SURAT itu jelas yang dituju: Stasiun Trem Listrik, Jalan Taman Djayengrono, Surabaya. Pengirimnya, seperti tertera dalam kop surat, PLN Cabang Surabaya Utara, Jawa Timur. Lembar yang terketik rapi itu berisi tagihan rekening listrik. Stasiun trem listrik dengan nomor kontrak E 1 1210 itu ditagih agar membayar rekening yang sudah lama sekali: tahun 1972, bulan-bulan Maret, Juni, dan September. Besarnya tagihan setiap bulan: Rp 169,00. Lengkap dilampirkan di situ daftar tunggakan. Dan seperti lazimnya teguran dari PLN, surat bertanggal 17 September 1985 itu juga berisi ancaman: kalau tidak dibayar dalam waktu dua minggu sejak ditagih, aliran listrik akan diputus. Diputus? Padahal, bukan saja arus listrik itu tak pernah mengalir. Malah yang disebut stasiun trem listrik itu pun sebenarnya tak ada. Atau, persisnya, hanya tinggal nama. Keberadaan trem itu sudah berakhir tahun 1970-an, dan di tahun 1971 relnya sudah diuruk habis. Di lokasinya kini sudah berdiri deretan kios, pertokoan, serta perkantoran. Surat tagihan itu jadinya nyasar ke kantor PT Tjipta Niaga, di Jalan Jembatan Merah, yang membuat si penerima kebingungan. "Surat tagihan itu jelas lucu," komentar Ir. Johan Silas, arsitek yang tahu banyak tentang Surabaya tempo doeloe. Bukan hanya lucu, tapi juga mengundang tanya. Petugas PLN Jalan Jembatan Merah sendiri sempat mengernyitkan alis mengamati surat itu. "Nama pimpinan PLN yang tertera dalam surat itu memang sudah benar. Tapi, surat itu kok cuma diparaf. Dan tanpa stempel," katanya. Parafnya malah dua buah, satu dengan tinta biru, satunya dengan tinta hitam. Sayang, pihak PLN Cabang Surabaya Utara belum mau memberi keterangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini