Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Setelah Hyun Nahm Naik Ojek Sampai ke Kawah Ijen

Perupa Korea, Hyun Nahm, merefleksikan Indonesia lewat tambang belerang berisiko hingga menyinggung ekonomi serabutan masyarakat.

 

1 Desember 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perupa Korea Selatan merekam Indonesia lewat kawah gunung api. 

  • Keruwetan ojek daring di kota-kota besar menjadi sumber inspirasi Hyun Nahm. 

  • Mengkritik pilunya ekonomi serabutan Indonesia lewat karya seni.

BERCAK kuning muda tercecer di salah satu sudut lantai ruang pamer ROH Projects, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad, 24 November 2024. Sekilas bercak berukuran sekitar 1 x 2 meter itu mirip cat dinding yang tumpah di lantai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pecahan helm berserak di atas kubangan cat kuning itu. Serpihan helm tersebut terdiri atas beragam ukuran. Ada yang sebesar kepingan koin, ada pula yang berbentuk setengah bagian helm. Uniknya, tertulis salah satu nama perusahaan ojek daring di kepingan helm itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warna kuning berasal dari belerang yang dicairkan. Adapun pecahan helm terbuat dari pipa polivinil klorida, yang kerap disebut PVC.

Instalasi seni berjudul The Mine (2024) itu karya Hyun Nahm, perupa asal Korea Selatan. The Mine hanya satu dari 12 karya Hyun Nahm dalam pameran bertajuk "Kawah Ojol" itu. Karya-karya tersebut hasil residensinya di Indonesia sejak Oktober 2023 hingga Februari 2024.

Karya seni rupa instalasi berjudul Puppeteer (Archipelago) dalam pameran tunggal Hyun Nahm bertajuk Kawah Ojol di Galeri ROH, Jakarta, 23 November 2024. Antara/Aprillio Akbar

Ada pula karya berjudul Puppeteer (Archipelago). Sekilas karya ini mirip seonggok tanah yang membentuk pulau. Seperti maket sebuah pulau kecil. Namun, jika dilihat lebih cermat, maket itu mirip sepeda motor yang dirobohkan ke samping.

Bagian sepeda motor seperti ban, blok mesin, knalpot, dan piringan rem cakram roda depan tampak jelas. Namun pada bagian lain terdapat rongga-rongga yang agak mengganggu. Pengunjung yang memiliki tripofobia mungkin akan merasa tidak nyaman, bahkan tak betah melihat lubang-lubang pada karya ini.

Pada lubang-lubang sebesar koin itu pula tersemat senar-senar hitam yang dikaitkan ke atap ruang pameran membentuk sudut diagonal. Di ujung senar terdapat puluhan kubus transparan berisi aneka benda kecil berbentuk seperti bebatuan. Puppeteer dibuat Hyun dari bahan campuran resin epoksi, resin poliuretana, dan belerang.

Ya, belerang berwarna kuning itu menjadi tema kuat pameran "Kawah Ojol". Hyun menggunakan belerang untuk sejumlah karyanya. Termasuk Faults yang berbentuk kepala tokoh utama animasi Pokémon, Pikachu, berukuran besar.

Kepala Pikachu yang menggemaskan tergeletak ke samping. Karya tersebut dibuat Hyun dari bahan campuran serat kaca, resin epoksi, dan talk, juga belerang yang membuat kepala Pikachu berkelir kuning muda. Bedanya, terdapat beberapa bercak hitam mirip jamur yang membuat kepala itu seperti benda bekas dan sudah tak terawat.

Hyun Nahm mengakui belerang menjadi salah satu motif utama dalam pamerannya kali ini. Dia menemukan belerang ketika menjelajahi beberapa lokasi di Indonesia. Gunung api dan kawah menjadi destinasi pencarian ide pameran.

Setidaknya pria lulusan seni lukis Hongik University dan magister seni rupa Seoul National University of Science and Technology itu menyambangi kawah Gunung Tangkuban Parahu di Jawa Barat, Gunung Merapi di Jawa Tengah, dan Kawah Ijen di Jawa Timur.

Karya berjudul The Mine dalam pameran tunggal Hyun Nahm bertajuk Kawah Ojol di ROH Project, Jakarta, 24 November 2024. Tempo/Indra Wijaya

Berangkat dengan rasa penasaran dan tak tahu-menahu tentang Indonesia, Hyun mulai meraba Nusantara lewat hal paling dasar, yakni gunung api. Maklum, Indonesia memang dikenal sebagai bagian dari Cincin Api Pasifik dengan banyaknya gunung api.

Di Kawah Ijen, Hyun terkaget-kaget melihat aktivitas penambangan belerang yang masih sangat tradisional. Di sana, ia melihat sejumlah pria beragam usia bekerja naik-turun gunung sembari memikul puluhan kilogram belerang. Hyun mendapat informasi bahwa para pekerja itu dibayar berdasarkan berat belerang yang mereka bawa. Parahnya, para pekerja mengais rezeki tanpa peralatan keselamatan dan asuransi.

"Ancaman serius terhadap mata pencarian jika mereka menderita cedera atau masalah kesehatan akibat gas beracun yang dikeluarkan tambang belerang atau dari medan yang terjal," kata Hyun dalam sebuah wawancara dengan kurator pameran, Mira Asriningtyas.

Menurut Hyun, kisah tragis para pekerja tambang belerang tak asing lagi di dunia modern. Dalam benaknya tebersit pertanyaan, apa bedanya pekerja tambang belerang dengan pekerja kantoran saat ini yang dipekerjakan dengan sistem kontrak? Toh, upah dan perlindungan yang didapatkan para pekerja kontrak jauh dari adil.

Kembali ke soal belerang, Hyun terkesima pada unsur kimia berlambang huruf S itu. Menurut dia, belerang alias sulfur punya kerapuhan ekstrem yang membuatnya tidak cocok dipahat. Jangankan dipahat, belerang bisa hancur ketika terkena benturan sedikit saja.

Selain itu, sifat belerang yang unik, seperti dapat mengeluarkan asap beracun saat meleleh dan terbakar secara tiba-tiba, membuatnya sulit diubah menjadi karya seni. Kerapuhannya yang ekstrem menjadi kelemahan utama jika digunakan dalam penciptaan karya seni karena dapat pecah berkeping-keping bahkan dengan pengecoran yang tebal atau, dalam beberapa kasus, retak secara spontan saat dibiarkan begitu saja.

Namun justru sifat yang amat rapuh itu yang membuat Hyun merasa belerang bisa menjadi bahan yang ideal ia pakai dalam karya seninya yang menggambarkan kerapuhan ekonomi pekerja serabutan.

"Membuat helm dari belerang, sebuah obyek yang dimaksudkan untuk melindungi, menciptakan komentar ironis tentang kerentanan tenaga kerja sementara," tutur Hyun.

Selain mendapati fakta tentang belerang, dalam perjalanan residensinya sekitar lima bulan, ia menangkap temuan unik yang tak ada di negaranya, yakni pekerja ojek daring. Hyun mengaku terkejut atas kekacauan jalanan di kota-kota besar di Indonesia. Menurut dia, pengemudi ojek daring menjadi salah satu musabab semrawutnya lalu lintas di jalan.

Dari mengemudi di jalur yang salah, melintasi garis tengah jalan, sampai menyerobot jalur pejalan kaki menjadi contoh betapa kacaunya para pengemudi ojek daring. Lucunya, Hyun menambahkan, hampir separuh pengguna jalanan memakai helm hijau khas ojek daring.

Hyun melihat kekacauan tersebut seperti ketidakstabilan tektonis khas patahan aktif bumi Indonesia. Dia memandang para pengemudi ojek daring ibarat tanah negeri ini yang gampang bergerak dan menimbulkan gempa serta bencana lain. "Ini juga menyoroti bahwa jalan di sini berfungsi sebagai tempat kerja bagi banyak orang."

Bagi dia, pengemudi ojek daring tak berbeda dengan penambang belerang di Kawah Ijen. Mereka sama-sama bekerja di ranah yang rentan. "Menjelajahi lanskap yang tidak stabil untuk mempertahankan mata pencarian mereka dalam kondisi yang rentan."

Hyun juga menyuguhkan karya unik berjudul Adhan yang terdiri atas 24 bingkai foto berukuran 48 x 26 sentimeter. Setiap bingkai berisi satu lembar cetakan foto berukuran kecil, sekitar 4 x 8 sentimeter. Pada setiap foto terpampang gambar menara masjid yang bersanding dengan menara telekomunikasi (BTS).

Menara telekomunikasi menarik minat Hyun setelah adanya kabar heboh pembakaran puluhan tower BTS 5G di berbagai kota di Inggris pada 2020. Kala itu masyarakat Inggris termakan hoaks yang menyebut sinyal 5G mampu menyebarkan Covid-19.

Adapun di Korea Selatan, Hyun melanjutkan, pihak berwenang pernah menggunakan data dari BTS untuk memantau individu selama pemogokan buruh dan pelacakan kontak Covid-19. "Sifat menara BTS yang bermata dua, yang menyediakan akses dan pengawasan, membuat saya tertarik," ujarnya.

Pada 2021, Hyun membuat serial karya serupa di Korea Selatan. Saat itu ia mengeksplorasi menara gereja dan menara telekomunikasi yang menggambarkan kehidupan harmonis antara simbol vertikal kekuasaan dan komunitas. Sejak saat itu, ketika bepergian ke kota atau negara baru, ia selalu berusaha memindai bangunan-bangunan tinggi, khususnya menara BTS.

Karya berjudul Puppeteer (Archipelago) dalam pameran tunggal Hyun Nahm bertajuk Kawah Ojol, di ROH Project, Jakarta, 24 November 2024. Tempo/Indra Wijaya

Terakhir, karyanya berupa instalasi seni berjudul Chain Link Strategy yang megah sekaligus mengerikan. Betapa tidak, satu unit rangka mobil minibus kecil bobrok berkelir merah terpotong menjadi tiga bagian. Bagian moncong hingga setengah badannya dibiarkan berserak di sebuah lorong. Adapun dua potongan bodi mobil dibuat menggantung dengan rantai baja.

Hyun menjelaskan, ketegangan menjadi esensi karya tersebut. Instalasi seni itu awalnya dibuat untuk Busan Biennale 2022. Saat itu instalasi menggunakan struktur gudang dermaga raksasa yang terbengkalai dan jangkar berkarat sepanjang lebih dari 3 meter. Yang kedua pada 2023 di Art Sonje Center di Seoul, yang ia pasang di ruang ventilasi yang dipenuhi saluran penyejuk udara dan pipa leding dalam keadaan kusut.

"Karya ini berinteraksi erat dengan ruang dan obyek eksternal, menciptakan makna baru, tergantung lingkungan tempat karya tersebut dipasang," kata Hyun.

Dalam pameran "Kawah Ojol", Hyun seperti ingin menunjukkan bahwa ketidakstabilan dan kerapuhan bukan hanya sebuah ancaman atau kekhawatiran. Dua hal itu juga bisa menjadi peluang menciptakan sesuatu yang bermakna seperti serentetan karyanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus