lebih lanjut sekitar 160 yard di atas penurunan, gelombang lahar akan menyusuri celah yang sudah tercipta sejak ratusan tahun. Celah ini berfungsi sebagai semacam panahan, yang membuat arus itu kehilangan kecepatan. Maka mulai awal Mei, dengan menggunakan pelbagai alat besar, para ilmuwan membuat terusan dari dinding lahar yang membeku, sebagai jalan untuk mencapai sebuah terjunan. Kunci usaha ini memang terletak pada kemampuan meremukkan dinding lahar itu. Dan untuk ini pemerintah Italia mendatangkan Rolf Lennart Abersten, 46 tahun, orang Swedia pendiam dengan rambut warna perak. Dia ini spesialis peledakan, dan julukannya juga bukan sembarangan: Lenny Sang Obor. Lenny pernah bekerja pada perusahaan peninggalan Alfred Nobel, penemu dinamit dan perintis Hadiah Nobel itu. Kini ia memimpin kantor konsultan pertambangan dan bangunan di Milano, Italia. Meledakkan dinding lahar tentu bukan kerja berat untuk seorang dengan keahlian seperti Abersten. Namun ada penghambat: suhu yang sangat tinggi di bagian dalam dinding yang dialiri lahar. Mencapai 982øC. Padahal titik marak dinamit yang bakal digunakan, yang dikenal sebagai Gel A, hanya sekitar 93øC. Menurut perhitungan Abersten, dinamit tetap harus dipasang di sepanjang bagian dalam dinding sekitar tiga meter. Satu-satunya cara ialah mengandalkan diri pada kecepatan dan keberanian. Para pekerja harus mampu memasang bahan peledak itu dalam waktu singkat, kemudian menghindar sedini mungkin, sebelum suhu di seberang dinding mencapai titik marak. Bahan yang digunakan Abersten terdiri dari 50 tabung baja, masing-masing dengan diameter 3,2 inci. Dengan bor bermesin, tabung ini ditanamkan ke dinding lahar beku tadi, membentuk sudut yang tumpul dalam empat baris paralel. Tabung itu tidak utuh terbenam. Ada bagian yang menonjol ke luar. Dalam setiap tabung terdapat sepasang tabung yang lebih kecil. Masing-masing berisi udara dan air yang digerakkan dengan semacam pompa. Bagian tabung yang terbuka dilindungi dengan pembungkus baja. Dan barisan bahan peledak sepanjang dinding lahar beku tiga meter tadi akan dihubungkan dengan pembungkus baja ini. Dengan menggunakan sejenis pipa, dinamit diledakkan dengan udara yang dipadatkan. Air yang terdapat di salah satu tabung kecil tadi akan menghambat kenaikan suhu -- paling tidak memberikan waktu kepada para pekerja untuk meninggalkan daerah berbahaya. Sepanjang dinding itu, arus lahar bergerak terus tu run naik. Setiap hari. Pada 9 Mei, Abersten memutuskan memasang bahan peledak. Menurut perhitungannya, hari itu lahar akan mengalir rendah. "Tetapi gunung itu seakan-akan tidak sudi dijajah manusia," kata Gary Taubes dalam tulisannya di majalah Discover Juli lalu. Taubes menerima laporan dari Barry Kalb, yang ditugaskan berjaga di tempat kejadian. Beberapa saat sebelum hari yang ditetapkan, lahar tiba-tiba mengalir tinggi. Bahkan melewati tembok, dan menumpat beberapa tabung. Kerusakan segera diperbaiki, tapi malam harinya ancaman lahar bertambah serius. Sepanjang malam itu para pekerja bertempur melawan lahar: berusaha menurunkan suhu, dengan menyemprotkan air dari mobil-mobil pemadam kebakaran yang memang sudah disiagakan di sekitar lokasi. Semprotan air memang berhasil mengendalikan lahar -- dalam batas yang sangat tidak memadai. Dan tiba-tiba esok paginya lahar bertambah tinggi. Padahal jumlah bahan peledak yang sudah diperhitungkan Abersten sebelumnya tak cukup lagi untuk menembus endapan lahar baru. Karenanya rencana terpaksa diubah. Peledakan direncakan hari Jumat, 13 Mei. Tetapi masalah baru muncul: sistem pendinginan air itu hanya bekerja secara sporadis. Dan baris paling bawah dinamit yang dipasang sepanjang dinding, yang diharapkan membuka bagian dinding terendah menuju terusan yang sudah dibuat, ternyata terlalu panas. Tidak ada jaminan suhu tidak akan menciptakan redakan sewaktu-waktu. Rencana mentah lagi. Jumat malam itu Abersten dan para vulkanolog berembuk mencari jalan keluar. Mereka memutuskan: hanya akan menggunakan tiga baris dinamit, bukan empat. Jumlahnya 900 pound, tidak 1.100 seperti diperhitungkan semula. Pukul empat dinihari, Sabtu 14 Mei, angin yang dingin berhembus di sekitar gunung. Serangkaian isyarat tanda bahaya berkilapan di angkasa. Juga suara peluit, bersahut-sahutan, bagai pekik burung yang aneh, terutama di telinga penduduk yang menunggu peledakan dengan hati berdebar-debar. Perjuangan melawan Etna sedang menanti saat yang menentukan. Kemudian terdengarlah ledakan pertama -- diikuti gelombang yang mengejutkan. Semenit kemudian ledakan kedua menerangi langit subuh, dan lidah lahar yangterang benderang mulai tampak membelok dari alur utama. Ledakan ketiga pecah. Lahar tampak mulai mencapai terusan buatan. Perlahan-lahan arus panas itu mengikuti jalan baru yang dibuat manusia. Tetapi bahan peledak rupanya kurang banyak. Tidak seluruh lahar bisa dikendalikan menurut rencana. Ketika pagi tiba, Abersten dan para vulkanolog agak kecewa. Hanya sekitar 20% sampai 30% hasil yang dicapai. Di beberapa tempat, lahar yang membeku menutupi ujung-ujung terusan, sehingga menghambat perjalanan lahar berikut. Setelah rangkaian ledakan pertama, Abersten berkeras untuk melakukan rangkaian peledakan kedua guna menyempurnakan pengalihan jalan lahar. "Aku tidak sudi dikalahkan gunung ini," katanya kepada para reporter yang berkumpul di tempat kejadian. Sebaliknya, para ahli yang lain memutuskan untuk menunggu. Mereka tampaknya lebih berhati-hati. Mereka lebih dulu berniat membersihkan dinding lahar, dan menggali terusan-terusan yang tertutup, untuk memperlancar perjalanan lahar yang menyusul. Anehnya, saat itu pula Gunung Etna mulai tampak reda. Arus lahar mengalir lebih lamban dan sepuluh hari setelah dinding diledakkan, lahar yang paling depan berhenti sama sekali. Tetapi para ahli belum yakin kalau kenyataan itu ditimbulkan oleh ledakan Abersten. Pengalaman ini memang belum sempurna. Tapi bukan tidak ada kemajuan yang patut dicatat. "Paling tidak, Abersten dan para vulkanolog menemukan beberapa alternatif baru," ujar Gary Taubes. Sekarang mereka percaya bahwa lahar bisa dikendalikan -- "diarahkan". Mereka juga mendapat pengalaman baru memasang bahan peledak di suatu tempat dengan suhu sangat tinggi. Kemenangan memang belum gemilang. "Tetapi mereka sudah memperlihatkan kepada Gunung Etna, bahwa mereka bertempur dengan baik," Taubes menambahkan. Hal itu juga diakui Francesco Abatelli, pamong tertinggi di Catania. Ia, bersama sejumlah besar penduduknya, sangat mendukung eksperimen ini. "Kita sedang menyongsong tahun 2.000," kata Abatelli. "Manusia tidak lagi patut hanya menyerah kepada segala macam perlakuan alam. Kita harus mulai bertindak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus