Mochtar Pabottingi *)
*) Peneliti senior LIPI
Mengapa para petinggi Golkar seperti Syamsul Muarif, Ferry Mursyidan Baldan, dan Slamet Effendy Yusuf begitu mati-matian membela ketua umum mereka, Akbar Tan-djung? Mengapa mereka berusaha memupus kemungkinan terbentuknya panitia khusus (pansus) DPR untuk kasus Buloggate II? Dan mengapa pula Kejaksaan Agung begitu terang-terangan menghindari jalan pintas memburu temuan TEMPO atas fotokopi kuitansi sebagian dari dana Bulog Rp 40 miliar yang diterima bendahara Golkar, M.S. Hidayat dan Fadel Muhammad?
Jawabannya satu: sebab, kasus itu bisa mengantar kita ke momen kristalisasi politik—dan dari sini mungkin bergulir pada keputusan politik—yang sangat menentukan berlanjut-tidaknya cengkeraman Golkar atas negara dan bangsa kita. Kasus ini memberi peluang istimewa bagi barisan reformasi untuk membebaskan bangsa kita dari pelbagai penyimpangan, bahkan pembalikan, upaya reformasi selama lebih dari tiga tahun terakhir. Jika pansus Buloggate II tidak jadi dibentuk atau jika Akbar Tandjung sampai lolos lewat tumpukan isyarat kebohongan atau ketiadaan tanggung jawab, itu pasti merupakan indikator bahwa cengkeraman Golkar—di samping tumpukan praktek kotornya—tetap berlanjut dan keadaan tak menentu akan terus mendera bangsa kita.
Di bawah Soeharto, Orde Baru menggerogoti sendi-sendi politik, ekonomi, hukum, dan kepemimpinan di negara kita melalui sinergi penyelewengan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, ataupun intra-ketiga lembaga pemerintahan ini. Lewat sinergi penyelewengan ini, segenap inisiatif kritis dan merdeka dari masyarakat dibungkam dan ditindas. Indonesia ditransformasikan oleh Soeharto menjadi hibrida Mataram-Hindia Belanda, negara yang berjalan dengan kacamata kuda, dengan aparat-aparat yang direkrut berdasarkan oportunisme dan dominasi motif keserakahan akan harta dan kekuasaan. Di bawah format politik Orde Baru, pada hakikatnya tak ada republik atau nasion, apalagi mekanisme pemerintahan yang saling imbang dan saling kontrol. Lewat format politik inilah hampir semua yang utama dan mulia pada republik dan nasion kita diinjak-injak dan dihancurkan.
Kenyataan getir yang berlaku sejak Presiden Habibie adalah dilanjutkannya sinergi penyelewengan Orde Baru. Pertandingan antara Orde Baru dan barisan reformasi sudah timpang sejak semula. Kala Soeharto lengser, ketiga lembaga pemerintahan masih dipenuhi oleh kekuatan-kekuatan Orde Baru, termasuk alat-alat negara. Tak ada pencerahan politik dari pemerintah kepada masyarakat luas tentang penyelewengan, bahkan pengkhianatan, apa saja yang berlaku sepanjang 32 tahun di bawah Orde Baru, dan mengapa reformasi menjadi niscaya. Bandingkan dengan betapa gencarnya propaganda Orde Baru ketika Demokrasi Terpimpin Sukarno baru saja ditumbangkan dan dibersihkan dari ketiga lembaga pemerintahan hingga ke tingkat ormas-ormas dan masyarakat selebihnya.
Kini sinergi penyelewengan antarketiga lembaga pemerintahan secara formal memang sudah berkurang, terutama lantaran ber-kurangnya dominasi eksekutif. Namun, sinergi jahat ini masih berlaku kencang pada intra-lembaga-lembaga peradilan, yakni kejaksaan, kehakiman, kepolisian, dan kepengacaraan. Dan sewaktu-waktu sinergi antarlembaga pemerintahan masih muncul secara insidental dalam gerak gerilya. Pelolosan RUU Kepolisian di DPR lebih dari sebulan lalu mungkin adalah salah satu contohnya.
Dalam tiga tahun terakhir, masyarakat luas belum sepenuhnya terlepas dari pembodohan politik Orde Baru. Sinergi penyelewengannya hanya lengser sebagian. Barisan reformasi, yang dipelopori oleh mahasiswa, sebagian intelektual, dan kalangan masyarakat yang memahami keniscayaan reformasi, sangat miskin dana dan/atau miskin organisasi untuk membela serta meluruskan agenda reformasi. Pemilik dana berlimpah hasil jarahan atas sumber-sumber daya publik tetap, yaitu barisan Orde Baru. Dengan modal itulah mereka mengorupsi dan melencengkan tiap agenda reformasi: penyusunan undang-undang politik baru, pembentukan partai-partai politik baru, pemilihan umum, rekrutmen anggota DPR/MPR ataupun DPRD, rangkaian pelbagai undang-undang yang disusun, pengangkatan pejabat-pejabat pemerintahan di daerah, hingga ke penggayutan antireformasi dalam upaya amandemen konstitusi. Tujuannya tak lain adalah mengukuhkan kembali pelbagai kebijakan dan praktek Orde Baru, tempat kepentingan rakyat banyak yang terangkum dalam cita-cita kemerdekaan kita kembali dicampakkan. Pada semua itu, peranan Golkar sangat menentukan.
Sewaktu dideklarasikan sebagai partai politik pada 7 Maret 1999, para pemimpin Golkar sudah mengumumkan kebaruannya, seolah-olah dengan pengumuman itu segenap sifat dan praktek kotornya lantas habis seketika. Ia menyatakan diri (1) telah ”melakukan koreksi yang terencana, melembaga, dan berkesinambungan terhadap penyimpangan yang terjadi di masa lalu”, (2) telah ”berupaya mengambil tindakan tegas terhadap... KKN”, dan (3) telah menyatakan diri sebagai ”partai yang mengakar” dan ”responsif”, serta ”senantiasa peka dan tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat”.
Golkar ”baru” juga berjanji (1) akan ”memperjuangkan aspirasi kepentingan rakyat sehingga menjadi kebijakan politik yang bersifat publik”, dan (2) akan memelopori ”tegaknya kehidupan politik yang demokratis dan terbuka (transparan)”.
Dari rangkaian lupa hebat Akbar Tandjung dalam kasus Buloggate II, terbuktilah bahwa semua janji di atas hanyalah rangkaian isapan jempol. Semua itu tak lebih dari topeng baru untuk melanjutkan praktek-praktek kotor Orde Baru. TEMPO mencatat bahwa dugaan penyaluran dana Bulog ke pundi-pundi bendahara itu berlangsung pada 2 Maret dan 20 April 1999. Bukankah itu sungguh masih sewaktu dengan hari deklarasi Golkar ”baru” pada 7 Maret 1999 dengan segenap ikrar dan pernyataannya yang berbunga-bunga tersebut? Hanya kalangan koruptor karatan yang kata dan tindakannya bertentangan secara diametral pada waktu yang bersamaan.
Tetapi kuatnya cengkeraman Golkar beserta praktek-praktek lama yang disebarkannya tidak hanya tercium sangit pada kasus Buloggate II. Ini juga tercium pada skandal ”hibah-hibah raksasa” yang masuk ke rekening para anggota DPR, pada terpilihnya Abdul Ghafur dan Fadel Muhammad masing-masing sebagai gubernur (dan pada rangkaian kemenangan Golkar atas mayoritas PDIP di sejumlah DPRD dalam pemilihan kepala-kepala pemerintahan lainnya di daerah), pada sinyalemen penyelewengan 40 persen dari dana alokasi umum, dan pada pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah yang juga diperkirakan sangat menguntungkan para pembesar dan kalangan Golkar.
Kita patut berdecak kagum akan begitu sigapnya Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno menilai pemilihan Fadel Muhammad ”tak bermasalah” dan segera melantiknya sebagai Gubernur Provinsi Gorontalo. Tak jelas apakah Sabarno sudah menyimak isi demonstrasi Komite Pemantau Pemilihan Gubemur 2001 ke Komisi II DPR untuk mempersoalkan prosedur pemilihannya. Juga tak jelas apakah ia membaca betapa santer nama Fadel disebut-sebut sebagai penerima Rp 10 miliar dari Rp 40 miliar dana Bulog yang pertanggung-jawabannya kacau itu.
Kini Syamsul Muarif dan rekan-rekannya bersikeras menolak apa yang mereka sebut sebagai ”proses politik” dalam upaya menyelesaikan kasus Buloggate II. Sikap seperti ini menyembunyikan sejumlah kenyataan kelam pada apa yang mereka sebut ”proses hukum”. Di tengah-tengah puncak krisis politik, ekonomi, hukum, dan kepemimpinan yang kita alami selama empat tahun terakhir, ”proses hukum” sesungguhnya mustahil dilepaskan dari ”proses politik”. Apakah yang kita sebut sinergi penyelewengan di lembaga-lembaga peradilan itu ”proses hukum” atau ”proses politik”, apalagi antara ketiga lembaga pemerintahan.
Penolakan Syamsul Muarif cs. juga menyembunyikan penipuan kepada masyarakat luas, yang sesungguhnya sudah kebal tipuan. Yang didiamkan atau disembunyikan oleh Syamsul adalah kenyataan bahwa sinergi penyelewengan intra-lembaga-lembaga peradilan relatif masih utuh, tidak seperti halnya pada antar-lembaga kenegaraan. Itulah sebabnya ia menyebut partisipasi DPR dalam kasus Buloggate II itu ”proses politik”, sedangkan monopoli peradilan disebutnya ”proses” hukum. ”Ini juga menyembunyikan penipuan dalam hal merajalelanya komodifikasi atas kasus-kasus korupsi/pelanggaran besar seperti yang umum diketahui berada dalam genggaman ”mafia peradilan”. Mendadak lupakah Syamsul dan kawan-kawannya pada persepsi riil masyarakat luas—yang lahir dari pengalaman riil puluhan tahun—tentang semua ”pembusukan hukum” itu?
Dua sikap kritis berikut juga perlu diajukan kepada Syamsul Muarif cs. Pertama, sudah terbuktikah bahwa ”proses hukum” menyangkut kasus-kasus kakap sejak lengsernya Soeharto benar-benar menegakkan keadilan, atau justru malah melestarikan kukuhnya ketidakadilan? Berapakah porsi ”proses hukum” selama 35 tahun ini yang keputusannya bersambung dengan rasa keadilan masyarakat luas? Kita mengetahui bahwa, dari puluhan kasus penyelewengan ekonomi raksasa dan pelanggaran hak asasi manusia berat, belum satu pun yang menghasilkan keputusan yang adil dan benar serta memenuhi rasa keadilan masyarakat luas. Yang dipenuhi hanyalah formalitas peradilan, yang dimenangi selalu oleh para pelaku korupsi raksasa atau para pelanggar hak asasi manusia kelas kakap.
Kedua, pernahkah dipertanyakan apakah semua produk per-undang-undangan ataupun peraturan pelaksanaannya sejak Soeharto lengser tidak justru membuka peluang bagi kembali, terus bercokol, atau menguatnya lagi kebijakan dan praktek lama pada rekrutmen dan mekanisme pemerintahan kita? Bukankah cukup banyak indikator yang menunjukkan bahwa semua itu umumnya disusun justru untuk membukakan peluang-peluang bagi dipertahankannya pelbagai segi dan kebijakan format politik Orde Baru?
Asumsi keadaan politik normal pada Undang-Undang No. 22/ 1999, yang menitikberatkan pemberdayaan lembaga-lembaga legislatif, menyembunyikan kenyataan betapa timpangnya kesiapan lomba antara partai-partai Orde Baru, khususnya Golkar, dan partai-partai pendukung reformasi. Juga betapa tak bergiginya Komisi Pemilihan Umum ataupun lembaga-lembaga perwasitan lainnya berhadapan dengan ofensif politik uang dari Golkar dalam Pemilihan Umum 1999. Dengan kata lain, tak ada level playing field antara Golkar dan partai-partai lainnya, khususnya di daerah-daerah. Itulah sebabnya di sana Golkar kembali memenangi sebagian besar pemilihan umum. Adapun di mana mereka kalah, mereka umumnya berhasil merebutnya kembali, lagi-lagi dengan politik uang, untuk melancarkan pemilihan orang-orang mereka pada posisi-posisi eksekutif. Dengan asumsi demikian, undang-undang tersebut telah membukakan pintu bagi menguatnya kembali cengkeraman Golkar di daerah-daerah.
Kunci bagi kemungkinan melepaskan diri dari cengkeraman Golkar, yang kini kian kuat, terletak pada pembersihan lembaga-lembaga peradilan tersebut dan/atau pengambilan berbagai keputusan yang adil dan benar atas pelbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme besar. Ini sekaligus merupakan kunci bagi suksesnya ketujuh prioritas kabinet Megawati.
Pada minggu-minggu terakhir, Presiden Megawati memberi kita sinyal-sinyal yang saling bertolak belakang. Adakalanya beliau tampak berhasrat menjajari ayahandanya dalam hal integritas kerakyatan, kesantunan pada nasion, dan pengutamaan atas prinsip keadilan. Namun, adakalanya beliau juga tampak ingin menjajari Soeharto dalam hal ”stabilitas pemerintahan”, dengan mendiamkan rangkaian korupsi, kezaliman, dan penyelewengannya yang parah.
Kasus Buloggate II, dan belakangan rencana pemberian abolisi kepada Soeharto, akan merupakan dua indikator penting tentang di mana sesungguhnya presiden kita berdiri. Lebih penting lagi, kedua kasus ini membawakan momen kristalisasi politik: mana yang lebih kuat, drive menuju reformasi ataukah cengkeraman Golkar!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini