Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Saling Lempar di Abdul Muis

Irawady Joenoes dan panitia pengadaan Komisi Yudisial saling lempar kesalahan. Ada pembocoran informasi kepada peserta tender.

15 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IRAWADY Joenoes tampak geram. Di dalam selnya, ruang tahanan Markas Besar Kepolisian RI, anggota non-aktif Komisi Yudisial berumur 67 tahun ini seperti berikrar terhadap dirinya sendiri. ”Saya bertekad akan membongkar semuanya,” katanya. Sejenak ia berdiam diri. ”Saya dijebak teman sendiri,” katanya lagi.

Sejak digelandang dua pekan lalu karena tertangkap tangan menerima uang, kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dia terus berkeras mengaku bekerja berdasarkan perintah pemimpin Komisi. Memang, bila dalih ini kelak diterima pengadilan, Irawady bisa saja bebas. Persoalannya, benarkah ia bertindak berdasarkan perintah jabatan yang sah?

Berdasarkan rapat pleno 31 Juli 2007, Ketua Komisi Yudisial memberikan tugas kepada beberapa anggota dan staf Komisi untuk melakukan supervisi dan penertiban di semua aspek di lingkungan sekretariat jenderal. Termasuk melakukan klarifikasi terhadap pihak-pihak yang terkait dalam proses pengadaan barang dan sewa gedung Komisi Yudisial di Jalan Abdul Muis. Irawady, mantan jaksa itu, ditunjuk sebagai pemimpin tim supervisi ini.

Komisi antikorupsi masih mengembangkan keterangan dari saksi-saksi pegawai Komisi Yudisial. Keterangan para pegawai, khususnya panitia pengadaan tanah, dikumpulkan. Keterangan mereka dinilai sama pentingnya dengan keterangan Irawady dan Freddy Santoso, Direktur PT Persada Sembada, tersangka penyuap. Isi percakapan telepon Irawady juga jadi bukti. ”Penyidikan KPK tidak dilakukan secara parsial, namun juga melihat hasil penyelidikan terlebih dulu,” kata Taufiequrachman Ruki, Ketua KPK.

Kesimpulan Komisi, sejumlah kejanggalan masih bertebaran dalam keterangan Irawady. Surat penugasan, misalnya, diduga cuma alibi. Dari dokumen sitaan Komisi Pemberantasan Korupsi, Irawady diketahui baru mengirimkan surat kepada Muzayyin Mahbub, Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial, pada 2 September 2007.

Isinya, ia meminta segera dibuatkan surat penugasan khusus untuk dirinya. Surat tugas ini kemudian terbit pada 12 September 2007. Padahal, berdasarkan keterangan saksi-saksi, kontak Irawady dengan Freddy sudah dilakukan sejak Juli 2007. ”Surat itu tak ada kaitannya dengan pengadaan tanah,” kata Sukotjo Suparto, anggota Komisi Yudisial. Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas menyatakan hal yang sama. ”Tak ada hubungannya.”

Irawady juga diduga tidak ”jalan sendiri”. Keterangan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi, ada dugaan pembocoran informasi tender pengadaan tanah. Praktek suap itu diduga sebagai, antara lain, imbalan ”jasa informasi” tersebut. Berdasarkan pembocoran informasi ini, Freddy Santoso, pemilik tanah di Jalan Kramat 57, bisa menang tender.

Semula Freddy menawarkan tanahnya dengan harga Rp 51 miliar. Pagu anggaran pembelian tanah Komisi resminya Rp 59 miliar. Namun Komisi memutuskan membeli tanah berdasarkan nilai buku pajak tanah, yakni Rp 8,14 juta per meter persegi. Begitu mendengar keputusan tersebut, Freddy menurunkan penawarannya. Ia menawarkan tanah seluas 5.720 meter persegi dengan harga Rp 8,13 juta per meter persegi.

Alhasil, selisih harga antara harga taksiran dari panitia pengadaan dan harga yang ditawarkan Freddy cuma Rp 10 ribu. Itu terbilang paling murah. Komisi kemudian membeli tanah Freddy senilai Rp 46,9 miliar. Dana itu kemudian dibayarkan pada 18 September 2007 lewat Bank Mandiri Cabang Kramat, Jakarta. ”Penilaian atas kelayakan tanah diputuskan oleh panitia tersendiri di bawah Sekretaris Jenderal,” ujar Sukotjo.

Selain pembocoran informasi, diduga ada permainan tender. Sebab, saat rapat pleno 8 Mei, Komisi Yudisial tidak menyinggung tanah Kramat. Komisi saat itu memutuskan tiga alternatif pilihan, yakni tanah di Jalan Rasuna Said milik Jamsostek, tanah di Menteng bekas Hotel Sabang, dan tanah di Jalan Prapatan, Jakarta Pusat. Tiga alternatif ini dipilih dari 14 alternatif lokasi tanah yang masuk ke panitia pengadaan. Menurut sumber Tempo, Freddy sendiri sempat menawarkan Rp 1 miliar bagi panitia pengadaan asalkan tanahnya yang terpilih.

Baru pada rapat pleno 25 Juli, entah mengapa, tanah Kramat masuk pembahasan. Di rapat tersebut, Irawady menyampaikan ada upaya seorang pemilik tanah mendekati dirinya di dalam dan di luar kantor. Tapi ia menolak tanah Kramat karena bukan di ring I dan banyak preman.

Komisi kemudian membeli tanah Kramat pada rapat pleno keempat, 28 Agustus. Sebelumnya, pada 22 Agustus, Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial menyampaikan nota dinas soal pembelian tanah ke semua komisioner yang mencantumkan tanah Kramat. Irawady kemudian mengirimkan nota dinas, sesaat setelah rapat pleno 28 Agustus. Intinya, setuju pembelian tanah Kramat. Bahkan mendorong Sekretaris Jenderal segera memprosesnya agar anggaran tidak hangus. Irawady sendiri mengaku tidak ikut dalam rapat tersebut.

Raffadian Bratanata, anggota staf Irawady, membenarkan adanya rencana suap ke Komisi Yudisial. Pada awal Juli lalu, ia pernah bertemu dengan Freddy. Saat itu, Freddy menawarkan diri memberi dana miliaran bila Irawady bisa membantunya menjual tanah ke Komisi. ”Saya bertemu untuk menyelidiki motif dan tujuan Freddy,” katanya pekan lalu.

Hasil pertemuan ini dilaporkannya ke Irawady. Di situlah terbetik pikiran Irawady menjebak Freddy. ”Kok, dia bisa tahu kalau di rapat pleno Komisi, saya menolak pembelian tanah Kramat?” kata Irawady saat itu. Irawady menduga ada permainan di dalam Komisi Yudisial sendiri.

Dalam pertemuan dengan Bratanata, Freddy menolak memberitahukan sumbernya. ”Dia mengelak dan menjawab tidak tahu. Ada orang dalam yang mendorong Freddy bertemu dengan Irawady,” kata Bratanata. Sejak itu, perkembangan rencana suap tak lagi diketahuinya. Sampai, akhirnya, Irawady ditangkap KPK.

Freddy Santoso, melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, tetap mengaku dirinya dimintai uang sekitar Rp 7 miliar oleh Irawady. Saat itu kliennya, kata Otto, dihubungi Irawady per telepon. Uang tersebut diminta sebagai fee pembelian tanah Kramat Raya oleh Komisi Yudisial. ”Tapi Freddy menolak. Ia merasa tak sanggup,” ujar Otto. Irawady masih menelepon lagi dan menurunkan permintaannya menjadi Rp 2 miliar. ”Jumlah ini pun ditolak.”

Menurut Otto, Freddy merasa tidak perlu memberikan uang kepada Irawady karena tidak ada janji apa pun dengannya. Freddy hanya diminta Irawady menurunkan harga tanah yang ditawarkan dari Rp 51 miliar menjadi Rp 46 miliar. ”Dan itu sudah dipenuhi Freddy,” kata Otto. Meski ditolak, Irawady terus menghubungi Freddy lewat telepon dan menurunkan kembali permintaannya menjadi Rp 1 miliar. ”Freddy waktu itu diam saja,” ujar Otto.

Freddy terpaksa menyerahkan Rp 600 juta plus US$ 30 ribu karena terus ditagih. Ia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi kala menemui Irawady di sebuah rumah di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. ”Jadi Irawady yang pertama kali menelepon dan menjelaskan siapa dirinya,” ujar Otto.

Menurut Busyro Muqoddas, pengadaan tanah untuk kantor Komisi Yudisial benar berdasarkan nota dinas tanggal 28 Agustus 2007 ke Sekretaris Jenderal. Isinya, Ketua Komisi Yudisial menyetujui pengadaan tanah untuk kantor baru karena kantor yang ditempati saat ini akan habis masa kontraknya pada akhir 2007. ”Pengadaan tanah dilakukan sesuai dengan prosedur, melalui tender,” kata Busyro. Dalam tender itulah PT Persada Sembada, perusahaan milik Freddy Santoso, menang.

Panitia pengadaan tanah itu sendiri diketuai Priyono, Kepala Subbagian Perencanaan Komisi Yudisial. Menurut Busyro, anggota Komisi dilarang terlibat sebagai panitia. Komisioner hanya bisa memberikan masukan moral dan yuridis. Menurut sumber Tempo di Komisi Yudisial, Irawady tak mungkin bisa bebas bertindak tanpa kerja sama dari panitia pengadaan.

Priyono, pekan lalu, sudah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Mantan pegawai Departemen Keuangan ini, menurut sumber Tempo di Komisi Yudisial, membantah terlibat skandal pengaturan tender tanah. Ia melempar kesalahan kepada Irawady. ”Saya tidak mau berkomentar,” katanya kepada Tempo setelah diperiksa sekitar lima jam di kantor KPK, di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.

Arif A. Kuswardono, Elik Susanto, Purnomo G.R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus