Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak cuma berkeliaran di remang-remang

Selama ini orang selalu melihat kaum waria sebagai bahan olok- olok. atau, berbuat yang tak senonoh, misalnya melacurkan diri. padahal sudah ada banyak perkumpulan waria yang bercita-cita meningkatkan harkat hidup kaum waria. ada waria jadi bintang film, menjadi pengacara, selain yang ''tradisional'' bekerja di salon. bahkan ada pekan olahraga antarwaria se-indonesia. inilah sebagian potret mereka.

11 September 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di kartu nama Adhe ''Lenong Rumpi'' tertulis nama Adhe Juwita dengan jabatan public relation dari Black Orchid Production yang berkantor di Kelapa Gading Permai. Ia memang sudah layak dipajang sebagai public relation, seperti beberapa bintang film lainnya. Setelah bermain bersama Lenong Rumpi di televisi swasta, nama Adhe mulai mencuat. Begitu populernya Lenong Rumpi membuat gaya bicara Adhe menjadi gaya bicara canda sehari-hari di semua kalangan masyarakat, baik waria maupun bukan. Selain dalam Lenong Rumpi, Adhe juga bermain dalam Si Manis Jembatan Ancol dan Gara-Gara. Perannya tetap sebagai pemancing gelak tawa, dan tentu saja sebagai waria. Adhe selalu berhasil, sukses. Lihatlah. Tahun ini saja, Adhe harus menyelesaikan dua sinetron televisi dan sedang merundingkan kontrak film Tahu Beres bersama Doyok dan Kadir. Dan masih ada lagi perjalanan show ke Australia pada bulan Oktober 1993. Ia pun sudah tahu betul cara memberikan komentar atas kepopulerannya. ''Jangan sombong kalau jadi orang top. Apalah artinya kalau pribadinya jelek,'' tutur Adhe. Dilahirkan di Sorong, 24 tahun lalu, Adhe Libertifa mengaku tidak berkembang seperti tiga kakaknya. Dua kakaknya pria dan satu lagi wanita. Sedangkan Adhe? ''Perempuan. Adhe ini perempuan, lo, yakin seratus persen perempuan,'' kata Adhe. Walau secara fisik dilahirkan sebagai pria, Adhe ngotot bahwa ia perempuan. Adhe tidak berlebihan. Sejak kecil ia memang sudah tertarik dengan hal-hal yang mestinya jadi perhatian perempuan dan ia juga berperilaku seperti perempuan. Dan itu bukan karena kemauannya, juga bukan karena pengaruh teman, tapi memang sudah dirasakan sejak kecil. Maka, Adhe, yang berpakaian tak berbeda dengan perempuan, selalu tersentak marah jika disebut waria. Lantas, bagaimana kita menyebutkannya? Sulit. Namun, begitulah kehidupan orang-orang yang ''senasib'' dengan Adhe. Ada yang tak mau disebut waria, bencong, AC-DC, atau apalah yang dijuluki oleh masyarakat. Kehidupan mereka pun tak selamanya berada di puncak publisitas seperti halnya Adhe. Ada yang terpuruk di lorong-lorong gelap metropolitan. Di hampir semua kota besar, selalu ada tempat mangkal kaum waria. Bahkan, setiap malam Minggu, misalnya, tempat mangkal itu menjadi pusat keramaian yang tak jarang membuat jalanan macet. Beberapa tempat hiburan mengundang kelompok waria untuk mengisi acara. Dan dengan meningkatnya penyakit AIDS, waria mulai menjadi perhatian walaupun waria jelas bukan satu-satunya potensi penyebaran AIDS (lihat: Waria dan AIDS). Anehnya, walau sudah jadi bagian dari kehidupan masyarakat, waria tampaknya belum diterima utuh oleh masyarakat. Mereka lebih sering menjadi bahan olokan yang bisa diledek seenaknya, padahal