Ben Anderson
Di tengah seribu-satu rentjana Reformasi terhadep ini-itu sisa Orde Babe, ternjata bahwa belon banja dibitjaraken en dipikirken masalah pembebasan bahasa nasional dari belenggu Hukum Pidana Kabudajaan jang didjuluki Soeharto cs sebagai "bahasa baik dan benar". Padahal kitorang samua mengerti bahwa bahasa Gupermen—jang ngakunja baek en bener itu—djusteru membosankennja boekan kapalang, kaku, tanpa mutu, apalagi bersipat dusta en pura2. Kitorang djuga melihat bahwa bahasa jang dipake di koran2 dan madjalah2 misih sering djelek, genit-lesu, dan melelahken. Dasar si hamba suka ikut2an gerakgerik tuwannja.
Selaen itu, seharusnja disadari bahwa di blakang apa jang disebut sebagai Edjaan Baru—jang dipaksaken pada bangsa Indonesia oleh Babe dan para pujonggo setianja—ada maksud politiek jang djahat. Temtu sadja, maksud ini disembunjiken dengen matjem2 alasan, umpamanja: akan mempermudah "persudaraan" dan "tukar-menukar buku" dengan Sudara Muda di Semenandjung Melaju. Apa hasilnja? Kitorang Indonesia sampe sekarang pun djarang batja buku2 terbitan Malaysia, ketjuali dulu (diem2) menikmati buku2 Pramoedya Ananta Toer jang dilarang disini tetapi bole sadja diterbitkan disono. Djuga dikataken tanpa malu bahwa Edjaan Baru ini lebih tjotjok untuk orang asing dan aken memadjuken kitorang punja gengsi internasional, plus mengembangken perdagangan dengen dunia luwar. Padahal orang asing djika berhadepan dengan kata Cirebon misih bengong, apakah harus diutjapken sebagai Sirebon atawa Tjirebon. Kata "badja" tara membingungken; tetapi kata "baja" aken keluwar dari marika punja mulut sebagai ba-dja atawa ba-ya?? Tergantoeng si boele berbahasa Inggris (j = dj) atawa Sepanjol (j=y). Namanja Edjaan Bikin Bengong!
Maksud politiek itu tadi sabenarnja ialah mentjap semua buku2, dokumen2, madjalah2 dari djaman voor-Babe sebagai barang usang, "suda masuk kotak" untuk selamanja kalau tara masuk bui. Lantaran itu, dengan diterapken Edjaan Bikin Bodo itu di massa media dan di sekolah2, angkatan muda aken merasa bahwa buku2 jang pake edjaan2 "lama", seandainja djumpa, pasti bikin mumet kepala, aneh, dan tara terbatja: hanja kerna edjaan belaka! Dengan demikian utek angkatan muda maunja ditjutji habis2an dari apa sadja jang tara diidjinken dan disebarluwasken oleh Gupermen en tjenteng2nja dikalangan intelek. Lutjunja: banjak gembong2 Orde Babe itu misih ogah merubah marika punja nama sendiri, mulai dari Soeharto sampai antek2nja jang paling ketjil. Rupanja, diem2 marika anggep edjaan lama itu lebih keren, lebih berbau ningrat, en lebih bukan-OKB. Ertinja, sama sekali bukan usang, kuno, atawa berbau tempat sampah. Dalam kasus Nama-Gengsi diri sendiri, marika pikir, persetan pada orang2 asing em Sudara Muda!
Masalah sekarang ialah: apakah kitorang pengen punja utek jang ditjutji Babe untuk selamanja? Apakah kitorang misih tega dipisahken dari kite punja sadjarah, sastra, traditie2 enz.? Apakah kitorang misih merasa diri seolah2 telandjangbulat djika tida punja bahasa standaard dan edjaan standaard yang djelas otoriter sebagai kolor nasional? Apakah tiada baeknja diadaken sematjam demokratisatie bahasa Melaju kitorang punja, dan djuga diterapken kepadanja itoe prinzip2 otonomie daerah dan kebebasan mengutjapken pikiran? Djika orang2 Djawa bole sadja pake kata2 lutju saperti "terhadep kepada"—jang djelas impor mentah dari bahasa Djawa—dalam pidato resminja [dan haram ditertawaken], kenapa orang2 Ambon tak bole pake kata saperti beta? Orang Tjirebon kata saperti isun? Orang Tionghoa kata saperti oewe?
Beta punja pikiran kalo kitorang pengin supaja bahasa Indonesia hidup kembali bukan sebagai bahasa milik penguwasa tetapi milik ra'jat Indonesia dengan segala variatienya, selaen pembebasan pers perlu pula pembebasan bahasa dan edjaan.
Ketika saorang Djawa membatja karangan saorang Oost-Indië jang pake kata2 saperti "tara" dan "beta", mungkin samula ia aken garuk dia punja kepala botak, tetapi sabentar lagi ia aken merasaken lezatnja kebudajaan Groote Oost dan sekaligus aken memperkaja dia punja bahasa sendiri. Kitorang djangan sampe lupa bahwa bahasa nasional ini tumbuh sebagai lingua franca, jaitu bahasa antar-suku dan antar-bangsa; dan lantaran itu sepandjang beratus2 taon hidup segar-bugar dengan seribu-satu variatie lokal. Sialan djuga: jang pertama tjoba-tjoba paksaken bahasa-standaard, ja... Gupermen Blandalah pada awal abad ke-20!
Langkah demikian djuga aken memulihken sastra Tionghoa-Melaju pada tempat jang terhormat dalam sajarah bahasa dan sastra Indonesia moderen. Dan bukannja tjuman sebagai perintis kasusastraan Indonesia pada achir abad ke-19 saperti diakui oleh semua ahli bahasa en sajarah jang misih punja utek jang lumajan "kotor". Tjoba bajangken! Buku jang paling heibat, paling lutju, paling berkaliber sastranja, dan paling mendalam perasaannja tentang periode peralihan dari achir djaman Belanda melalui djaman si Kate sampai ke djaman Revolosi (ja bener, para pembatja, pertjaja atawa tida, kitorang punja bangsa pernah bikin revolusi!) sampai sekarang tak dikenal oleh orang2 Indonesia, sebagian besar karena ditulis dalam bahasa Indonesia versi Tionghoa-Melaju. Padahal diterbitken "dibawah tanah" pada bulan Nopember 1947 di Malang jang sedang diduduki oleh serdadu2 KNIL.
Para pembatja pengen tjitjip Indonesia dalem Api dan Bara, karangan tokoh misterius si "Tjamboek Berdoeri"? Silaken menikmati bagian ketjilnja jang menjusul:
"Tjilakanja, kita tida tahoe, apa jang kita sekarang liwatin ini ada serdadoe jang tadi tida maoe dimanggoetin atawa soedah diganti oleh kawannja laen jang bole djadi ingin dirinja dihormatin? Sebab serdadoe Djepang itoe semoea ampir sama aer moekanja. Dan kalo kita, djaoe-djaoe soedah toeroen dengan hendak manggoet, si Djepang jang takoet koewalat tadi bentak-bentak kita dengan iapoenja khurrah-khurrah seolah-olah kita ini tjoema ada satoe andjing belaka. Wa, kliroe, pikir kita, sembari lekas berlaloe dengan tahan rasa maloe djoega, sebab dikhurrah-khurrah di tempat di mana ada banjak orang liwat. Dan kombalinja kita, jang maoe toeroet prentah sebab sajang diri sendiri, dengen enak sadja liwat dengen sepeda kita, seperti djoega di tanah Djawa ini tida ada Djepang jang bikin moemet kepala dengen iapoenja seriboe satoe pelatoeran jang diroba tiap djam dan tiap djam bisa djoega bertentangan satoe pada laen. Tapi baroe roda depannja liwatin itoe serdadoe, jang tadinja disangka takoet lekas mati kerna terlaloe banjak dimanggoetin, atawa soemanget kita dibikin terbang dengen treakan 'Hoeh' dan sabentar lagi kita soedah berdiri di depannja sang Petroek dengen daon-koeping jang dirasaken panas sekali. Sebab baroesan digandjar dengan setahoe berapa kali tempilingan. Soedah bagoes djika kita lantas bole berlaloe; kadang-kadang masih disoeroe djadi tiang hidoep di sebelahnja."
Hidup, bukan? Punja kaliber sebagai sastra, bukan? Ini salah satu tjonto ketjil dari sekian banja versi dari bahasa Indonesia/Melaju jang harus dibebasken dari hotel prodeonja Neues Ordnung. Ajo, kitorang sama2 bergerak keduwa arah: Pertama, membebasken bahasa jang tertjinta itu dari "sel interogasi" redjim Bahasa Baik dan Benar, dan sekaligus membebasken diri sendiri untuk pake bahasa/edjaan apa sadja jang tjotjok dengan pribadi2 kita, maksud2 kita, dan pergaulan2 kita masing2. Keduwa, bertindak dalam bidang edjaan sedemikian rupa sehingga apa sadja jang misih pake "edjab" itu aken dirasaken oleh ra'jat hanja sebagai warisan usang plus kropos dari djaman-djahanamnja Babe, Golkar, ABRI, Kompas-Kempes dan sobat2 kentel-intel marika semua—jang insjallah suda liwat. Inget sadja bahwa antara taon 1942 en 1945 koran2 dan madjallah berbahasa Melaju dipaksaken pasang kop dengen taon versi Djepang (2602 sampe 2605). Dengen mletoesnja Revolusi, bukannja Reformasi lho, edjaan taonan itoe langsung, dan setjara spontan, lenjap tiada dipake lagi. Gampang?? Ija toh, asal ada tekad sedikit........!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini