Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Balik Itu, Ada Sumbangan

Kota Lhokseumawe, Aceh Utara, sedang mempersiapkan perluasannya, pembenahan tatakota sudah direncanakan dan bangunan-bangunan permanen mulai didirikan. Biaya hidup mahal. Air tawar belum memadai.

7 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMPAKNYA kota Lhokseumawe tak mau kalah berpacu dengan kesibukan Proyek Gas Alam Cair (LNG) yang diresmikan Presiden Soeharto 19 September lalu. Ibu kota kabupaten Aceh Utara ini mulai membenahi diri dan merubah wajahnya sejak tahun 1973 lalu. Sejak itu rumah-rumah buruk kantor-kantor dan pertokoan yang dulu kebanyakan terbuat dari kayu bakau diganti dengan bangunan permanen. Meski tanah di Lhokseumawe kini berharga bukan main (ada yang Rp 1.000 per meter, nyaris mengalahkan harga tanah di Medan) dan banyak rawa, rupanya tak jadi masalah. Dulu kota dekat bibir pantai ini nyaris mati. Tapi sejak proyek gas alam di Arun dan Blang Lancang dibangun, Lhokseumawe tambah ramai. Dulu penduduk Aceh Utara lebih suka tinggal di desa dan kampung-kampung (sekitar 84 persen). Sekarang sebaliknya. Daerah-daerah seperti Blang Jruen, Kecamatan Muara Dua dan landar Sakti kini juga ramai ditinggali karyawan proyek LNG yang datang dari berbagai daerah. Kalau pada tahun 1971 penduduk Aceh Utara 468.527, kini 538.675 jiwa. Ini belum terhitung 800 kepala keluarga transmigran. Menurut Sekwilda Aceh Utara, T. Tjut Ibrahim, "kota Lhokseumawe sedang mempersiapkan perluasannya." Peta dan pembenahan tata kota secara berencana sudah lama disiapkan Direktorat Jenderal Bina Marga. "Jadi tidak ada masalah lagi bagi kita di sini," katanya. Sementara itu Menteri Dalam Negeri tahun lalu sudah menyetujui pembangunan gedung Sekretariat Pemda Aceh Utara dekat stadion Rawasakti. Tapi yang masih membuat orang mengeluh jika mau menetap di Lhokseumawe adalah soal harga yang serba mahal. Dari bahan makanan sehari-hari sampai sewa atau harga kontrak rumah. Sewa sebuah kamar dengan lantai tanah per bulannya Rp 5.000. Berapa pula kalau rumah beratap seng dikontrak per tahun? Tidak jelas, apakah si pemiliknya membayangkan bahwa "harga harus mahal" karena membandingkannya dengan gaji karyawan proyek gas alam. Maklumlah. Ada pesuruh yang bergaji sampai Rp 75 ribu. Rp 300.000 Yang masih belum dapat diatasi pihak Pemda adalah ihwal air tawar. Kota dekat pantai ini malah tak punya sumber air permanen. Makanya, jangan heran kalau Lhokseumawe selain kebanjiran bus dan mobil, jalan-jalan dalam kota juga digerayangi kereta soron yang membawa ember-ember air. Biasanya harga seember air tawar antara Rp 75 sampai Rp 150. Di daerah Jalan Perdagangan dan Sukaramai sejumlah deretan toko-toko permanen sudah siap. Begitu juga terminal bus di sana kini hidup siang malam 24 jam, karena kendaraan Medan-Banda Aceh non-stop dan musti sinah di sini. Namun di balik kesibukan sehari-hari dan munculnya tampang bangunan permanen di Lhokseumawe itu, ternyata diam-diam sampai pekan lalu ada juga yang tidak serasi. Para pedagang di sini menyebutnya sebagai pungli. Pungutan ini kabarnya sudah berjalan lama juga, tapi masih tetap dibiarkan. Meski pada sejak 15 Agustus lalu pimpinan DPRD Aceh Utara telah mempersoalkan agar praktek pungli itu dihentikan. Sumber TEMPO mengatakan, ketika AY masih menjadi Bupati Aceh Utara para pedagang yang menempati lods A sampai lods G yang sudah permanen itu diharuskan membayar "sumbangan daerah" Rp 300.000. Kata seorang pedagang: "Pengutipan sumbangan sebanyak itu tak pernah dimusyawarahkan." Kalau mereka tidak mau memberi dalam jumlah yang ditentukan tadi si kontraktor A Hun dari PT KI yang membangun lods tersebut tidak bakal memberikan sertifikat kepada yang bersangkutan. "Malah kunci kios juga ditahan pihak Pemda," tambah pedagang tadi. Akibatnya tentu saja si pedagang kalang kabut. Selain tak bisa menempati kios mereka, juta niat minta kredit dari bank terhalang, berdagang pun tak bisa. "Dan kalau tidak dilunaskan, hak untuk menempati kios itu akan dicabut," tambahnya. Jumlah kios di lods A dan G itu 239 pintu, dimaksudkan sebagai tempat penampungan para pedagang eks Pasar Lama yang digusur. Harga per pintu Rp 1,1 juta dan yang bertingkat Rp 1,6 juta. Sebelum itu Pemda telah membujuk para pedagang di sana bahwa pembayaran dapat dilakukan bertahap. "Persyaratan ini kita setujui," kata seorang pedagang yang belum mendapat kunci kiosnya karena ditahan seorang oknum petugas. "Tapi setelah pembayaran berjalan, barulah terjadi pengutipan yang Rp 300 ribu itu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus