Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STATUS tanah Kesultanan Yogyakarta tak henti menuai perdebatan, apakah masuk sebagai aset negara atau dipisahkan sebagai kekayaan sultan yang berkuasa. Tanah sultan ini merujuk pada Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 antara Kerajaan Mataram dan perusahaan dagang Hindia Belanda, VOC.
"Tanah sultan" disebut juga dengan "sultan ground", berupa lahan-lahan yang diwariskan oleh penguasa Mataram kepada anak-cucunya. Menurut Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto, Penghageng Panitikismo atau Lurah Keraton, luas "sultan ground" itu diatur dalam Domein Verklaring atau "pernyataan tanah negara" yang dibuat pada 1918.
Akta yang merujuk pada Perjanjian Giyanti dituangkan dalam Rijkblad Yogyakarta Nomor 16. Di sana disebutkan bahwa kewenangan sultan yang bertakhta atas daerah kekuasaannya "kabeh bumi kang ora ana tandha yekti hak andarbeni iku kagungan ingsun". Semua tanah yang tak ada bukti kepemilikannya adalah tanah sultan. "Jadi tak ada tanah negara di Yogyakarta," kata Hadiwinoto.
Ia mencontohkan ketika pemerintah Belanda hendak membangun Stasiun Tugu. Belanda, kata Hadiwinoto, meminta lahan tersebut kepada Sultan. "Mereka saja tak seenaknya sendiri."
Kisruh "tanah sultan" terjadi ketika pemerintah memberlakukan Undang-Undang Agraria pada 1960. Meski merupakan daerah istimewa, tanah-tanah di provinsi ini terkena aturan ini sehingga masuk sebagai aset negara. Undang-undang itu dikukuhkan oleh peraturan daerah yang menghapus rijkblad tersebut sekaligus menghapus ketentuan tanah dikelola Kesultanan seperti diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1950.
Data Badan Pertanahan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2005 menyebutkan luas tanah milik Keraton adalah 3.900 hektare atau sekitar 1,23 persen dari total luas Daerah Istimewa Yogyakarta yang 318.580 hektare.
Menurut Hadiwinoto, konversi "tanah sultan" menjadi tanah negara semestinya memakai konversi yang diatur Recht van Opstal, hak guna bangunan masa penjajahan, menjadi hak guna bangunan, bukan konversi kepemilikan. "Bila negara menjadikan tanah Keraton dan Pakualaman sebagai tanah negara, seharusnya ada ganti rugi kepada kedua lembaga itu," katanya.
Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat, keponakan Hamengku Buwono IX, menambahkan, sebelum Keraton Yogyakarta bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Hamengku Buwono IX memberikan tanah-tanah keraton untuk semua desa agar digunakan untuk mendirikan kantor pemerintahan desa. "Bekal untuk desa di DIY, semua tanahnya dari Sultan," kata Jatiningrat.
Status "tanah sultan" kian kukuh menjadi aset negara dengan disahkannya Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta pada 2012. Akibatnya, Panitikismo dan pemerintah kini sedang mendata ulang tanah-tanah Sultan itu dan memisahkannya dengan aset pemerintah. Tanah-tanah sultan akan dikembalikan ke pangkuan Keraton.
Kini inventarisasi itu bertambah rumit karena banyak tanah yang dianggap tanah sultan sudah dipakai warga Yogyakarta yang bukan keturunan Keraton ataupun Pakualaman. "Kami harus hati-hati karena rawan konflik," kata Kepala Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Istimewa Yogyakarta Beni Suharsono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo