PROF Dr Haji Mohammad Jusuf Hanafiah, 45 tahun, dikukuhkan
sebagai Pembina Utama atau Guru Besar dalam bidang Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Sumatera Utara di Medan, 19
September yang lalu. Dalam sejarah USU, belum pernah ada
pengangkatan guru besar dengan sebuah pidato. Karena itulah
Rektor USU, Dr Adi Putra Parlindungan SH menyebutkan pidato
Jusuf Hanafiah, "sebagai awal dari tradisi yang akan dihidupkan
di Universitas Sumatera Utara."
Sebelum diangkat jadi guru besar Jusuf adalah Kepala Bidang
Obstetri dan Ginekologi di FKUSU/RSUPP Medan. Pernah 2 kali
menjadi dekan di fakultas tersebut. Ahli kebidanan dan penyakit
kandungan alumnus pertama FK USU itu meneruskan pelajarannya di
Illinois (1965), University of Texas 1966) dan The John Hopkins
University, Baltimore. Ia mendapat sertifikat dari Margaret
Sangers Research Bureue New York.
Dalam pidato yang panjangnya 34 halaman buku (dicetak) ia
membicarakan penyakit kanker kandungan yang banyak terjadi di
Indonesia, masalah infertilitas atau ketidaksuburan dan soal
pendidikan seks. Menurut Jusuf, "usaha pencegahan kanker alat
kandungan sukar dilakukan karena penyebabnya yang pasti belum
diketahui."
Ada 2 jenis kanker alat kandungan. Kanker pada leher rahim dan
trophoblast. Dan jenis terakhir ini, katanya, perlu mendapat
perhatian utama di Indonesia. "Karena jenis inilah yang banyak
dijumpai."
Angka Kematian
Ia juga memperkirakan para penderita kanker leher rahim angkanya
bakal meningkat tinggi, dengan bertambah tingginya usia
wanita-wanita Indonesia di tahun-tahun mendatang." Dan, "lebih
dari 75% penderita kanker leher rahim di Indonesia datang dari
tingkat klinik lanjut," kata Jusuf.
Hal itu bisa terjadi justru "disebabkan ketidak-tahuan." Apa
lagi pada tingkat permulaan penyakit kejam ini tidak pula
memperlihatkan wajahnya dalam gejala merisaukan, seperti
keluarnya keputihan atau adanya pendarahan setitik setelah
coitus. "Karena itu tidaklah mengherankan kalau angka kematian
oleh kanker tersebut tinggi di Indonesia," ulasnya. Dan angka
itu membengkak, justru tak dapat diatasi mengingat kurangnya
tenaga ahli. Juga sarana dan biaya.
Jusuf bukan tak punya jalan keluar. "Faktor-faktor yang
mempunyai hubungan dengan kanker leher rahim perlu segera
ditanggulangi," ucapnya. Kawin terlalu muda, banyak anak, banyak
kawin dan keadaan sosial ekonomi yang rendah serta tygiene yang
buruk jadi faktor penyebab kanker leher rahim. Begitu menurut
Hanafiah.
Ia menganjurkan orang-orang tua agar tidak mengawinkan anak
perempuan mereka dalam usia muda. Yang sudah berumah tangga,
praktekkan KB atau jangan suka kawin cerai. Tingkatkan taraf
hidup dan jaga kesehatan. Bagi wanita muda yang cepat kawin,
menurut Jusuf, dia selain belum siap mental, juga belum siap
fisik. Karenanya, kalau hamil mudah dirangkul komplikasi. "Dan
kesempatan untuk bereproduksi menjadi lebih panjang sehingga
menambah laju pertumbuhan penduduk," tambah Jusuf Hanafiah.
Dengan mengemukakan alasan-alasan tadi dia juga tak lupa
melontarkan saran agar UU Perkawinan yang disyahkan tahun 1974
dan membenarkan seorang wanita berusia 16 tahun kawin. "Perlu
ditinjau kembali dan dinaikkan menjadi 18 tahun," katanya.
Jika ada kanker rahim ditemukan dini, maka perlu ada pemeriksaan
apusan Papanicolau secara teratur. Setahun sekali bagi wanita
berusia 30 tahun, dan 6 bulan sekali bagi mereka yang berumur
lebih dari itu. Tapi karena menyangkut tenaga ahli, sarana dan
biaya, sehingga mass-screening masih sulit dikembangkan di sini.
"Tapi sekurangkurangnya dapat dilakukan secara selective
screening, " katanya pula. Terutama bagi wanita golongan
beresiko tinggi (usia 30-50 tahun), yang mempunyai banyak anak
dan berpenghasilan rendah.
Pendidikan Seks
Tapi bagaimana dengan penyakit trophoblast ganas? Kanker ini
rupanya tak mau pilih tempat untuk berkembang, terutama di Asia.
Di Indonesia penyakit ini ikut unjuk gigi. Dan biasanya
wanita-wanita yang sedang dalam masa kehamilan mola-hydati dosa
mudah diserangnya. Angka kematiannya juga tinggi. Tapi jika ada
pemeriksaan secara teratur dan dokter dapat menegakkan diagnosa
sedini-dininya, memberi pengobatan yang tepat dan cepat, adalah
satu cara dalam mengatasinya. Jusuf juga meminta supaya program
penemuan dini jangan sampai lupa dimasukkan dalam program bidang
kesehatan dalam Repelita III.
Berdasar penelitian, menurut Jusuf, 50 persen ketidaksuburan
terletak di pihak suami. Padahal selama ini hanya pihak isteri
yang disalahkan. "Banyak suami yang tidak bersedia diperiksa.
Dia menyangka mampu mengadakan hubungan seksuil berarti dia
tidak salah apa-apa," katanya. Sikap demikian hendaklah diubah
jika ingin mendapat pengobatan.
Untuk memeriksa kemandulan, memang banyak waktu dan biaya yang
diperlukan. Karena banyak faktor penyebabnya. Terkadang si suami
perlu menjalankan pembedahan, atau malahan si isteri juga. Di
Indonesia, setelah dijumpai pil subur atau clomid dan kemajuan
dalam bedah mikro, hasil pengobatan kemandulan baru mencapai
sekitar 15 persen.
Jusuf prihatin bahwa di antara 5 juta penduduk Indonesia kini
sedang merindukan anak siang-malam. Karena itu, dia merasa tidak
adil apabila kita terlalu sibuk dengan program KB. Program
infertilitas perlu dimasukkan dalam program BKKBN. Selain itu
diperlukan adanya undang-undang adopsi, kata Hanafiah yang juga
menjabat Direktur Pusdiklat Sterilisasi Sukarela Sumatera.
Menyinggung soal pendidikan seks, ia mengatakan agar bagian ini
dimasukkan dalam llmu Kedokteran Pencegahan. Kalau pendidikan
seks jadi perhatian Organisasi Kesehatan Sedunia, mengapa di
Indonesia kita abaikan? "Salah asuhan dalam seks dapat
menimbulkan disfungsi seksual di kemudian hari dan menyebabkan
tidak bahagianya suatu keluarga," katanya. Tapi karena
pelaksanaannya tidak mudah, Jusuf menganjurkan agar pendidikan
seks dikaitkan dengan pendidikan kependudukan dan program
keluarga berencana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini