Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tahun Teror, Korupsi, dan Ketakutan

Ketika Abdurrahman Wahid, bercelana kolor, melambaikan tangan di beranda Istana Merdeka, orang tahu telah tiba saat bagi dia untuk pergi. Dikerdilkan hanya oleh tragedi mengiris di Amerika, drama turunnya Abdurrahman mungkin menjadi pusat kepedihan pada tahun 2001 lalu.

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan karena kepergiannya. Bukan karena sepenuhnya dia gagal. Tapi, barangkali, karena, setelah tiga tahun kejatuhan rezim Soeharto, periode ringkas kepresidenan Abdurrahman hanya mengabarkan satu hal: Godot belum datang juga. Godot bahkan sepertinya enggan datang meski Istana Merdeka punya penghuni baru, Megawati Sukarnoputri. Tiga puluh tahun orang menunggu Godot datang untuk mengubah banyak hal: membasmi korupsi, mendatangkan kesejahteraan, memberi rasa aman, menegakkan hukum dan keadilan, serta menjamin kebebasan. Mei 1998 memang menandai kebebasan politik baru. Tapi ternyata tidak tuntas menandai akhir sebuah era. Dia sekadar intermezo dari sebuah kontinuitas kebiasaan-kebiasaan lama. Kebebasan politik alias demokratisasi, yang ditandai luruhnya peran negara, ternyata justru mengelupas borok sosial yang selama ini tersembunyi. Dia meledakkan bisul kekerasan sedemikian rupa sehingga banyak orang kembali merindukan "surga" di era Soeharto: konflik brutal di Maluku dan Poso, pembasmian etnis di Sampit, maut demi maut di Aceh, dan darah yang kian banyak mengalir oleh kejahatan di jalanan. Korupsi kata orang hanya berubah wajah: dari korupsi tersentral, di lingkungan eksekutif dan di Jakarta, menjadi korupsi tersebar di antara partai-partai, di antara cabang-cabang negara dan ke pelosok-pelosok bersama pasang naik otonomi daerah. Kasus Tommy Soeharto menunjukkan bahwa uang masih laku untuk membeli hukum dan keadilan. Atau, jika tidak, pelor dan bom cukup untuk melumpuhkannya. Sementara rupiah tetap terbenam, serta banyak indikator ekonomi tak pernah pulih, sandiwara keuangan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional belum sepenuhnya tutup layar hingga akhir tahun lalu. Lihatlah bagaimana perampokan kolosal itu—ratusan triliun rupiah—dilegalkan di bawah istilah-istilah rumit merger, akuisisi, bantuan likuiditas, garansi deposito, dan "lender of the last resort", yang intinya satu: rakyat menanggung mahal petualangan bisnis para bankir dan pengusaha besar. Tapi, begitu burukkah? Benarkah demokrasi politik sebagai sarana memperbaiki keadaan hanya sebuah ilusi? Ataukah kita tidak cukup sabar menelan kekacauan sekarang ini sebagai pil pahit untuk masa depan yang lebih sehat? Melihat apa yang terjadi setahun lalu, kekacauan masih akan bersama kita beberapa tahun mendatang. Mungkin dengan dosis yang lebih tinggi, kita maui atau tidak. Lebih dari itu, kita tidak hidup di ruang kosong. Dampak teror, perang, ketegangan, dan resesi ekonomi global menyusul Tragedi 11 September di Amerika Serikat tak bisa diabaikan. Dalam dunia tanpa batas, negeri ini adalah ikan kecil dalam sebuah kolam yang risau. Tapi, barangkali kita justru membutuhkan semua kekacauan itu. Sebab, tak ada rekonstruksi tanpa destruksi dan "chaos". Masalahnya: euforia reformasi membuat kita terlalu berharap dan tidak sabaran. Terlalu lama menunggu Godot membuat orang berpikir Godot pasti segera tiba. Padahal Godot tak akan pernah datang. Sebab, Samuel Beckett tahu, Godot yang datang pastilah bukan Godot. "Buah reformasi tidak pernah datang tanpa kita—dengan tangan sendiri--menanam pohonnya. Perlu waktu," kata Vaclav Havel, dramawan dan politisi Ceko yang tahu benar Godot telah mengecewakan negerinya. Tapi, jika orang yakin bahwa menanamnya adalah sesuatu yang baik dan dengan tekun merawatnya, tak ada alasan baginya untuk menggerutu dalam penantian. Cukup dia menyadari bahwa menunggu pohon berbuah tidaklah sia-sia, bahkan jika harus satu dasawarsa atau satu generasi lamanya. Sebab, ada harapan di situ, bukan keputusasaan. Ada kepasrahan terhadap sang waktu di situ, bukannya ketenteraman surgawi berteman keseragaman membosankan ala Orde Baru. Ada kejutan, suspens, di setiap tikungannya. Barangkali, itulah yang disebut hidup. Tak peduli siapa saja yang menghuni Istana Merdeka. Sementara menunggu pohon tumbuh, hidup juga terlalu berharga untuk disusutkan sekadar politik atau ekonomi. Sepanjang tahun lalu kita menyaksikan seni rupa, sastra, musik, dan film marak menjadi sumber kesenangan kita dalam menikmatinya. Itulah sumber kebahagiaan kita sehari-hari yang tak layak dicuri oleh siapa pun, oleh apa pun. Tidak kekacauan politik, suramnya ekonomi, ataupun ingar-bingar George Bush memburu Usamah bin Ladin. Orang-orang misterius, yang meledakkan bom-bom di Jakarta, memang ingin melucuti kebahagiaan kita dan menukarnya dengan rasa takut. Tapi kita tak boleh menyerah. Mengikuti saran Robert Fulghum, pendongeng lucu dari Amerika, kita bisa melawan mereka dengan membalas meluncurkan rudal ke rumah-rumah mereka. "Rudal kebahagiaan". Rudal itu akan meledak pelan di udara, seperti mekarnya kembang api di malam tahun baru, menyebarkan ribuan parasut kecil yang membawa kotak krayon warna-warni. Perak, emas, tembaga, magenta, pink, dan pokoknya selaksa warna. Orang-orang misterius itu akan tersenyum, membayangkan anak mereka melukisi seluruh dinding rumah, bahkan wajah sendiri. Lucu dan cantik. Itu akan menyadarkan mereka bahwa menyalurkan imajinasi lebih menyenangkan ketimbang membunuh atau menakut-nakuti orang lain. Farid Gaban

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus