Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tambusai dan Pasukan Putih-putih

Seorang pustakawan mendapatkan data-data Belanda yang melaporkan kekejaman Tuanku Tambusai di daerah Padang Lawas.

15 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ro Bonjol… Ro Bonjol (Bonjol datang… Bonjol datang).

Basyral Hamidy Harahap, 67 tahun, peneliti sejarah Mandailing, masih ingat cerita-cerita lisan turun-temurun di kampungnya di Simanabun, Padang Lawas. Kisah tentang bagaimana takutnya penduduk ketika pasukan Padri pimpinan Tuanku Tambusai datang menyerbu. Masyarakat Simanabun memukul kentungan sembari berteriak, ”Bonjol datang, Bonjol datang.” Lalu mereka naik perbukitan Dolok menyelamatkan diri.

Basyral Hamidy Harahap adalah turunan dari Raja Datu Bange yang bermarga Babiat di Simanabun, Distrik Dolok. Datu Bange adalah raja yang paling gigih melawan Padri di kawasan Padang Lawas. Basyral mewarisi banyak kisah lisan dari marga Babiat mengenai perjuangan Datu Bange.

Pada 1836, kawasan Padang Lawas dianggap sebagai daerah paling biddah oleh serdadu Padri. ”Mereka datang pakai kuda, mengenakan kostum dan serban putih-putih,” katanya. Dari data dokumen lokal, ia mengetahui bagaimana Datu Bange habis-habisan mempertahankan Padang Lawas.

Sewaktu pertama kali menyerang, Tambusai dapat dipukul mundur. Raja Portibi, Kadhi Sulaiman, pengikut setia Tuanku Tambusai, tewas dalam perang ini. Tambusai balik ke Mandailing. Dan dalam perjalanannya, pasukannya membabi-buta menangkapi anak gadis dan perempuan dewasa di lembah timur Bukit Barisan. ”Para perempuan itu ditukar dengan mesiu,” kata Basyral.

Untuk mengamankan diri, Datu Bange bersama keluarga dan pasukan intinya mengungsi. Mereka memanjat tebing menuju ke puncak perbukitan Dolok. Bukit itu sendiri begitu licin, hampir tegak lurus, dan sesungguhnya sukar didaki. Datu Bange mengetahui jalan aman untuk ke puncak bukit. Selama setahun Datu Bange berada di atas bukit.

Setahun kemudian, Tambusai menyerang Datu Bange lagi. Datu Bange tetap bertahan di atas bukit. Celakanya, adik kandung Datu Bange, Ja Sobob, berkhianat menunjukkan jalan menuju ke puncak Dolok, memberitahukan persembunyian abangnya. Segera Tuanku Tambusai merangsek, menyerbu ke atas bukit. Datu Bange lolos—ia terluka—dan bersama pasukannya lari melewati pegunungan Bukit Barisan.

”Datu Bange meninggal dengan infeksi pada luka-lukanya,” kata Basyral. Sesungguhnya, menurut Basyral, Datu Bange mau menyerah, tapi dengan syarat Tuanku Tambusai membiarkan pengikut Datu Bange selamat. Kenyataannya, pasukan Tambusai kemudian memutilasi ratusan penduduk Padang Lawas.

Sebagai Ketua Jurusan Perpustakaan Universitas Indonesia 1965-1967 dan pensiunan pustakawan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Basyral tidak menerima mentah-mentah cerita khazanah lokal kampungnya itu. Ketika beberapa kali mendapat kesempatan ke Belanda, ia mencari-cari dokumen yang berkenaan dengan serbuan Padri ke Padang Lawas. Dan ia menemukan data dari pihak Belanda yang membenarkan semua kisah tentang pembantaian yang dilakukan Tuanku Tambusai.

Data itu ia dapat dari catatan-catatan J.B. Neumann, Jughuhn, Ypes, Schnitger, dan terutama T.J. Willer. Willerlah yang banyak mencatat brutalisme gerakan Padri di daerah Padang Lawas. Dua bukunya menjadi referensi utama Basyral. Siapakah T.J. Willer? Dalam Almanak van Nederlandsch Indie, Willer disebut menjabat Ketua Komite untuk Wilayah Padang Lawas, Tambusai, Pane, dan daerah Bila pada 1838-1843. Jabatan berikutnya adalah Asisten Residen Mandailing Angkola yang berkedudukan di Panyabungan pada 1843.

Laporan T.J. Willer, misalnya, sampai memetakan luas wilayah yang menjadi kekuasaan Datu Bange. Seluruh kawasan Simanabun dalam catatan Willer saat itu dihuni 606 rumah tangga. Dalam buku Willer itu juga ditampilkan silsilah Marga Babiat—mulai leluhur sampai Datu Bange—sampai generasi XII. Dari situlah Basyral tahu bahwa dirinya termasuk generasi cicit Datu Bange.

Willer, sebagaimana dikutip Basyral, menuliskan demikian: ”…. Padri yang dipimpin oleh Tambusai membakar kampung demi kampung…. Mereka memaksakan ajaran Islam (Wahabi) di mana-mana. Jika penduduk tidak serta-merta mau masuk Islam akan segera dibunuh….”

Sebagaimana Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai di zaman Orde Baru diangkat sebagai pahlawan negara. ”Mengapa ia dianggap pahlawan?” tanya Basyral. Menurut Basyral, dia sama sekali tidak punya dendam dengan tragedi yang menimpa pendahulunya itu. Tapi sebuah revisi sejarah harus digelar.

Berdasarkan catatan panitia yang mengusulkan gelar pahlawan nasional untuk Tuanku Tambusai, Datu Bange dianggap sebagai perampok yang sering membuat kekacauan. Tuanku Tambusai ingin mengakhiri perlawanan kelompok parbegu yang dipimpin Datu Bange, sehingga serangan pun dilakukan sampai dua kali.

”Itu sama sekali tak benar. Datu Bange merupakan raja paling karismatik di Padang Lawas. Sebelum kaum Padri masuk pun, warganya telah memeluk Islam,” ungkap Basyral kesal. Masyarakat daerah Padang Lawas sebelum kedatangan Tuanku Tambusai, menurut dia, sudah sekian lama memeluk mazhab Syafii yang egaliter.

Di wilayah Padang Lawas memang banyak peninggalan candi Hindu—Bhairawa. Sebagaimana halnya penganut Islam di pedalaman, warga Simanabun masih mempertahankan tradisi kultural. Tradisi ziarah kubur, misalnya, waktu itu masih sehari-hari dilakoni penduduk. Mereka memasang lampu, lalu membuat cungkup-cungkup di kuburan. ”Mereka masih berdoa kepada Tuhan di kuburan.”

Tapi gejala itu, menurut Basyral, ada di bagian mama pun di Sumatera. Bahkan, dalam catatan Basyral, di wilayah pesisir seperti pantai Natal, tradisi mistik pun masih kuat. Dokumen perjanjian Bagindo Martia Lelo, Raja Natal, dengan Moschel, penguasa VOC, bertarikh 7 Maret 1760, misalnya, menyebutkan bahwa ia bersumpah atas Al-Quran dan asap pedupaan.

Islam demikianlah, menurut gerakan Tuanku Tambusai, yang menyeleweng dan perlu dimurnikan akidahnya. ”Upacara pemakaman yang menggunakan berbagai usungan jenazah di Padang Lawas adalah salah satu hal yang dibenci Tambusai,” kata Basyral. Pasukan Putih-putih Padri lalu melakukan pembersihan total. ”Cungkup-cungkup makam dipapras sedemikian. Juga manusianya disembelih,” kata Basyral—berdasarkan data milik pemerintah Belanda yang dibacanya.

Seno Joko Suyono, Sita Planasari Aquadini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus