Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Ada Minyak, Sawit pun Jadi

Harga minyak sawit mentah diperkirakan masih akan melesat tahun depan. Indonesia dan Malaysia berebut untung.

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABAN akhir pekan, Novi Afrilianti mondar-mandir Musirawas-Palembang. Rute sepanjang 400 kilometer yang ditempuhnya dengan berkereta api selama tujuh jam itu sudah dilakoninya setahun terakhir ini. Di ibu kota Sumatera Selatan itulah ibu dua anak ini tengah menyelesaikan kuliah program ekstensi sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Abdi Nusa. Program nonreguler di akhir pekan sengaja dipilih agar tak mengganggu rutinitas hariannya, meski untuk itu ia harus merogoh kocek lebih dalam.

Buat lulusan Akademi Perawat Palembang ini, ongkos mahal bukan soal. Semua berkat kelapa sawit. Di Musirawas, tak kurang dari 14 hektare kebun sawit dimiliki keluarganya. Saat harga minyak kelapa sawit mentah di pasar internasional melejit ke angka US$ 900 (sekitar Rp 8,1 juta) per ton, setiap bulan Novi bisa menangguk Rp 15-20 juta. Dari rezeki ”emas hijau” inilah dia akhirnya bisa membangun klinik dan rumah besar di atas tanah 1.000 meter.

Di Musirawas dan beberapa daerah lain di luar Jawa, petani kaya seperti Novi tak sedikit. Salah satu buktinya, sebagian besar dari 298 calon haji tahun ini dari Musirawas adalah pemilik kebun sawit atau karet.

Akmaluddin Hasibuan, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, mengatakan dalam setahun terakhir harga minyak kelapa sawit mentah terus menanjak. Harga yang di awal tahun ini masih sekitar US$ 550, di awal Desember lalu, sempat menyentuh US$ 940 per ton.

Melonjaknya harga minyak sawit, kata Akmaluddin, didongkrak oleh meningkatnya permintaan dunia untuk bahan bakar nabati (biofuel). Di tengah mahalnya minyak mentah dunia, sebagian pemain pasar membeli minyak sawit besar-besaran untuk cadangan bahan bakar. Namun ia yakin harga tinggi itu hanya sementara. ”Kalau harga kelewat tinggi,” kata dia, ”kami juga repot. Jadi susah menjualnya.” Karena itu, tahun depan Akmaluddin memperkirakan harga crude palm oil (CPO) hanya akan berkisar US$ 700-800 per ton, kendati permintaan pasar masih akan terus tumbuh.

Nada berbeda disuarakan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Fadhil Hasan. Menurut kalkulasinya, harga CPO masih mungkin akan terus terkerek naik. Sejak 2000, kata Fadhil, korelasi harga antara minyak bumi dan minyak sawit semakin kuat. Pergerakan harga kedua komoditas ini nyaris terus sejajar. ”Kalau harga minyak bumi naik, harga minyak sawit kemungkinan besar juga terseret naik.” Dia pun yakin tertahannya laju kenaikan harga minyak bumi saat ini hanya sementara.

Lonjakan permintaan di sejumlah negara juga amat mempengaruhi kenaikan harga minyak sawit. Tingginya permintaan dari beberapa negara yang perekonomiannya tumbuh tinggi, seperti Cina dan India, akan menyedot minyak sawit dunia, di samping negara-negara Eropa dan Amerika Utara.

Faktor lainnya adalah penurunan produksi komoditas pengganti, seperti minyak kedelai dan minyak jagung. Yang terakhir adalah unsur spekulasi. Selama pasokan dan permintaan minyak sawit masih timpang, kata Fadhil, spekulasi jalan terus dan harga bakal berfluktuasi.

Derom Bangun, pemilik perusahaan pengolah minyak sawit PT Kinar Lapiga, juga optimistis permintaan minyak sawit tak akan berkurang. Menurut dia, tahun ini permintaan minyak nabati dan lemak di seluruh dunia sekitar 150 juta ton. Makin maju suatu negara, kata Derom, kebutuhan minyak dan lemaknya makin tinggi. Ambil contoh Amerika Serikat. Kebutuhan minyak dan lemaknya 40 kilogram per kapita, sedangkan negara berkembang hanya 10-11 kilogram.

Demikian halnya dengan negara-negara yang kini tumbuh pesat, seperti Cina dan India. Kebutuhan minyak dan lemak nabati India bertambah 1,1 juta ton setiap tahun. Untuk Cina, angkanya lebih besar lagi. Derom memperkirakan industri makanan seluruh dunia butuh tambahan 4 juta ton minyak dan lemak nabati per tahun.

Dari mana mendapatkannya? Hanya Indonesia dan Malaysia, dua produsen minyak sawit terbesar di dunia, yang sanggup memenuhinya. Filipina sudah tidak bisa menggenjot lagi produksinya. Tahun ini, kata Akmaluddin, produksi minyak sawit Indonesia sekitar 17 juta ton—bertambah satu juta ton dari produksi 2006. Sebanyak 4,5 juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sisanya diekspor.

Tahun depan, produksi minyak sawit diperkirakan hanya bertambah satu juta ton menjadi 18 juta ton. Sekitar 13,5 juta ton akan diekspor. Negara-negara Amerika Utara, Eropa, Cina, India, dan Timur Tengah tetap jadi tujuan ekspor utama. ”Jatah dalam negeri ya segitu-segitu saja, karena kebutuhannya stagnan,” kata Akmaluddin.

Persoalannya, tak gampang memanfaatkan peluang pasar itu. Ekspor minyak sawit untuk bahan bakar perlu izin dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, karena kebutuhan dalam negeri yang jadi prioritas. Akmaluddin tak sepakat dengan kebijakan ini. Alasannya, industri pengolahan bahan bakar nabati di dalam negeri belum tumbuh. Lagi pula harganya tak akan bisa bersaing melawan solar atau premium.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus