Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tiga perupa Yogyakarta mengeksplorasi makna, posisi, dan karya seni dalam kosmologi masyarakat dalam pameran bertajuk
Tabon dalam bahasa Sanskerta berarti rumah atau kebun warisan tempat asal leluhur berpulang dan berkumpul.
MENAIKI tangga dari lantai dua ke lantai tiga gedung Jogja National Museum (JNM), pengunjung pameran seni rupa bertajuk “Tabon” disambut beberapa bendera hitam di kiri-kanan anak tangga. Bendera itu bergambar tumpukan ban bekas yang membara dengan nyala api merah. Atmosfer perlawanan atas kesewenang-wenangan rezim yang menjadi kekhasan karya perupa Bali, Alit Ambara, ada di depan mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benar saja. Memasuki ruang pamer yang luas, berpasang mata dihadapkan pada hampir 300 poster yang menggambarkan wajah-wajah yang diduga punya andil dalam karut-marut rezim-rezim yang berkuasa sedari masa Gerakan Satu Oktober atau Gestok 1965 hingga Pemilihan Umum 2024. Meski sosok-sosok dalam poster itu tanpa nama, hampir setiap orang bisa menebak mereka karena disertai sejumlah simbol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada gambar wajah berkumis segi empat bertulisan “New Face – Old Fascist” di atas dan bawahnya dengan corengan tulisan merah “No” di tengah wajah. Adapun poster di sebaliknya bergambar sosok berambut ikal belah pinggir. “Zoomers – Thank you for Seeping The Alive”, begitu bunyi tulisannya.
Di ruangan lain yang remang-remang, sosok berambut ikal belah pinggir itu muncul dengan kemeja putih yang tersemat mawar merah yang mengalirkan darah. Wajahnya yang merah dicoreng tulisan hitam “Not my president”. Sementara itu, gambar dinding di sebelahnya berupa kerumunan serigala hitam lapar yang meneteskan air liur.
Di tengah ruangan, Alit menyusun instalasi berupa tumpukan ban bekas mobil. Di tengah lubang ban dipasang lampu merah dan putih yang meliuk-liuk untuk memberi efek menyala seperti api. Juga ada poster sosok familier bermahkota raja dan berwajah badut. Lembaran panjang penuh tulisan keluar dari mulutnya yang membuat kian panjang hidung merah Pinokio-nya. Pada gambar lain, sosok berhidung Pinokio ini tengah marah. Tangannya memegang gergaji mesin yang membuat kursi-kursi singgasana patah dan rusak. Sedangkan istana negara di belakangnya terbakar. Ada tulisan “Alerta” pada poster itu.
Ada pula poster satire berwarna merah, hitam, dan putih. Sosok ninja berkepala tampak seperti emoji tinja. Ada dua gagang pedang menyembul di balik punggungnya. “Politik adalah jalan tinja kita”, begitu bunyi poster itu. Terdapat juga sosok Soeharto yang berseragam militer tengah mengacungkan celurit di belakang punggung Sukarno yang membelakanginya. “Brute” bunyi tulisan di atasnya. Sosok-sosok korban kesewenang-wenangan rezim pun dimunculkan Alit. Ada Wiji Thukul, Marsinah, Munir, hingga petani Kendeng. Tak ketinggalan isu Palestina dan Papua.
Karya Faisal Kamandobat dalam pameran bertajuk Tabon, di Gedung Jogja Nasional Museum, Yogyakarta, 24 April 2024. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Ukuran poster-poster itu beragam. Ada yang besar dan ditempel pada dinding secara berjejer. Kebanyakan berukuran 95 x 120 sentimeter yang ditempel pada dinding ataupun kotak-kotak prisma segitiga yang disangga kaki-kaki maneken. Juga ada poster-poster yang digambar pada bekas karung terigu dan digantung pada dinding atau dipajang pada gerobak seperti deretan bantal.
“Di sini poster-poster yang ditampilkan secara instalatif oleh Pak Alit menarik,” ucap seniman lain, Faisal Kamandobat, saat ditemui Tempo di JNM, Rabu, 24 April 2024. Sebab, biasanya Alit menampilkan karyanya lewat akun media sosialnya.
Turun ke lantai dua, bau dupa menyesak hingga ke perut. Senada dengan ruang pamer yang menjadi tempat Faisal memajang karya bertema spiritualitas dan tradisi. Kisah-kisah itu dibagi dalam tiga tema besar, tentang ziarah, sosial, dan politik. Misalnya kisah tentang orang desa yang menghadapi perubahan.
Tema ilmuwan muslim yang mengembangkan keilmuannya juga disajikan. Salah satunya lewat karya Ngaji Ilmu Bumi, tentang Sunan Kalijaga yang mengajari seekor naga Jawa menjadi penjaga dunia tanah dan air, tentang ilmu pranata mangsa atau musim bertani. Ilmu itu ditulis dalam kitab etnosains Jawa, yakni Primbon Betaljemur Adammakna.
Dalam karyanya, Faisal melukiskan seekor naga hijau besar yang bermahkota dan bersayap tampak takzim. Ia mendengarkan Sunan Kalijaga yang duduk bersila membaca kitab di depannya. Juga tema keseharian masyarakat, seperti ngaji sore. Aktivitas yang tak sekadar bertujuan memperdalam ilmu agama, tapi juga memahami budi pekerti luhur. Karya-karya Faisal ditorehkan di atas kanvas dalam bentuk manuskrip. Dia menulis naskah dengan huruf Arab berbahasa Jawa (pegon), keahlian yang ia latih sedari remaja di sebuah pesantren di Kediri, Jawa Timur.
“Dulu biasa disuruh menyalin kitab induk dengan tinta cina, terus diberi makna,” Faisal mengenang. Sementara itu, lukisan-lukisannya menjadi ilustrasi. Uniknya pula, lembaran-lembaran kanvas diberinya warna cokelat lusuh. Menyerupai lembaran kitab kuning yang biasa ia pelajari dulu saat berada di pesantren. “Karena kertas itu murah, mudah digunakan, dan lebar,” kata Faisal.
Lantaran itu pula ia membuat karya manuskrip yang panjangnya hingga 10 meter. Naskah itu mengisahkan aneka tanaman rempah-rempah di Indonesia yang dibumbui lukisan tanaman rempah itu sendiri. Untuk melengkapi naskahnya, Faisal, yang berlatar antropolog, membaca beragam buku riset. Kemudian ia memverifikasinya di lapangan melalui masyarakat di lokasi rempah-rempah itu. Ia juga meminta pendapat para ahli di kampus.
“Itu tiga-empat pekan baru selesai. Kalau naskah manuskrip yang kecil hanya tiga-empat hari,” ujar Faisal, yang membuat karya itu pada 2024.
Meskipun menggunakan huruf pegon, karya-karyanya diyakini Faisal tak sulit dipahami para pengunjung. Sebab, ia menyertakan caption karya setidaknya satu paragraf. Total ia membuat 37 karya manuskrip dan dua video untuk pameran itu yang dipersiapkan sejak empat bulan lalu.
“Tapi, kalau mau mendalami maknanya, ya harus mempelajari,” tutur Faisal, yang siang itu diminta sejumlah anak muda menjelaskan karya-karyanya.
Menapak di lantai dasar, pengunjung disambut komik-komik pewayangan karya Samuel Indratma. Seniman yang dijuluki “Bapak Presiden Mural Indonesia” itu memenuhi dinding ruang pamer dengan karya wayang.
Sejumlah wayang hitam juga digantung di langit-langit salah satu lorong ruang pamer. Di lorong lain, Samuel menggantung wayang-wayang yang dilukis pada kain putih dengan cat hitam. Ia menggantungnya dengan bambu seperti umbul-umbul. Ia juga menampilkan karya video berupa film animasi dari komik wayangnya tentang lingkungan.
Ada kisah sungai-sungai di Jawa yang kotor karena menjadi tempat sampah. Sampah-sampah itu bisa berupa kotoran dari pikiran manusia, mulut, pengetahuan, kota, desa, peradaban, dan angkasa.
Intalasi video karya seniman mural Samuel Indratma pameran bertajuk Tabon" di JNM, Yogyakarta, 24 April 2024. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Semua dibuang ke sungai hingga sungai tak berdaya dan meluap. Manusia pun menuai bencana. Tema “Tabon” dalam pemeran yang berlangsung pada 22 April-5 Mei 2024 itu diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti rumah atau kebun warisan tempat asal leluhur berpulang dan berkumpul.
Namun, dalam bidang seni, tabon adalah konsep untuk mengetahui posisi dan makna seni dalam kosmologi masyarakat. Termasuk perkembangan seni yang mengalami gesekan sehingga lahirlah seni kontemporer yang menggunakan berbagai sumber, seperti tradisi, spiritualitas, serta sains dan teknologi untuk merespons berbagai problem yang dihadapi, baik lingkungan, ekonomi, mental, spiritual, maupun sosial.
“Konsekuensinya, seni menjadi ruang yang sangat plural, longgar, dinamis. Kosmologi yang berbeda saling berdialog satu sama lain, dalam lingkup lokal, regional, global,” tulis Samuel.
Baik Faisal, Alit, maupun Samuel telah merespons seni dengan kekhasan masing-masing, baik dengan lukisan, instalasi, maupun video. Alit dengan poster bertema perlawanan publik atas kesewenang-wenangan negara. Samuel dengan seni mural yang merespons isu-isu sosial dan lingkungan. “Sedangkan tabon saya adalah tradisi dan spiritualitas,” kata Faisal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dialog Samuel, Alit, dan Faisal"