Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLISI ZAMAN HINDIA BELANDA: DARI KEPEDULIAN DAN KETAKUTAN
Penulis: Marieke Bloembergen
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara dan KITLV-Jakarta
Tahun: 2011
Tebal: 539 hlm
SEJARAH menjadi kebutuhan intelektual di saat masyarakat dalam ketidakpastian. Dalam keadaan itu, kita menjadi ingin bertanya, mengapa bisa begini. Untuk menjawabnya, kemudian kita menengok ke masa lalu, mencari pangkal persoalan sekaligus cermin untuk melihat persoalan kontemporer. Hal inilah yang mendorong adanya penelitian sejarah, baik akademis maupun naluriah.
Marieke Bloembergen, penulis buku berjudul Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan, memiliki landasan pertanyaan serupa itu dalam meneliti subyek yang menjadi isi bukunya ini. Tiga pertanyaan yang diajukan: apa makna kepolisian dalam sebuah negara kolonial seperti Hindia Belanda; apa makna penggunaan cara-cara kekerasan oleh polisi dalam menjalankan tugasnya; dan seberapa jauh negara kolonial berkembang menjadi negara polisi.
Dalam mengkonstruksi karya historiografi, Marieke menggunakan arsip-arsip resmi produk pemerintah kolonial. Ini merupakan first hand knowledge yang dapat menunjukkan evidence berupa catatan mengenai hubungan dan tindakan antara pemerintah kolonial, aparat kepolisian, dan masyarakat koloninya.
Beberapa arsip yang telah diseleksi secara kritis adalah Archief Algemeene Secretarie, Archief van het Binnenlands Bestuur, dan Archief van het Ministerie van Kolonien. Penggunaan arsip, di samping sumber-sumber lainnya, dapat menggambarkan kejadian secara detail hingga ke tingkat grass roots, melalui laporan polisi politik sebagai salah satu unsur kepolisian terpenting dalam penegakan eksistensi pemerintah kolonial.
Dalam buku ini disebutkan lembaga kepolisian di negara kolonial yang beranggotakan 96 persen pribumi dibebani pekerjaan paling kotor dan berat yang imbalannya tak sepadan. Merujuk pada gambaran ideal kerja kepolisian modern, korps ini tak hanya ditugasi memperluas pengawasan keamanan dalam negeri, tapi juga mempertahankan kekuasaan.
Kepolisian demikian merupakan wajah nyata negara kolonial. Polisi kolonial memiliki persoalan legitimasi, karena itu tidak ditugasi demi kepentingan masyarakat kolonial secara pantas dan efisien. Hal ini yang menyebabkan kepolisian kolonial mendapat tugas berat dan merupakan akar masalah dari sumber kekerasan kepolisian kolonial yang sangat rumit.
Buku Marieke menelaah sejarah pembentukan dan praktek lembaga kepolisian kolonial modern di Hindia Belanda pada 1897-1920. Periode ini dianggap sebagai starting point kajian tentang proses pembentukan kepolisian kolonial modern yang merupakan produk ketakutan dan kepedulian. Ketakutan berkaitan dengan kesadaran masyarakat Eropa sejak 1870 terhadap perubahan cepat masyarakat kolonial akibat pergerakan atau kebangkitan nasional. Adapun kepedulian berkaitan dengan munculnya politik etis pada 1900-an, yang mendorong pemerintah kolonial mewujudkan gagasan bahwa urusan keamanan adalah bagian penting penyelenggaraan negara sekalipun tetap untuk mempertahankan status quo kolonial.
Ketakutan dan kepedulian merepresentasikan kontrol dan dorongan dalam ”memperadabkan” kepolisian, yang lalu menjadi motif tiga reorganisasi besar pada 1897, 1912-1914, dan 1918-1920. Melalui reorganisasi ini, terutama sejak 1920, dibangun kepolisian profesional, yang tecermin dalam adanya perjenjangan dan kepangkatan. Dalam kepangkatan itu tampak adanya relasi rasial, seperti jabatan perwira berasal dari golongan Eropa dan 96 persen jabatan nonperwira dari bumiputra.
Reorganisasi kepolisian pada 1897 dilandaskan atas prinsip dualisme bahwa pemerintah kolonial tidak turut campur urusan pemerintahan dalam negeri, yang sejak semula diselenggarakan oleh struktur pemerintahan pribumi. Namun, dalam reorganisasi terdapat sedikit perubahan. Di satu sisi, kepolisian dipersenjatai, yang merupakan penambahan dalam struktur penyelenggaraan pengawasan dan pemeliharaan keamanan sebelumnya. Di sisi lain, ada penyeragaman dan sentralisasi penyelenggaraan kepolisian, yang berarti campur tangan negara dalam pemeliharaan dan penjagaan keamanan dalam negeri meningkat.
Reorganisasi pada 1912-1914, yang dilatari adanya politik etis, menerbitkan gagasan mengenai bangunan kepolisian ideal—yang mulai mengisyaratkan kesadaran bahwa tugas negara adalah menyejahterakan rakyat. Tapi tetap saja upaya itu ditujukan demi memperkuat pemerintahan kolonial. Reorganisasi ini mencakup perluasan, profesionalisasi, dan sentralisasi penyelenggaraan kepolisian berupa kepolisian bersenjata (gewapende politie) dan kepolisian kota (stad politie) di Batavia, Surabaya, dan Semarang yang dibentuk mengikuti model Eropa.
Reorganisasi 1918-1920, selain sebagai kelanjutan modernisasi kepolisian, merupakan reaksi atas ketakutan mengenai gejolak sosial dan politik pasca-Perang Dunia I di Eropa dan di dalam negeri. Hal yang terakhir ini ditandai dengan munculnya gerakan politik bumiputra, kerusuhan etnis (Cina), dan lain-lain. Kepemimpinan polisi dipusatkan di tangan pemerintah kolonial. Dinas Reserse Umum (Algemene Recherche Dienst) yang bertugas mengawasi kegiatan politik dalam dan luar negeri pun dibentuk, di samping dinas-dinas reserse di daerah, demi mendukung kerja satuan kepolisian rahasia itu.
Selain itu, dibentuk polisi lapangan (veld politie) sebagai pengganti polisi bersenjata untuk menjaga daerah pedesaan atau pedalaman demi pencitraan sebagai polisi beradab. Reorganisasi inilah yang menjadikan pemerintah kolonial berkembang sebagai politiestaat (negara polisi). Hal ini menjadi lengkap dengan adanya undang-undang hak berkumpul dan berserikat, yang menghadirkan secara sah polisi di ranah kegiatan politik ataupun nonpolitik pribumi. Profesionalisme polisi dalam reorganisasi ini bertujuan pula membentuk dan menjaga citra kepolisian yang berarti sekaligus citra kewibawaan kolonial.
Reorganisasi kepolisian 1918-1920 mencerminkan kebutuhan untuk terus meningkatkan kontrol Eropa atas urusan pemeliharaan keamanan di koloni. Hal ini merupakan ciri pemerintahan kolonial yang berupaya keras mempertahankan kewibawaan. Reorganisasi ini kelanjutan reorganisasi seadanya pada 1897, yang berupaya menyatupadukan kepolisian umum. Inilah implementasi pemikiran Boekhoudt yang menekankan keterpaduan kepemimpinan kepolisian secara sentralistis di bawah Jaksa Agung sebagai lembaga yang memantau dan mengawasi gerakan-gerakan revolusioner.
Kajian kepolisian kolonial ini memang berangkat dari perspektif kepentingan pengawasan keamanan dan ketertiban yang dijalankan pemerintah kolonial. Tapi kaidah metodologi sejarah yang digunakannya memiliki akuntabilitas keilmiahan dalam menghadirkan the truth of history. Karena itu, buku Marieke ini punya value sebagai referensi untuk memahami perjalanan Kepolisian Republik Indonesia, yang pada awal pembentukannya merupakan ahli waris polisi kolonial, baik sistem, struktur, maupun undang-undang yang mendasari pelaksanaan fungsinya.
G. Ambar Wulan, sejarawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo