Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tamim tak tahu lagi bagaimana ia bakal menyambung hidupnya. Petani dari Desa Bulak Lor, Kecamatan Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat, ini tekor lantaran gagal panen. Modalnya dari hasil menjual bebek dan ayam plus kandang-kandangnya amblas bersama padi di sawahnya yang mengering.
Musim kemarau tahun ini benar-benar berat. Tamim butuh pasokan air lebih banyak untuk mengairi lahan sewaan seluas tiga hektare yang digarapnya. Apes baginya. Belum sempat padi umur sebulan miliknya mekar, debit air sungai keburu minus dan habis jadi rebutan para petani lain. "Modal sudah habis, tak bakal kembali. Buat makan pun susah. Entah bagaimana musim tanam nanti," kata lelaki 42 tahun ini saat ditemui, Selasa pekan lalu.
Nasib Sanadi sama belaka. Petani dari Panyingkiran Lor, Kecamatan Cantigi, Indramayu, ini gagal meraup untung dari dua hektare sawahnya yang mulai tanam September lalu. Perkaranya serupa: kesulitan mendapat air. Tapi lelaki 40 tahun ini cukup lihai putar otak. Agar dapur tetap mengepul, ia alih profesi dulu menjadi pembuat batu bata di sepanjang Kali Cimanuk. "Beruntung kalau bisa menjual 10 ribu bata. Bisa mendapat Rp 6 juta sebulan untuk modal musim tanam selanjutnya," ujarnya.
Dikepung kekeringan dan ancaman gagal panen di mana-mana, Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah merancang jalan keluar. Seusai rapat dengan sejumlah menteri di rumahnya, Senin pekan lalu, ia bilang pemerintah perlu mengimpor beras. "Ini masalah kekeringan. Kami tidak ingin mengorbankan masyarakat dengan berpegang pada perkiraan yang salah. Karena itu, kami buka kemungkinan impor secepatnya," ucapnya.
Pernyataan dan kekhawatiran Kalla itu tak seirama dengan keyakinan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Di hadapan Presiden Joko Widodo saat panen padi di Karawang, dua pekan lalu, Amran bilang masih ada potensi panen sebanyak 15 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 9 juta ton beras sampai akhir tahun. Produksi tersebut berasal dari lahan di enam provinsi penghasil utama beras, yakni di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Medan, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Dalam kunjungan kerja ke Tuban, Rabu pekan lalu, Amran kembali memastikan pasokan beras masih aman. Menurut dia, para petani di bantaran Sungai Bengawan Solo masih memanen rata-rata 8 ton per hektare. Apalagi area tanaman padi cukup luas, sekitar 10 ribu hektare untuk satu kecamatan. Bahkan, pada musim kemarau ini, tanaman padi di pinggir Bengawan Solo bisa panen dua kali. "Jadi kita tidak usah mengatakan tolak atau tidak (impor beras). Sekarang ini kami berupaya untuk berproduksi. Domain kami di situ."
TAK hanya di Jawa Barat, dampak gelombang panas El Nino juga mampir di sawah-sawah di Jawa Timur. Kepala Seksi Padi Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur Bagus Adirasa mengatakan hampir 2.000 hektare lahan gagal panen. Untuk wilayah Lumajang saja ada 26 ribu hektare lahan kering, meski tak sampai puso. "Kami harapkan hujan pada Oktober akan membuat musim tanam kembali normal," ujarnya.
Kekurangan air saat masa tanam membuat panen pun tak tepat waktu. Normalnya waktu tanam dibagi menjadi dua periode, yakni masa tanam rendeng (saat musim hujan) dan masa tanam gadu (saat kemarau).
Tanam rendeng pertama biasanya dimulai pada Oktober, dengan masa panen Januari. Yang kedua kerap dimulai Maret dan panen bulan Juni. Untuk musim tanam gadu pertama, lazimnya dimulai April dan panen Juli. Sedangkan periode tanam gadu kedua rata-rata mulai September dan berakhir pada Desember.
Celakanya, dampak El Nino tahun ini diperkirakan melanda sampai November. Berarti musim tanam paling cepat baru bisa mulai September dan panen pada Januari tahun depan. Padahal stok beras yang tersisa di Perum Bulog saat ini hanya 1,8 juta ton. Jumlah itu terdiri atas cadangan beras medium untuk penyaluran beras sejahtera (rastra) sebanyak 1,1 juta ton dan serep beras premium 700 ribu ton.
Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, dari hasil perhitungan Bulog, stok yang ada tak bakal mencukupi kebutuhan hingga Desember. "Stok Bulog itu hanya sekitar 1,5 juta ton. Itu pun bisa sampai akhir tahun hanya untuk raskin (beras buat rakyat miskin)."
Data cadangan beras di Bulog nyatanya memang tipis. Menurut Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi, stok 1,8 juta ton itu cukup berisiko. Ia mengatakan paling tidak pada akhir tahun Bulog punya simpanan untuk antisipasi masa sulit awal tahun sebanyak 1,5 juta ton di gudang. "Selama masyarakat masih makan nasi, perhitungannya tidak berhenti di akhir tahun saja. Lanjut terus, minimal sampai Januari-Februari 2016, karena masa paceklik," ujarnya saat dihubungi, Kamis pekan lalu.
Wakil Menteri Perdagangan zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu mengatakan stok Bulog saat ini biasanya akan digunakan untuk program penyaluran rastra. Menurut dia, yang harus dijamin terutama adalah sediaan beras untuk masyarakat miskin selama lima bulan mendatang (Oktober-Februari). Dengan distribusi 270 ribu ton setiap bulan, Bulog butuh beras 1,35 juta ton. Jika ditambah dengan rencana pembagian raskin ke-13 dan ke-14 sebesar 550 ribu ton, total kebutuhannya mencapai 1,9 juta ton.
Belum lagi arahan Presiden agar Bulog menggelar operasi pasar di lima kota besar sebanyak 300 ribu ton, lantaran kenaikan harga. Jika dijumlah, total kebutuhan beras yang harus disalurkan Bulog mencapai 2,3 juta ton. "Plus Bulog harus bisa menjamin cadangan dua bulan, Maret-April. Jadi, kalau persepsinya lima-enam bulan ke depan, seharusnya Bulog punya prospek 3 juta ton. Maka saya tidak heran kalau Wakil Presiden memutuskan impor 1,5 juta ton," ucapnya.
Pernyataan Bayu didukung oleh Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia Sutarto Alimoeso. Direktur Utama Bulog periode 2009-2014 ini percaya stok beras bakal cukup hingga akhir tahun. Tapi, kata dia, pemerintah tak boleh berpikir hanya sampai Desember. "Justru krusialnya itu bulan Januari, Februari, dan Maret."
Pemerintah semestinya sudah menghitung berapa besar luas tanam pada September-Oktober yang bisa dipanen Januari-Februari nanti. Bukan hanya itu, lamanya kemarau pun harus diperhatikan. Menurut pengalaman Sutarto, musim hujan biasanya baru dimulai pada November. Berarti waktu tanam bakal mundur. Rumusnya, molornya masa tanam membuat paceklik lebih panjang.
Bagaimanapun, Menteri Amran Sulaiman yakin betul rencana produksi beras tahun ini tak bakal meleset. Toh, Angka Ramalan I Badan Pusat Statistik memprediksi produksi sampai 75,55 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 47 juta ton beras. Perkiraan ini melampaui produksi beras Angka Tetap BPS tahun lalu, yang mencatat produksi 70,85 juta ton gabah kering giling setara dengan 45,2 juta ton beras. Masalahnya, angka tersebut belum mempertimbangkan ancaman El Nino, yang mungkin menerpa hingga November.
Soal angka ramalan produksi tersebut, Wakil Presiden pun sudah mewanti-wanti. Seusai rapat tertutup dengan pejabat Kementerian Pertanian di kantor Ragunan, Rabu tiga pekan lalu, Kalla meminta Badan Pusat Statistik mengoreksi data mereka. "Angka itu terlalu tinggi sehingga berbahaya untuk landasan perhitungan yang akan datang." Intinya, Kalla menganggap pintu impor tetap harus dibuka.
Ayu Prima Sandi, Sujatmiko (Tuban), Hisyam Lutfhiana (Karawang), Ivansyah (Indramayu), Dinda Leo Listy (Klaten)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo