TAMPAKNYA kota Lhokseumawe tak mau kalah berpacu dengan
kesibukan Proyek Gas Alam Cair (LNG) yang diresmikan Presiden
Soeharto 19 September lalu. Ibu kota kabupaten Aceh Utara ini
mulai membenahi diri dan merubah wajahnya sejak tahun 1973 lalu.
Sejak itu rumah-rumah buruk kantor-kantor dan pertokoan yang
dulu kebanyakan terbuat dari kayu bakau diganti dengan bangunan
permanen.
Meski tanah di Lhokseumawe kini berharga bukan main (ada yang Rp
1.000 per meter, nyaris mengalahkan harga tanah di Medan) dan
banyak rawa, rupanya tak jadi masalah. Dulu kota dekat bibir
pantai ini nyaris mati. Tapi sejak proyek gas alam di Arun dan
Blang Lancang dibangun, Lhokseumawe tambah ramai.
Dulu penduduk Aceh Utara lebih suka tinggal di desa dan
kampung-kampung (sekitar 84 persen). Sekarang sebaliknya.
Daerah-daerah seperti Blang Jruen, Kecamatan Muara Dua dan
landar Sakti kini juga ramai ditinggali karyawan proyek LNG
yang datang dari berbagai daerah. Kalau pada tahun 1971 penduduk
Aceh Utara 468.527, kini 538.675 jiwa. Ini belum terhitung 800
kepala keluarga transmigran.
Menurut Sekwilda Aceh Utara, T. Tjut Ibrahim, "kota Lhokseumawe
sedang mempersiapkan perluasannya." Peta dan pembenahan tata
kota secara berencana sudah lama disiapkan Direktorat Jenderal
Bina Marga. "Jadi tidak ada masalah lagi bagi kita di sini,"
katanya. Sementara itu Menteri Dalam Negeri tahun lalu sudah
menyetujui pembangunan gedung Sekretariat Pemda Aceh Utara dekat
stadion Rawasakti.
Tapi yang masih membuat orang mengeluh jika mau menetap di
Lhokseumawe adalah soal harga yang serba mahal. Dari bahan
makanan sehari-hari sampai sewa atau harga kontrak rumah. Sewa
sebuah kamar dengan lantai tanah per bulannya Rp 5.000. Berapa
pula kalau rumah beratap seng dikontrak per tahun? Tidak jelas,
apakah si pemiliknya membayangkan bahwa "harga harus mahal"
karena membandingkannya dengan gaji karyawan proyek gas alam.
Maklumlah. Ada pesuruh yang bergaji sampai Rp 75 ribu.
Rp 300.000
Yang masih belum dapat diatasi pihak Pemda adalah ihwal air
tawar. Kota dekat pantai ini malah tak punya sumber air
permanen. Makanya, jangan heran kalau Lhokseumawe selain
kebanjiran bus dan mobil, jalan-jalan dalam kota juga
digerayangi kereta soron yang membawa ember-ember air. Biasanya
harga seember air tawar antara Rp 75 sampai Rp 150.
Di daerah Jalan Perdagangan dan Sukaramai sejumlah deretan
toko-toko permanen sudah siap. Begitu juga terminal bus di sana
kini hidup siang malam 24 jam, karena kendaraan Medan-Banda Aceh
non-stop dan musti sinah di sini.
Namun di balik kesibukan sehari-hari dan munculnya tampang
bangunan permanen di Lhokseumawe itu, ternyata diam-diam sampai
pekan lalu ada juga yang tidak serasi. Para pedagang di sini
menyebutnya sebagai pungli. Pungutan ini kabarnya sudah berjalan
lama juga, tapi masih tetap dibiarkan. Meski pada sejak 15
Agustus lalu pimpinan DPRD Aceh Utara telah mempersoalkan agar
praktek pungli itu dihentikan.
Sumber TEMPO mengatakan, ketika AY masih menjadi Bupati Aceh
Utara para pedagang yang menempati lods A sampai lods G yang
sudah permanen itu diharuskan membayar "sumbangan daerah" Rp
300.000. Kata seorang pedagang: "Pengutipan sumbangan sebanyak
itu tak pernah dimusyawarahkan." Kalau mereka tidak mau memberi
dalam jumlah yang ditentukan tadi si kontraktor A Hun dari PT KI
yang membangun lods tersebut tidak bakal memberikan sertifikat
kepada yang bersangkutan. "Malah kunci kios juga ditahan pihak
Pemda," tambah pedagang tadi.
Akibatnya tentu saja si pedagang kalang kabut. Selain tak bisa
menempati kios mereka, juta niat minta kredit dari bank
terhalang, berdagang pun tak bisa. "Dan kalau tidak dilunaskan,
hak untuk menempati kios itu akan dicabut," tambahnya.
Jumlah kios di lods A dan G itu 239 pintu, dimaksudkan sebagai
tempat penampungan para pedagang eks Pasar Lama yang digusur.
Harga per pintu Rp 1,1 juta dan yang bertingkat Rp 1,6 juta.
Sebelum itu Pemda telah membujuk para pedagang di sana bahwa
pembayaran dapat dilakukan bertahap. "Persyaratan ini kita
setujui," kata seorang pedagang yang belum mendapat kunci
kiosnya karena ditahan seorang oknum petugas. "Tapi setelah
pembayaran berjalan, barulah terjadi pengutipan yang Rp 300 ribu
itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini