Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA yang unik dari Sultan Hamengku Buwono IX. Dia memilih tak menobatkan satu pun dari lima istrinya sebagai garwa padmi, istri utama, alias permaisuri. Ini berbeda dengan raja-raja sebelumnya, yang bahkan menetapkan beberapa permaisuri.
"Jumlah permaisuri dan siapa yang dipilih menjadi permaisuri sepenuhnya hak prerogatif sultan yang bertakhta," kata Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat, cucu Hamengku Buwono VIII, kepada Tempo di kantornya, Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, pada pertengahan Juli lalu.
Maka para istri Sultan IX semuanya berstatus garwa ampeyan atau klangenan dalem, yang jamak dikenal sebagai selir. Mereka secara berurutan adalah Kanjeng Raden Ayu (KRAy) Pintaka Purnomo, KRAy Windyaningrum, KRAy Astungkara, KRAy Ciptomurti, dan KRAy Nindyokirono. Sultan memiliki 21 putra-putri dari istri pertama sampai keempat. Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah putra sulung Windyaningrum, yang dinikahi Sultan IX pada 1943.
Saat ini hanya istri terakhir yang dinikahi Sultan IX pada 1976, Nindyokirono, 85 tahun, yang masih hidup. Wanita asal Bangka itu bernama asli Norma. "Sudah lama saya enggak kontak dengan Bu Norma," ujar Gusti Bendoro Pangeran Haryo (KGPH) Prabukusumo, anak sulung Sultan IX dari Astungkara, akhir Juni lalu.
Keputusan Sultan IX tak mengangkat permaisuri didasari pada pengalaman para pendahulunya yang mengalami sejumlah persoalan saat menentukan putra mahkota. "Beliau anak tunggal. Kalau mengangkat permaisuri, intriknya nanti macam-macam," kata KGPH Hadiwinoto, adik kandung Sultan X, di Kantor Pracimosono Keraton Yogyakarta.
Hadiwinoto lalu menceritakan pengalaman buruk yang dialami Sultan VII ketika menentukan penggantinya. Pada umumnya, putra mahkota diangkat dari anak laki-laki yang dilahirkan oleh permaisuri. Saat itu tiga calon putra mahkota adalah putra permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencana, tapi belakangan semuanya gagal atau tak memenuhi syarat menjadi sultan.
Gusti Raden Mas (GRM) Akhadiyat, yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamengkunegara I, tiba-tiba wafat. Urutan berikutnya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Juminah atau KGPAA Hamengkunegara II, juga gagal karena alasan kesehatan. Terakhir, GRM Putra atau KGPAA Hamengkunegara III wafat lantaran sakit keras.
Kemudian GRM Sujadi, yang bergelar Gusti Pangeran Haryo (GPH) Purubaya, naik takhta menjadi Sultan VIII. Sujadi adalah putra dari permaisuri lain, yaitu GKR Hageng. Sedangkan Sultan VII menjadi petapa (madeg pandhita) di Pesanggrahan Ambarukmo, di luar keraton, hingga ajal menjemput. Kegagalan para calon putra mahkota sebelumnya naik takhta itu rupanya lalu menimbulkan perselisihan di kalangan putra-putranya. "Padahal mereka saudara kandung," ucap Hadiwinoto.
Alasan lain Sultan IX tak menentukan permaisuri adalah untuk mewujudkan keadilan bagi para istri karena kedudukan mereka yang setara. Romo Tirun-begitu Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat disapa-mengatakan keadilan itu antara lain berupa pemberian jatah anggaran rumah tangga yang sama. Soal ini diurus Tepas Halpitopuro, pengurus rumah tangga keraton.
Tempat tinggal masing-masing juga terpisah dan dinamakan sesuai dengan nama istri. Dia mencontohkan, ada Ndalem Pintakan, Ndalem Hastungkaran, juga Ndalem Windyaningruman. Sedangkan Norma memiliki Kedaton Shwarna Bhumi di Bogor. Shwarna Bhumi berarti Sumatera-merujuk pada daerah asal Norma.
Di kalangan para istrinya, Sultan dkenal sebagai pria yang romantis. "Setidaknya suka hal-hal yang romantis," kata Norma seperti dikutip dari buku Sri Sultan: Hari-hari Hamengku Buwono IX, yang terbit pada 1988. Menurut dia, sang suami sering memberikan hadiah dengan kemasan dan cara yang membuat hatinya berbunga-bunga.
Sultan IX memang memiliki kebiasaan menarik untuk menyenangkan hati istri-istrinya. Raden Ayu Nuraida, istri adik bungsu Sultan X, GBPH Jokokusumo (almarhum), pernah bercerita kepada Tempo bahwa Sultan IX mencicipi satu per satu masakan nasi blawong para istrinya pada setiap hari ulang tahunnya, yang jatuh 12 April.
Suguhan nasi berwarna kemerahan dengan rasa gurih itu adalah menu sakral yang hanya tersedia pada hari ulang tahun Sultan dan dimasak oleh para selir. "Sultan makannya sedikit. Paling banyak tujuh sendok," tutur Nuraida.
Soal permaisuri, Sultan IX mirip dengan ayahnya. Sultan VIII juga tercatat tak memiliki permaisuri. Namun latar belakangnya berbeda dengan sang putra. Intrik politik keraton diduga kuat menjadi pemicu Sultan VIII memilih tak memiliki permaisuri.
Sultan VIII, yang naik takhta pada 8 Februari 1921, sudah memiliki istri utama ketika masih berstatus putra mahkota, yakni KRAy Adipati Anom. Adipati Anom melahirkan putra tunggal, GRM Dorodjatun, yang kemudian menjadi Sultan IX. "Sebelum Sujadi bertakhta, KRAy Adipati Anom dikebonke atau diceraikan, " ucap Hadiwinoto. "Tapi bukan talak tiga."
Anom dikembalikan kepada orang tuanya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Mangkubumi. Waktu itu Dorodjatun-nama kecil Sultan IX-masih berusia tiga tahun. Setiap libur sekolah, Dorodjatun mengunjungi ibunya yang tinggal bersama kakaknya, KRT Ronodiningrat, di Ndalem Joyonegaran.
Romo Tirun melihat perceraian itu hanyalah siasat untuk mengegolkan putra semata wayang Anom itu menjadi raja. Selama bertakhta, Sultan VIII menikahi delapan selir yang melahirkan 41 anak.
Menjelang pengangkatan Sujadi menjadi putra mahkota atau calon sultan, Romo Tirun menceritakan, berembus kabar bahwa istrinya keturunan dari Untung Surapati. Pria asal Bali ini awalnya adalah budak perwira Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Batavia. Dia kemudian menjadi Bupati Pasuruan, Jawa Timur, dengan nama Tumenggung Wiranegara. Wiranegara melawan Belanda dan gugur dalam pertempuran di Bangil, Pasuruan, pada 17 Oktober 1706.
Mangkubumi, ayah Anom, anak Sultan VI yang disebut-sebut masih berhubungan darah dengan Demang Landoh dari Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Yogyakarta. Nah, Demang Landoh keturunan dari Untung Surapati.
Waktu itu penjajah ikut menentukan siapa raja berikutnya. Sultan VIII tak ingin Dorodjatun dianggap keturunan pemberontak sehingga kelak gagal menjadi Raja Mataram. Maka diceraikanlah Anom demi menyelamatkan peluang Dorodjatun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo