Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Menyerah di Negeri Pembuangan

Bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat, Ernest Douwes Dekker dibuang ke Belanda. Di situ pun tiga serangkai ini getol menyuarakan perjuangan Indische Partij. Hukuman berat ia alami saat diasingkan ke kamp gelap di Suriname, dengan kebutaan yang masih menderanya. Meminjam nama Jopie Radjiman, ia nekat kembali ke Tanah Air untuk terus menyuarakan cita-cita Indische Partij: kemerdekaan Hindia atau Indonesia.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tetap Membangkang dalam Pembuangan
Pemerintah kolonial menuding mereka menghasut rakyat. Di Belanda, para pendiri Indische Partij malah didukung Partai Buruh.

PEKIK peluit menandai kapal penumpang Bülow harus segera meninggalkan Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia. Pada 6 September 1913 itu, ratusan orang memadati dermaga untuk memberi salam perpisahan bagi tiga pentolan Indische Partij: Ernest François Eugène Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara.

Dari atas kapal Jerman itu, ketiganya melambaikan tangan. "Selamat tinggal, kawan-kawan seperjuangan. Selamat tinggal, Hindia, aku akan tetap berjuang untuk kemerdekaanmu," teriak mereka, bersahut-sahutan. Kapal bergerak diiringi tangisan keluarga dan pengantar menuju tempat pembuangan: Belanda.

Pemerintah kolonial mengasingkan tiga serangkai itu karena menuding mereka menghasut rakyat lewat tulisan-tulisan di koran dan majalah. "Pemerintah kolonial menganggap mereka menyebarkan kebencian yang dapat memicu pemberontakan," kata Emile Schwidder, dosen International Insti­tute for Social History, Belanda, yang pernah meneliti sejarah Indische Partij.

Hukuman itu buntut beredarnya selebaran yang ditulis Soewardi tatkala pemerintah kolonial merayakan seabad Kerajaan Belanda bebas dari penjajahan Prancis. Melalui Komite Bumiputera, Tjipto, Soewardi, dan pengikutnya menyebarluaskan selebaran berjudul "Als ik eens Nederlande was" atau "Seandainya Aku Seorang Belanda". Isinya mengolok-olok pemerintah kolonial yang merayakan kemerdekaan di tanah jajahan.

Dalam bukunya, Het Leven van E.F.E Douwes Dekker, Frans Glissenaar menulis, pamflet Soewardi itu membuat pemerintah murka. Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg kemudian menangkap dan menahan Tjipto dan Soewardi di penjara Banceuy, Bandung. Douwes Dekker, yang saat itu baru pulang dari Eropa, mengkritik penahanan dua kawannya itu di De Expres, harian yang didirikannya. Melalui tulisan itu, dia menyebut Tjipto dan Soewardi pahlawan.

Empat hari kemudian, pemerintah kolonial menangkap Douwes Dekker. Pada 18 Agustus 1913, Gubernur Jenderal Idenburg mengeluarkan surat keputusan mengasingkan ketiganya. Tjipto dibuang ke Pulau Banda, Soewardi ke Pulau Bangka, dan Douwes Dekker ke Kupang. Dengan slogan ingin menunjukkan kebesaran hati, pemerintah kolonial memberi pilihan tempat pembuangan di Negeri Belanda.

Karena diiming-imingi studi, ketiganya memilih Belanda. Di mata sejarawan Anhar Gonggong, pilihan itu hanya akal-akalan pemerintah kolonial. Anhar menilai pemerintah kolonial hendak memutus hubungan ketiga tokoh itu dengan akar rumputnya di Tanah Air. "Semakin berbahaya seseorang bagi pemerintah kolonial, semakin jauh orang itu dibuang," katanya.

Setelah berlayar satu bulan melalui rute Pelabuh­an Genoa, Italia, ketiganya tiba di Belanda, pada 2 Oktober 1913. Dalam bukunya, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Harry A. Poeze menulis tiga tokoh ini disambut penuh hormat puluhan kader Partai Buruh Belanda (Sociaal Democratische Arbeiderpartij).

Menurut Poeze, sambutan itu diberikan karena Douwes Dekker kerap menjalin komunikasi dengan partai tersebut. Kedekatan Douwes Dekker dengan partai itu juga diungkapkan Frans Glissenaar. Menurut Glissenaar, empat bulan sebelumnya, Douwes Dekker menerima telegram dari W.H. Vliegenakan, anggota parlemen dari partai itu.

Vliegenakan meminta Douwes Dekker mendukungnya mengajukan interpelasi pelarangan Indische Partij. Sayang, interpelasi itu kandas karena parlemen keburu reses menjelang pemilihan umum.

Glissenaar juga menuturkan, Partai Buruh Belanda pernah menawari Douwes Dekker mendirikan cabang partai itu di Hindia—sebutan untuk Indonesia kala itu.

Dukungan Partai Buruh Belanda untuk tiga serangkai ini juga merupakan buah usaha anggota perhimpunan Boedi Oetomo dan Sarekat Islam di Belanda. Sebelum ketiganya tiba di sana, anggota perhimpunan itu melobi Partai Buruh supaya mendesak pemerintah Belanda tak menahan dan membolehkan tiga serangkai tersebut menyuarakan ­opininya.

Sehari setelah mereka tiba di Belanda, harian partai itu, Het Volk, memberikan satu halaman kepada mereka untuk menceritakan pengalaman melawan penindasan kolonial. Pada hari itu juga, kaum sosialis Belanda terang-terangan mengkritik pengasingan tiga tokoh nasional ini.

Poeze mencatat, ketiganya tujuh kali berbicara di rapat Partai Buruh Belanda. Bahkan, pada 26 Oktober 1913, Douwes Dekker diberi kesempatan berpidato di mimbar akbar partai, yang dihadiri 3.000 kadernya. Di parlemen, Partai Buruh getol membela mereka, meski ada juga tokoh partai, seperti Van Kol, yang menentang Indische Partij. Dalam tiga tulisan di Het Volk, Soewardi melabrak sikap majelis tinggi partai itu.

Dengan dukungan tokoh-tokoh Belanda, tiga serangkai itu membentuk Indiers Comite atau Komite Orang Hindia. Komite ini bertujuan menyebarkan informasi tentang Hindia dan cita-cita Indische Partij. Perhimpunan Boedi Oetomo dan Sarekat Islam di Belanda juga mengerahkan anggotanya mengumpulkan dana untuk membantu mereka. Dukungan keuangan juga datang dari kaum sosialis Belanda yang bersimpati terhadap perjuangan mereka.

Dengan sokongan dana itu, ketiganya lalu menerbitkan majalah De Indiër, media resmi Indische Partij di Belanda. Tjipto dan tokoh sosialis Belanda, Frans Berding, duduk di dewan redaksi. Edisi pertama terbit pada 23 Oktober 1913, setebal 12 halaman. "Yang paling banyak menulis adalah Ernest," kata Poeze.

Namun propaganda yang gencar di De Indiër tak membuat pemerintah kolonial luluh. Ketika menerima Douwes Dekker, Tjipto, dan Soewardi, Menteri Daerah Jajahan Thomas Bastiaan Pleyte menolak mencabut larangan terhadap Indische Partij, dan menolak memulangkan mereka ke Hindia.

Douwes Dekker kemudian melanjutkan studi ke Universitas Zurich di Swiss. Praktis, De Indiër kehilangan rohnya. Belakangan, Tjipto malah sering menulis soal Sarekat Islam, juga wabah pes yang menyerang Belanda. Tak ada lagi tulisan tentang politik Hindia. Tjipto dan Soewardi bahkan meninggalkan dunia politik ketika mereka sudah mulai kuliah. Tjipto sekolah dokter dan Soewardi studi keguruan.

De Indiër benar-benar seperti kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau, setelah Tjipto lumpuh dan Belanda dihajar krisis ekonomi. Permintaan Soewardi agar Tjipto diizinkan pulang dikabulkan pemerintah Belanda, membuat majalah itu benar-benar tamat pada 24 Desember 1914.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus