MEDAN belum juga mampu menurunkan suhu kriminalitas. Malah malam
hari penduduk selalu sangsi keluar rumah. Apalagi akhir-akhir
ini, kriminalitas tambah meningkat. Pembunuhan hampir beruntun
terjadi. Lain lagi yang kemalingan dan terkena korban copet
hampir setiap hari.
Dari segi lain, misalnya dalam urusan kartu tanda penduduk
(KTP), biarpun sudah 3 tahun berjalan masa peralihan penggantian
yang baru, sampai laporan ini ditulis belum juga dapat
diselesaikan di Kantor Walikota Medan. Hari Jumat 15 September
lalu Walikota M. Saleh Arifin baru kelihatan sibuk lagi mencari
para camat yang wilayahnya belum beres dalam urusan KTP ini.
"Supaya segera dibereskan," katanya.
Betapa kacaunya administrasi di kantor kota bagi penduduk Medan
bukan rahasia lagi. Terutama bagi mereka yang suka berurusan ke
sana. Dalam kasus KTP ini saja dapat diceritakan begini. Ada
penduduk di satu kampung sudah lebih dahulu menerima KTP (dulu
pernah dipungut biaya Rp 100 per orang lewat kepala lorong,
kemudian dinyatakan "gratis") via kepala kampung masing-masing.
Tapi dalam satu rumah tangga yang menerima KTP itu ada yang tak
lengkap. Kalau suami menerima, isterinya atau mertuanya belum
juga dibagi. Entah di mana tercecer. Malah menurut pengakuan
seorang kepala kampung kepada TEMPO, "sebagian besar belum
sampai kepada kami, sehingga tak dapat dibagikan kepada
penduduk." Ke mana yang lain? "Masih di kantor kota," katanya.
Jauh sebelum itu Opstib sudah sempat pula melirik tingkah yang
terjadi di Medan. Malah Saleh Arifin pernah disorot Opstib
ketika Laksamana Sudomo ke Medan dan terungkapnya kasus Jalan
Seram yang menyebut salah seorang anak Saleh Arifin sendiri
sebagai pemborong. Tapi kasus ini kemudian senyap lagi dan Saleh
sendiri oleh Opstib dibebani tugas untuk menertibkan kelancaran
administrasi di kantor dan di lingkungan aparatnya. Sementara
Bupati Deli Serdang Baharuddin Lubis yang juga disorot Opstib,
entah dengan alasan apa kemudian mengundurkan diri dan
kasus-kasus di kabupaten itu tak pernah muncul lagi.
Saleh memang mengadakan penertiban ke dalam, seolah-olah bukan
dia yang disorot Opstib, tetapi anak buahnya. Sehingga jangan
heran kalau ada hal-hal agak lucu setelah itu. Contohnya ketika
Walikota Medan itu dipanggil Gubernur EWP Tambunan belum lama
ini. Tambunan bertanya kepada Saleh kenapa Medan tambah jorok
dan sampah bertumpuk di mana-mana dalam kota. Malah ada sampah
karena sudah lama tak diangkat ke tempat pembuangan, jadi batu,
seperti di Pasar Sukaramai Medan.
Bukan hanya dalam hal sampah. Gubernur Tambunan yang baru 3
bulan bertugas di Medan bertanya pula soal riol-riol yang
tersumbat. Kalau hujan Medan jadi kota banjir. Lain lagi dengan
banyak jalan dalam kota yang sudah terkeropos aspalnya.
Seperti sudah mudah diduga selama ini dari ucapannya yang
dilontarkan kepada masyarakat, jawab Saleh kepada Tambunan,
"peralatan serba kurang, seperti truk, dan semacamnya. Ada lagi
yang lain: petugas dan aparatnya belum maksimal bekerja
memerangi sampah. Tambunan yang didampingi beberapa orang
stafnya tidak mengeluarkan suara setelah Saleh bicara begitu.
Gubernur itu hanya tersenyum saja.
Khusus dalam kasus sampah ini Medan seperti bermain-main dalam
lingkaran setan. Padahal sebelum itu ada survai soal sampah,
malah tenaga ahlinya dari Negeri Belanda. Hasilnya masih
begitu-begitu saja. Sampah tak tertanggulangi. Dan kalau
walikota sudah didesak lewat surat kabar, maka humas Pemda Medan
pun cepat-cepat kirim relis ke koran minta "partisipasi
masyarakat ditingkatkan."
Sementara itu produksi sampah yang setiap harinya lebih dari 90
ton itu boleh terus berlangau atau membatu di pusat pasar dan di
tempat-tempat lain. Keadaan begitu bukan saja jadi sekedar
mengganggu mata, tapi baunya membikin orang harus
menyumpah-nyumpah pula. Ada truk sampah yang terbilang baru di
antara 50 buah itu kebanyakan tak jalan. Rusak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini