Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peringatan 300 tahun Immanuel Kant dalam sebuah simposium membedah pemikiran sang filsuf.
Dua filsuf membeberkan kekuatan dan keterbatasan pemikiran Kant, relevansinya dalam praktik bernegara kini, dan perspektif filsafat tradisional yang mengayakan Kant.
Pemikirannya masih dianggap relevan. Untuk upaya perdamaian dunia masih dibutuhkan terobosan hukum dan institusi yang lebih kuat melindungi perdamaian serta hak asasi manusia.
SENIN petang, 22 April 2024, auditorium Goethe-Institut di Jakarta penuh oleh tak kurang dari 200 hadirin simposium filsafat. Kebanyakan dari mereka adalah pencinta filsafat. Menariknya, tampak sebagian hadirin adalah anak-anak muda, bahkan berusia remaja. Dalam acara pembukaan simposium 300 tahun Immanuel Kant itu, mereka membincangkan pemikiran filsuf Jerman tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Simposium bertajuk “On Law, Politics, and Religion: Kantian Strengths, Limits, and Practices within Global & Indonesian Context” yang dihelat Goethe-Institut, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan Salihara di Jakarta ini adalah rangkaian acara perayaan 300 tahun kelahiran filsuf yang lahir di Königsberg (Kaliningrad) pada 22 April 1724 tersebut. Ia wafat di kota itu pula pada 12 Februari 1804.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matthias Lutz-Bachmann hadir secara daring, membahas konsep tatanan politik yang rasional dari Kant yang didasarkan pada klaim universalitas dan kesahihan yang tidak bersyarat. Lutz-Bachmann selama ini berfokus pada filsafat politik dan etika, filsafat agama, serta teori kritis. Ia pernah menjadi dekan di departemen filsafat dan sejarah Universität Frankfurt, Wakil Rektor Johann Wolfgang Goethe-Universität Frankfurt, serta anggota terpilih Dewan Peninjau Filsafat pada Yayasan Penelitian Jerman (DFG).
Pembicara lain adalah Franz Magnis-Suseno, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, yang mengelaborasi konsep dan prinsip Kant beserta aplikasinya dalam situasi politik Indonesia saat ini. Ia adalah doktor lulusan Universität München dengan disertasi tentang Karl Marx. Ia mengajar di beberapa universitas di Jakarta dan Bandung serta menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di Jerman.
Lutz-Bachmann menjelaskan prinsip pemikiran Kant dalam perspektif tatanan politik global yang berfokus pada klaim universalitas dan kesahihan yang tak bersyarat. Ia menyinggung pemikiran Kant yang menyerukan penyatuan negara-negara dalam sebuah federasi. Gagasan Kant ini, menurut dia, berpengaruh kuat pada lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Lukisan Immanuel Kant bersama para sahabat, Christian Jakob Kraus, Johann Georg Hamann, Theodor Gottlieb von Hippel, dan Karl Gottfried Hagen, dilukis oleh Emil Doerstling, sekitar 1892-1893. Wikimedia
Lutz-Bachmann mengawali penjelasan tentang Immanuel Kant yang lahir di negara pada masa rezim politik yang masih kontroversial dan belum bertransformasi menjadi negara republik dengan tatanan hukum publik. Buah pikiran Kant, dia mengungkapkan, penting bagi para ilmuwan, pemikir yang menyiapkan diri dalam teori politik, hukum, dan filsafat untuk perbedaan sistem politik disputisme ke republikanisme, dari negara anarki ke keanggotaan negara secara damai dalam tatanan internasional. Hal ini, menurut dia, menjadi diskusi penting di Eropa dan negara-negara maju yang demokratis dalam 80 tahun terakhir. Topik utama dalam isu republikanisme adalah negara hukum antarnegara. Dalam kaitannya dengan ketegangan antarnegara, diperlukan suatu dalil pemikiran yang menghasilkan kesimpulan bahwa perang harus diatasi dengan keadaan damai. “Itu pesan Kant,” ujarnya.
Kemudian Lutz-Bachmann menerangkan kekuatan dan keterbatasan pemikiran Kant. Ia menyampaikan pemikiran Kant seperti yang termaktub Groundwork for the Metaphysics of Morals. Buku karya Kant yang ditulis pada 1783-1785 ini menjadi buku yang sangat berpengaruh dalam sejarah filsafat etika. Seperti banyak disebutkan di berbagai literatur, buku ini melahirkan ide esensial seperti kodrat motivasi moral, hubungan antara nalar dan perasaan, serta kodrat dorongan untuk bebas. Filosofi politik, menurut Lutz-Bachmann, berbasis pada martabat dan kebebasan. Kekerasan adalah bentuk pelanggaran terhadap martabat manusia dan hak untuk bebas.
Lutz-Bachmann mencontohkan, situasi kekerasan nyata dengan perangkat militer saat ini terjadi di Ukraina, Sudan, dan Palestina. Kant jauh di masa lalu sudah menawarkan institusi melalui hukum untuk menuju perdamaian. Selain menjelaskan pemikiran Kant pada 1785, Lutz-Bachmann menyinggung pemikiran filsuf itu tentang perdamaian abadi pada 1795.
Kant memprediksi perdamaian abadi dapat terwujud hanya bila ada ekspresi yang lebih kuat dari harapan kemajuan umat manusia dalam pemikiran modern. Enam pasal dirumuskan Kant untuk menghasilkan kondisi yang membuat federasi tersebut dapat dibentuk. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip tersebut adalah hal pertama yang harus dilakukan negara dalam memenuhi kewajibannya untuk meninggalkan keadaan alamiahnya.
Layar menampilkan Filsuf asal Jerman Profesor Matthias Lutz-Bachmann saat pembukaan Simposium 300 tahun Immanuel Kant di Goethe-Institut Indonesia, Jakarta, 22 April 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Menurut Lutz-Bachmann, merujuk pada filosofi Kant, saat ini kita membutuhkan sebuah lembaga internasional yang lebih kuat untuk bisa mencegah dan mengakhiri konflik, bertanggung jawab melindungi perdamaian, serta melindungi hak asasi dari aktivitas privat negara.
Akan halnya Franz Magnis-Suseno, romo ini membedah pemikiran Kant dalam perspektif lokal. Indonesia bisa memetik beberapa hal prinsip pemikiran Kant untuk tata kelola pemerintahan, demokrasi, serta implementasi perlindungan hak asasi. Yang menarik, dia membandingkan pemikiran Kant dengan filosofi Jawa. “Kita bisa belajar sesuatu dari Kant, dan filosofi Jawa bisa mengayakan apa yang disampaikan Kant,” tutur Romo Magnis kepada Tempo di kantornya, 23 Maret 2024. Filosofi Jawa, dia menambahkan, bahkan menjangkau lebih jauh ketimbang yang dipikirkan Kant.
Romo Magnis menjelaskan bahwa Kant menuntut semua manusia diperlakukan atau dipakai sebagai tujuan, bukan sarana atau alat. Ada penghormatan terhadap setiap individu dan haknya. Hal itu yang menurut dia merupakan hak asasi seperti disebutkan dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. “Setiap individu itu penting, tidak boleh dilanggar demi sebuah kepentingan atau keuntungan yang banyak, itu yang pertama dari Kant,” ucap Romo Magnis.
Profesor Filsafat STF Driyakara Franz Magnis Suseno dan Profesor Matthias Lutz-Bachmann yang hadir secara daring, dalam acara pembukaan Simposium 300 tahun Immanuel Kant di Goethe-Institut Indonesia, Jakarta, 22 April 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Pemikiran kedua adalah tentang perdamaian yang bukan hanya di level internasional, tapi juga dalam ketenteraman suatu negara. Romo Magnis mencontohkan, jika orang tidak mau menaati undang-undang atau peraturan, akan terjadi kekerasan. Untuk mencegahnya, diperlukan keyakinan semua orang, terutama mereka yang mempunyai kekuasaan, untuk bertindak dalam rangka hukum atau menegakkan hukum. Itulah sebabnya ada istilah negara hukum. Diharapkan pemerintah dan alat negara bisa bertindak dengan hukum dan bisa dicek di pengadilan. Kant mengatakan, jika hukum adil serta bijaksana dan penguasa bertindak menurut hukum, ketaatan terhadap hukum gampang dilakukan. Orang akan taat bukan hanya karena wajib, tapi juga lantaran hal itu masuk akal.
“Orang taat lalu lintas bukan karena takut polisi, tapi masuk akal agar tertib dan selamat. Hal itu cocok dengan Kant, menghasilkan perdamaian abadi,” ujar Romo Magnis, mencontohkan. Dengan menghormati hak asasi tiap orang dan berpegang pada negara hukum, bertindak dalam rangka hukum, masyarakat akan damai dan tenteram.
Romo Magnis pun mengungkapkan bahwa soal ini sesungguhnya ada dalam perspektif etika tradisional Jawa yang mengedepankan pentingnya menjaga keselarasan dan tidak mementingkan diri atau kelompok. Dalam etika Jawa, seseorang bisa memilih mundur ketimbang memecah belah. Tapi dia mengakui hal ini tidak sesederhana itu. Secara tradisional, kata dia, komunitas pun tidak boleh mengorbankan seseorang. Dalam etika Jawa, ada kesadaran setiap orang bisa merasa kerasan dalam komunitasnya karena ia merasa dihormati.
Romo Magnis juga menuturkan, dalam paham kekuasaan Jawa, banyak raja yang melegitimasi kekuasaan dengan bersandar pada klaim memiliki dukungan kekuatan dari alam, yang gaib, bukan dari rakyat. Tapi dalam pewayangan juga muncul para punakawan sebagai simbol rakyat yang sederhana, lucu, menghormati tapi tidak berlebihan. Masyarakat Jawa, menurut Romo Magnis, mengetahui para kesatria tidak akan berhasil jika tak ada punakawan. Jadi punakawan sesungguhnya, dia melanjutkan, memetaforakan kekuasaan sesungguhnya yang datang dari rakyat. “Raja berkuasa apabila rakyat damai, sejahtera, tenteram, dan kerasan. Kalau rakyat tidak kerasan, itu tanda rakyat kehilangan kekuasaannya. Jadi ada motivasi kuat untuk menjadi raja yang baik.”
Dari pemikiran Kant juga bisa diambil pelajaran bahwa hukum harus selalu dijalankan. Dalam masyarakat tradisional, segala sesuatu bisa diatur. Tapi dalam negara modern tidak bisa demikian. Kalau ternyata suatu undang-undang yang dipakai tidak kondusif lagi, aturan itu bisa diubah melalui dewan perwakilan rakyat. Tapi, selama aturan itu berlaku, harus dipegang juga jaminan jalannya dalam ranah hukum. Dalam paham Kant, itu termasuk imperatif kategoris, keharusan yang tak bisa ditawar-tawar, bahwa setiap orang harus diperlakukan sebagai tujuan, sebagai diri sendiri. Dalam tradisi Jawa, sering kali kelompok lebih dipentingkan, sementara hak asasi individu diabaikan.
Romo Magnis lalu menjelaskan bagaimana pemerintah Indonesia sering mengorbankan hak asasi individu atau sekelompok orang demi kepentingan yang lebih besar. Ia mencontohkan bagaimana orang kecil dan lemah seperti yang hidup di bantaran sungai atau di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, digusur dalam proyek normalisasi sungai atau proyek nasional.
Juga dulu ketika pada era Soeharto sebanyak 37 desa yang dihuni lebih dari 5.000 orang harus ditenggelamkan. “Kalau hanya memakai pendekatan filsafat utilitaristik, 10 ribu orang di bantaran sungai bagi 10 juta orang Jakarta tidak ada apa-apanya. Tapi itu kan tidak bisa,” ujarnya. Harus ada ganti rugi yang mantap bagi mereka untuk meneruskan kehidupan yang tentu biayanya lebih mahal. “Dari Kant bisa dipetik pelajaran: jangan tergoda mengorbankan yang kecil, orang lemah, dengan melanggar hak asasi manusia. Itu penguasa selalu terganggu.”
Profesor Filsafat STF Driyakara Franz Magnis Suseno di Goethe-Institut Indonesia, Jakarta, 22 April 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Menurut Romo Magnis, pemerintah negara totaliter tidak pernah mengakui hak asasi manusia karena itu mengganggu kekuasaan. Karena itu, ketika Indonesia memasukkan hak asasi manusia ke undang-undang dalam reformasi, hal tersebut menjadi sebuah kemajuan besar. Dari perspektif Kant, struktur hukum memerlukan undang-undang yang adil, tidak ada yang didiskriminasi. Penting pula adanya kesadaran akan hak asasi manusia. Bagi dia, hal ini tak dipandang sebagai individualisme. Penghormatan terhadap hak asasi adalah kebalikan dari individualisme. Hak asasi ada untuk melindungi mereka yang lemah.
Romo Magnis berkali-kali menegaskan bahwa dari Kant seharusnya kita bersetia kepada hak asasi yang diatur setelah reformasi dan masuk undang-undang. Masyarakat tidak boleh mundur menuntut pemerintah menjalankan fungsinya menjamin hak asasi dan martabat mereka yang lemah. Negara juga harus menjalankannya secara serius sebagai negara hukum, termasuk dalam kasus pemilihan umum lalu. Menurut dia, tepat jika ada keragu-raguan kasus pemilu dibawa ke Mahkamah Konstitusi dan diputuskan tidak ada hukum yang terlanggar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul " Kant dan Praktik Bernegara Kini"