jelas tak ada alasan yang cukup kuat untuk menertawakan waria. Berbeda dengan kaum homoseksual, yang masih dianggap sebagai penyimpangan, waria sebenarnya tidak bisa disamakan dengan kaum homoseks. Kalaupun waria melakukan praktek homoseksual, itu semata-mata konsekuensi dari keadaan yang mereka hadapi. Kemala Atmojo, dalam bukunya Kami Bukan Lelaki, menegaskan perbedaan waria dengan homoseks. Seorang homoseks tidak merasa perlu ber-make-up dan berpakaian seperti wanita. Dan dalam melakukan hubungan seks, seorang homoseks bisa bertindak sebagai laki-laki atau wanita. Tapi seorang waria merasa perlu ber-make-up dan berpakaian seperti wanita. Itu karena mereka memang memiliki jiwa perempuan dan, dalam hubungan seks, waria hanya bisa berperan sebagai perempuan. Waria juga merasa lebih lengkap jika berhasil menghilangkan ciri-ciri kelaki-lakiannya. Sayang, keadaan itulah yang membuat mereka agak terasing dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Kaum homoseks, baik wanita maupun pria, dalam kehidupan sehari-hari bisa berperilaku selayaknya wanita dan pria tanpa kekurangan apa pun. Dan mereka bisa saja secara sembunyi-sembunyi melakukan penyimpangan ketika berhubungan seksual. Ini jelas berbeda dengan waria, yang tak bisa menyembunyikan jiwa perempuan mereka di balik kondisi fisik laki-lakinya walaupun mereka, misalnya, sama sekali tidak melakukan hubungan homoseksual. Maka, dalam kegiatan apa pun, mereka nyaris tak bisa lepas dari keusilan orang. Padahal, waria juga umat manusia yang tak suka jadi bahan olokan. Dalam sebuah pertunjukan musik dangdut di Taman Remaja, Surabaya, awal Juli lalu, misalnya, sampai terjadi dua kali perkelahian antara kaum waria dan pengunjung. Kelompok waria yang sedang asyik berjoget rupanya marah karena dicolek-colek beberapa orang pria. Ketika perkelahian pertama berhasil direlai, para pria masih tetap mengganggu waria sehingga mengobarkan kembali perkelahian kedua. ''Saya enak-enak joget, burung saya disentil-sentil,'' kata Klemer, waria yang ikut berkelahi. ''Biarpun banci, kami juga bisa mengamuk dan terpaksa nekat.'' Tak ada korban yang serius, memang. Toh ada anggapan seolah-olah ketersinggungan waria adalah hal yang tidak bisa diterima walau sebenarnya sangat beralasan. Itulah yang umumnya masih jadi keprihatinan waria. ''Masyarakat belum adil. Kaum waria selalu dianggap manusia kelas rendah,'' protes Rossy, 32 tahun, waria di Bandung yang berhasil menyelesaikan pendidikan program D-III Sastra Jepang di Universitas Padjadjaran. Menurut Rossy, ada tiga orang temannya yang berpraktek sebagai pengacara dan dokter tapi tak berani tampil sebagai waria. ''Kemungkinan besar karena malu,'' kata Rossy. Tapi mungkin saja temannya itu tak berani ''tampil beda'' karena khawatir akan mengganggu mata pencaharian. Atau, kalau memang begitu, bukankah ini berarti teman Rossy itu bisa menekan jiwa warianya sehingga berada dalam ''jenis kelamin yang jelas''? Memang agak sulit menjabarkan hal-hal begini. Kembali kepada Rossy, ia memang sudah mandiri secara ekonomi. Ia bekerja di salon dengan pendapatan Rp 350.000 tiap bulan, yang masih ditambah dengan beberapa tawaran tampil di fashion show dengan bayaran Rp 250.000 sekali tampil. Menurut Rossy, tiap bulan ia bisa mendapat panggilan untuk fashion show tiga sampai empat kali. Kadang ia juga diajak temannya menjadi pemandu wisata untuk turis asing karena kemampuan bahasa Inggris dan Jepangnya. Apalagi, ibunya sudah menerima kenyataan bahwa Roosy adalah waria. Anak ketujuh dari sembilan saudara ini merupakan anak satu-satunya yang belum menikah di keluarganya. Tidak ada masalah antara Rossy dan keluarganya dilihat dari permukaan, ''karena sekarang saya sudah bisa mencari duit sendiri.'' Berbeda dengan waria umumnya, yang tinggal terpisah dari keluarga, Rossy sampai saat ini masih tinggal bersama kedua orang tuanya. Tapi Rossy kadang kurang yakin juga, apa betul keluarganya sudah menerima sepenuhnya keadaan dirinya ini. Itu yang membuat Rossy pada awalnya tak suka dihubungi wartawan karena khawatir keluarganya menanggung beban. ''Bohong kalau keluarga saya sudah menerima keadaan saya sepenuhnya. Di dunia ini kan hanya ada dua jenis manusia, lelaki dan perempuan. Orang tua mana yang nggak malu punya anak waria?'' kata Rossy. Menurut Rossy, ia mulai merasa perempuan ketika masuk SMP. Waktu kecil, kenang Rossy, ia masih bermain seperti anak laki- laki lain yang suka main mobil-mobilan. Memasuki SMP, ia mulai merasa ada keinginan untuk berpakaian perempuan, tapi masih ia tahan-tahan. Tahun kedua di Universitas Padjadjaran, baru Rossy berani memakai pakaian wanita. ''Keinginan itu sudah lama saya tahan-tahan karena sampai SMA semuanya masih diatur dan rambut harus pendek,'' kata Rossy. Walau sudah berpakaian perempuan, Rossy tetap tak berani bersolek tiap kali masuk kampus. ''Saya berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan,'' katanya. Ia rupanya sadar bahwa masyarakat masih melihat waria sebagai penyimpangan sehingga ia merasa perlu menekan keinginan untuk bersolek di depan orang- orang yang ia kenal tapi tak mau mengerti keadaannya. ''Tapi di luar kampus atau pertemuan keluarga, saya tetap bersolek dan saya tidak malu.'' Kini, Rossy agaknya sudah tampil penuh sebagai wanita. Di kamarnya terdapat cermin besar dengan meja rias yang penuh dengan alat kosmetik dan parfum. Di lantai terlihat barisan sepatu kets dan sepatu hak tinggi, sedangkan di dinding ada foto-foto Rossy bergaya dengan aneka pakaian dan sebuah poster laki-laki berotot. Setiap bulan Rossy menghabiskan Rp 50.000 untuk membeli pakaian, dan sekitar Rp 10.000 untuk alat kecantikan lainnya. Rossy, layaknya seorang perempuan, bahkan sudah punya seorang teman pria tetap. Ia keluarkan foto seorang laki-laki keturunan Cina, yang sudah bertahun-tahun menjadi pacarnya. Kini hubungan mereka terancam putus karena, layaknya seorang perempuan juga, ia merasa disakiti oleh pacarnya itu. Menurut Rossy, laki-laki itu hanya bilang cinta di depan Rossy, sedangkan kalau orang lain yang menanyakan, ia bilang tidak cinta. ''Tapi saya tetap mendambakan cinta dan kasih sayangnya. Setiap malam saya selalu mengingat dia,'' kata Rossy, yang ingin bisa menjadi istri yang baik. Istri yang baik? Tapi ia belum punya rencana untuk operasi kelamin karena Rossy membutuhkan jaminan bahwa ada laki-laki yang mau menikahinya. ''Kalau sudah tertulis hitam atas putih ada yang mau menikahi saya, baru saya siap menjalani operasi,'' tuturnya. Sayangnya, sampai saat ini belum ada laki-laki, termasuk pacarnya, yang mau terikat pada perjanjian resmi itu. Cita-cita Rossy yang lain adalah mendirikan panti waria, sebagai jalan untuk memperbaiki hidup kaum waria. ''Kaum waria masih dianggap kelas rendah, tapi kadang citra kaum waria dirusak juga oleh waria itu sendiri.'' Maksud Rossy adalah kaum waria yang menjual diri di jalanan. Lewat panti waria, kata Rossy, para waria bisa dikumpulkan dan diberi pendidikan keterampilan sehingga tak perlu berkeliaran di jalanan untuk mencari nafkah. Memang, kebanyakan waria masih hidup sebagai kupu-kupu malam. Penelitian Kemala Atmojo pada tahun 1985 sampai 1986 menunjukkan sekitar 67% waria bekerja sebagai kupu-kupu malam, dan hanya 8,24% yang bisa bekerja sebagai pegawai negeri ataupun swasta. Menurut Kemala, salah satu hal yang menyebabkan waria tak mudah mendapat pekerjaan adalah rendahnya tingkat pendidikan para waria. Dari 194 waria yang ditemui Kemala, hanya 41% yang tamat sekolah menengah, 0,51% pernah duduk di perguruan tinggi, dan yang terbesar, sekitar 53%, tamat SD. ''Belum lagi soal kesediaan masyarakat untuk menerima kehadiran waria,'' tulis Kemala dalam Kami Bukan Lelaki. Tak sedikit waria yang melacurkan diri sebagai tambahan penghasilan maupun karena tak mau terikat kerja yang teratur. Jadi, ada waria yang melacur bukan sebagai pekerjaan yang terpaksa dijalani untuk bisa bertahan hidup, tapi melacur sebagai tambahan penghasilan saja, seperti yang dilakukan Ayu Senjaya, 33 tahun, yang biasanya mangkal di Jalan Renon, Denpasar. ''Ini cuma kerja sampingan,'' kata Ayu, yang berasal dari Surabaya. Pekerjaan utamanya adalah bekerja di Salon Anggrek dengan gaji Rp 75.000 setiap bulan. ''Kerja di salon memang paling cocok buat saya, tapi gajinya kecil. Untuk bayar indekos saja sudah Rp 25.000 dan makan sehari-hari bisa Rp 70.000. Mana cukup,'' katanya. Maka, ia mencari tambahan penghasilan lewat sebuah gubuk kecil yang tersembunyi di balik semak-semak di Jalan Renon. Sekali melayani, menurut Ayu, tarifnya hanya Rp 5.000. Tapi sering ia mendapat tip dari tamu-tamu berkantong tebal yang datang dengan mobil. ''Kalau lagi malam baik, bisa mendapat Rp 60.000,'' katanya, ''apalagi kalau ada orang yang mengajak ke hotel. Pasti banyak rezeki.'' Sebelum hijrah ke Denpasar, Ayu sudah mangkal berpindah-pindah di banyak kota. Ia pernah beroperasi di Surabaya, Probolinggo, Malang, Banyuwangi, Jember, dan Yogyakarta, sebelum diajak temannya ke Denpasar. ''Di sini tidak banyak saingan, lebih gampang cari uang,'' katanya ringan. Ia memang bisa bebas bergerak ke mana saja karena keluarganya di Surabaya sudah tidak peduli kepada Ayu sejak ia mulai menunjukkan gejala perempuan -- belasan tahun lalu. Kalau Ayu melacur dengan pertimbangan ekonomis, Cindy, 17 tahun, melacur semata-mata karena tak mau bersusah payah dengan kerja rutin. Ia sebenarnya punya pengalaman kerja di beberapa salon di Surabaya dan Jakarta sejak berusia 13 tahun. Awal tahun 1993 ini ia kembali lagi ke Surabaya dan memutuskan untuk melacur. ''Payah kalau kerja di salon, lebih enak jadi pelacur,'' kata Cindy, yang memasang tarif Rp 15.000 sampai Rp 25.000. Dengan tarif itu dan jam kerja dari pukul 22.00 hingga pukul 05.00 subuh, ia bisa meraup rata-rata Rp 50.000 tiap malamnya. Bagi Cindy, yang lahir dengan nama Audi Johannes, melacur dengan penghasilan Rp 50.000 setiap hari itu sudah enak. Pengeluarannya tak banyak karena praktis ia hanya perlu menyisihkan Rp 35.000 sebulan untuk sewa kamar berukuran 3 m x 4 m di kawasan Gubeng, Surabaya. Sisanya bisa ia gunakan seenaknya berfoya-foya, bukan untuk ditabung ataupun membeli barang-barang berharga. ''Namanya duit haram, jadi tidak ada bekasnya,'' ujarnya. Soal masa depan, ia belum memikirkan sekarang ini. Lalu, ada juga waria yang melacur untuk mencari kepuasan seksual, bukan semata-mata pertimbangan ekonomi. Seperti Mayang, 23 tahun, yang biasa beroperasi di Taman Maluku, Bandung. Siang hari ia bekerja di salon, dan sesekali ditanggap di diskotek LA Dream Palace, Bandung, untuk menari bugil dengan tarif Rp 150.000. Sebenarnya, penghasilan sebagai pekerja salon dan penari diskotek sudah cukup bagi Mayang, yang setiap bulan hanya membayar Rp 120.000 untuk menyewa kamar berukuran 2 m x 2 m. Tapi ia tetap saja melacur di Taman Maluku dengan memasang tarif Rp 30.000 untuk tiap orang tamu. ''Kalau saya lihat orangnya ganteng dan saya senang, saya mau saja. Yang penting, saya juga merasa puas,'' katanya. Mayang tidak setuju jika dikatakan semua waria yang nampang di pinggir jalan semata-mata mencari uang. ''Uang memang penting, tapi tidak selalu jadi tujuan utama. Kalau ada laki-laki yang melirik, kan saya juga bangga,'' alasan Mayang. Itu sebabnya ia selalu berpakaian minim kalau sedang nampang pukul lima subuh sekalipun. Cara berpakaian seperti itu, rupanya, cukup berhasil menarik perhatian para laki-laki. Penghasilan yang disabet dari melacur itu ia kirim ke neneknya di Sukabumi untuk ditabung. ''Lumayanlah, saya kan tidak mungkin begini terus-terusan,'' komentarnya tentang tabungan itu. Mayang ingin suatu waktu nanti ia bisa menjadi istri orang walaupun sampai saat ini ia baru punya pacar seorang karyawan swasta. Sampai sekarang tak ada jaminan pacarnya yang sedang di Australia itu akan mengawini dia. Tak banyak memang waria yang menjalin hubungan perkawinan dengan pria. Dorce Gamalama, bekas waria yang serbabisa, baru berhasil menjalin hubungan keluarga setelah berganti kelamin walau dua perkawinan yang ia jalani kandas di tengah jalan. Sebelumnya ada Vivian Rubianti, yang tak lama setelah berganti kelamin langsung kawin. Masih ada lagi Waty, 36 tahun, yang mengikuti operasi ganti kelamin pada tahun 1974, sempat kawin dua kali, tapi sekarang kembali ke jalanan sebagai pengamen di Bandung. Walau perkawinannya gagal, Waty tak kecewa karena ia memang berganti kelamin bukan supaya mendapat suami. ''Karena saya memang ingin jadi perempuan,'' katanya. Kini ia memutuskan tidak akan kawin lagi, dan mencari nafkah dengan mengamen di barisan pertokoan yang terdapat di Jalan Eyckman, Cipaganti, Pasir Kaliki, dan Balubur. Pergantian kelamin -- cita-cita sebagian besar kaum waria -- memang tidak menjamin suatu perkawinan yang langgeng. Ada juga waria yang berhasil hidup bersama dengan seorang laki-laki, layaknya suami-istri, walau tak diikat hubungan pernikahan di catatan sipil. Inggrid, 33 tahun, yang membuka salon di daerah Utan Kayu, Jakarta, adalah waria yang sudah hidup bersama dengan seorang pria selama empat tahun. Ia hidup bersama pacarnya, seorang satpam di hotel berbintang lima di Jakarta. Di situ juga tinggal adiknya, laki-laki, dan seorang wanita pembantunya, di sebuah rumah kontrakan berukuran 50 meter persegi. Di bagian depan rumah, di ruangan berukuran 4 m x 4 m, ia membuka salon yang tak pernah sepi dari pelanggan. Ada dua cermin besar, sebuah alat pengeriting rambut, tempat mencuci rambut. Menurut Inggrid, yang nama aslinya Handoyo Sutrisno, di salon tanpa nama itu, seharinya ia bisa melayani sekitar 20 pelanggan. Inggrid sudah bekerja di salon sejak tahun 1979. Sebelumnya, ia ikut kursus di salon Martha Tilaar, dan sempat bergabung dengan Fantastic Dolls pimpinan Myrna. Baru tahun 1982 ia mencoba membuka salon sendiri. Kini di kawasan Utan Kayu, Inggrid malah sering dipanggil untuk jadi juri lomba kesenian. Hubungan dengan pacarnya bermula ketika mereka berdua mengisi acara hiburan di Pekan Raya Jakarta, sekitar lima tahun lalu. Inggrid jadi penyanyi, sedangkan pacarnya adalah pemain band pengiring. Dari pertemuan itu, Inggrid dan pacarnya makin sering berlatih bersama sampai memutuskan hidup bersama pada tahun 1989. Dan menurut Inggrid, sampai saat ini tidak ada masalah yang mereka hadapi walaupun secara fisik keduanya adalah makhluk sejenis. ''Saya ingin juga operasi kelamin, tapi saya takut,'' katanya. Yang sekarang sedang ia pikirkan justru mengadopsi anak. Pacarnya, yang berusia lebih muda empat tahun, yakin tak melakukan hubungan kelamin antarjenis. ''Kalau dengan Inggrid, saya merasakan sentuhan kewanitaan,'' kata pria yang tak mau disebut namanya itu. Walau keluarganya, menurut laki-laki itu, marah besar ketika mengetahui ia berpacaran dengan waria, ia tetap nekat. ''Saya mencintai Inggrid sebagai wanita.'' Inggrid memang bisa disebut sebagai waria yang patut dicontoh waria lainnya: menjadi waria tanpa harus jadi bahan ejekan orang banyak. Dan Inggrid jelas bukan satu-satunya contoh. Sosok seperti itulah yang sebenarnya ingin dikembangkan beberapa organisasi waria di Jakarta maupun Surabaya. Waria adalah orang yang punya keterampilan sehingga tidak usah harus berkeliaran di jalan-jalan. Di wilayah Jakarta Utara, misalnya, ada perkumpulan waria yang dipimpin Eni Tambunan dengan anggota 430 waria. Kelompok ini, yang mengutip iuran Rp 500 setiap bulan, bergerak dalam bidang olahraga dan seni. Setiap minggu, mereka berkumpul di Gelanggang Planet Senen untuk latihan voli, pingpong, renang, maupun badminton. Kegiatan kesenian dilangsungkan jika ada pementasan atau perlombaan. Dengan latihan itu, banyak anak buah Eni Tambunan yang ikut berperan dalam mengantarkan Provinsi DKI sebagai juara umum di Pekan Olahraga Waria (Porwari) di Yogyakarta tahun 1992 lalu. Tahun ini Porwari, yang mempertandingkan lima cabang olahraga, akan diadakan di Palembang dan Eni sudah bersiap-siap mengirimkan anggotanya. Dalam bidang olahraga, perkumpulan waria Jakarta Utara memang punya prestasi. Mereka juara bulu tangkis dan tenis meja se-Jawa pada tahun 1992 dan juara bola voli se-Jawa Bali dalam kejuaraan tahun 1993 di Malang. Terorganisasinya para waria itu juga membuat waria sering mendapat bantuan dari Badan Koordinasi Kesejahteraan Sosial (BKKS) maupun Yayasan Mayanda berupa latihan menjahit maupun merias pengantin. Bulan Juli lalu, misalnya, 30 orang waria mendapat sertifikat setelah dinyatakan lulus dalam kursus merias pengantin. Kursus itu terselenggara dengan bantuan sebesar Rp 5 juta dari BKKS dan Rp 5 juta dari Yayasan Mayanda, sebuah organisasi yang bergerak dalam pembinaan waria maupun pelacur. Di Surabaya ada Persatuan Waria Kota Madya Surabaya (Perwakos) yang dipimpin Panky Kenthut. Kini Perwakos, yang berdiri tahun 1978, mempunyai anggota 600 orang waria dan, menurut Panky, ini baru sekitar 60% dari semua waria yang berada di Surabaya. Kegiatan Perwakos beraneka ragam: pemilihan ratu kecantikan waria, lomba menyanyi, pengajian, penataran P4, dan aksi sosial seperti mencukur gratis narapidana di LP Kalisosok. Tujuan Perwakos, kata Panky, adalah meningkatkan keterampilan anggotanya sehingga waria bisa menjadi bagian dari masyarakat umum. ''Saya ingin ada jenis kelamin ketiga. Setelah pria dan wanita, ada waria,'' kata Panky. Maksud Panky, agar masyarakat tak menempatkan waria sebagai banyolan semata atau manusia kelas dua. ''Kalau ada razia, waria direndam di sungai pantai Kenjeran yang baunya bukan main,'' kata Panky. Susahnya, kata Panky, banyak anggotanya yang cuma tamatan SD sehingga tak bisa berkembang dan akhirnya lari lagi ke pelacuran. Kelompok waria lain yang cukup terkenal adalah Yayasan Darma Karya Fantastic Dolls, yang berdiri 20 tahun lalu, tapi baru menjadi yayasan sekitar tiga tahun lalu. Menurut Myrna Saud, pemimpinnya, yayasan yang ia dirikan adalah terompet bagi kaum waria. ''Saya tidak mau melihat waria jadi konyol seperti yang di Lenong Rumpi,'' katanya. Itu sebabnya ia juga menjalin kerja sama dengan BKKS dan Yayasan Mayanda untuk meningkatkan keterampilan sekitar 700 anggotanya. Di samping membina anggota, Fantastic Dolls juga memberikan bantuan pada waria jompo dan waria yang menderita sakit kronis, maupun membersihkan kuburan waria yang tidak terawat, termasuk menguburkan waria yang tidak punya keluarga lagi. Jadi, Fantastic Dolls bukan sekadar kelompok penyanyi dan penari yang bergoyang-goyang di atas panggung. Kegiatan itu hanya merupakan sumber dana untuk membiayai aksi sosial Fantastic Dolls. Myrna tak setuju dengan waria yang berganti kelamin. ''Waria itu tetap waria. Kalau orang ganti kelamin, itu namanya murtad karena ganti kelamin itu berarti tuhannya ada dua, yaitu Tuhan dan dokter,'' kata Myrna, yang saudara kembarnya, Bambang Priyo Sasongko, berkembang wajar sebagai seorang laki-laki tulen. Walau Myrna mengaku merasa sudah jadi perempuan sejak kecil, ia tak menganggapnya sebagai kodrat Tuhan. ''Tuhan hanya menciptakan laki-laki dan perempuan. Tidak ada jenis kelamin waria,'' katanya tegas. Mungkin, akhirnya definisi waria menjadi tidak penting. ''Orang hanya melihat waria yang di jalanan, tapi tidak pernah tahu ada waria yang tunarungu, tunawisma, tidak punya tangan, dan tidak punya kaki,'' kata Myrna. Jadi, soal yang lebih penting, menurut Myrna, adalah menempatkan waria sebagai bagian dari masyarakat yang tidak harus dipandang dengan sangkaan buruk. Waria tak lebih dan tak kurang sebagai individu semata. Ada yang berbuat baik dan ada pula yang berbuat jahat. Liston P. Siregar dan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus