Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Pertanyaan Fundamental untuk Immanuel Kant

Pemikiran filsuf Immanuel Kant tentang eksistensi Tuhan hingga perbedaan legalitas dan moralitas. Apa hubungan moral dan Allah?

28 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Djunaedi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMMANUEL Kant adalah filsuf paling berpengaruh dalam filsafat modern. Pemikiran tokoh dari Jerman ini pada hakikatnya hendak menjawab tiga pertanyaan fundamental manusia: Apa yang bisa kuketahui? Apa yang wajib kulakukan? Apa yang boleh kuharapkan? Pertanyaan pertama mengacu pada diskursus mengenai pengetahuan tentang realitas yang bisa dipahami oleh rasio murni. Pertanyaan kedua menyangkut bidang moral dan filsafat hukum dalam terang rasio praktis. Pertanyaan ketiga mengenai apa yang belum terjadi, membuka dimensi masa depan dan makna atas kehidupan manusia dan dunianya, juga tentang eksistensi Tuhan, sejauh ia dipercaya sebagai arah kepenuhan makna hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa yang bisa kuketahui?

Pertanyaan ini masuk bidang filsafat pengetahuan. Latar belakangnya, ada dua mazhab filosofis yang beradu pada masa Kant, yakni Rasionalisme dan Empirisme. Rasionalisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi (rasio) saja; pengalaman hanya meneguhkan apa yang telah ada pada rasio. Model penalaran gaya begini adalah matematika. Persamaan matematik E = mc2, misalnya, adalah benar, tanpa sedikit pun memerlukan acuan pada pengalaman indrawi. Adapun Empirisme berpendapat sebaliknya: sumber pengetahuan adalah pengalaman indrawi. Maka hanya yang bisa diindra saja yang pantas dijadikan dasar pengetahuan. Rasio cuma mengutak-atik, menyusun dan menggabung-gabungkan pengalaman itu menjadi pengetahuan.

Kant mendamaikan keduanya dengan menyatakan bahwa baik rasio maupun pengalaman sama-sama diperlukan untuk pembentukan pengetahuan. Keduanya bekerja spontan dan serentak menggarap semua “data” yang masuk secara bertahap, bermula dari pengindraan (sinne), lalu akal budi (verstand), yang pada Kant merupakan kemampuan diskursif manusia dan akhirnya pada intelek (vernunft). Kalau pengetahuan terjadi pada bidang akal budi, intelek tidak membentuk pengetahuan, melainkan menata semua pengetahuan kita dalam tingkat yang menyeluruh dan paripurna. Untuk itu, ia dibantu oleh konsep atau Ide Tuhan. Ide dimaksudkan sebagai semacam indikasi kabur yang tidak bisa ditunjuk dengan jari, tapi keberadaannya harus diterima jika keparipurnaan pengetahuan hendak tercapai. Bandingkanlah dengan kata Timur sebagai petunjuk untuk mata angin; “Timur” an sich tentu tidak bisa diindra. Meski begitu, keberadaan “Timur” harus diterima jika kita tidak mau mengalami kekacauan arah mata angin. Begitulah eksistensi Allah dipandang Kant bukan sebagai obyek pancaindra yang bisa ditangkap oleh akal budi, melainkan bisa diterima oleh tingkat di atasnya sebagai ide regulatif.   

 Apa yang wajib kulakukan?    

Etika adalah filsafat tentang moral dan penilaian baik-buruk atasnya secara diskursif. Etika tidak berbicara tentang apa yang nyatanya (sein), melainkan apa yang seharusnya (sollen). Jika, misalnya, statistik menunjukkan bahwa 90 persen pegawai negeri nyatanya melakukan korupsi, ini tidak berarti korupsi boleh dilakukan, melainkan mereka seharusnya jangan melakukan itu.   

Etika Kant membedakan legalitas dengan moralitas. Legalitas adalah semata-mata kesesuaian sebuah tindakan dengan norma lahiriah. Adapun moralitas adalah kesesuaian tindakan dengan hukum batin, yakni kesadaran saya akan kewajiban saya yang harus dipenuhi. Jelas, moralitas berkaitan dengan motif. Seorang pejabat bisa saja dengan biaya negara memberikan bantuan sosial kepada orang miskin sesuai dengan ketentuan (maka legal). Tapi, jika itu dilakukan bukan karena motif membantu masyarakat miskin, melainkan mendongkrak pamornya supaya dinilai “orang baik” atau agar pamrih rahasianya bisa didukung masyarakat lewat aksi tersebut, tindakannya tidak bernilai moral. Artinya, pemberian bantuan itu tidak menunjukkan apa pun tentang kualitas moralnya. Kesungguhan sikap moral terlihat dari kesadaran melakukan suatu tindakan demi kewajiban, bukan tergantung perasaan senang-tidak senang, menguntungkan atau merugikan, diterima atau ditolak oleh masyarakat. Dalam bahasa Kant, kewajiban moral sedemikian ini disebut imperatif kategoris.  

Ada tiga syarat yang perlu dipenuhi agar tindakan memiliki nilai moral dan boleh dilakukan. Pertama, prinsip tindakan saya—sebutan Kant: Maksim—harus bisa diuniversalisasikan, dijadikan hukum umum. Dalam bahasa sederhana, tindakanmu harus bisa diarahkan untuk kebaikan semua orang tanpa pengecualian atau tebang pilih. Kedua, kewajiban memberi respek pada nilai kemanusiaan baik menyangkut diri kita maupun orang lain (Kant memakai istilah “Person”), artinya: setiap pribadi manusia harus diperlakukan sebagai tujuan tindakan, tidak boleh sebagai sarana atau alat semata untuk mencapai tujuan itu. Ketiga, dorongan untuk melakukan tindakan itu berasal dari pertimbangan rasional kesadaran sendiri, bukan karena diperintahkan oleh orang lain atau motif lain di luar itu. Kant menyebut ini otonomi kehendak. 

Apa yang boleh kuharapkan?

Pertanyaan ketiga bersentuhan dengan masa depan umat manusia dalam komunitas politik yang adil dan menjamin perdamaian abadi. Di sini Kant mengusulkan pembagian kekuasaan dan adanya Parlemen, juga perlunya konstitusi, bahkan adanya Liga Bangsa-Bangsa agar terwujud perdamaian terjamin secara bersama dan pada gilirannya setiap orang di seluruh dunia dapat hidup dalam keadilan bersama (kosmopolitanisme). Pemikiran Kant ini revolusioner dan mendahului zamannya.

Dalam bingkai pertanyaan ini juga Kant membahas moral dalam hubungannya dengan Allah. Ada setidaknya dua penjelasan.

Pertama, Allah dan suara hati. Kesadaran moral dimulai dengan kewajiban yang mutlak sifatnya (imperatif kategoris). Kewajiban yang mengikat seperti ini hanya mungkin dibebankan kepada manusia oleh seorang pribadi lain yang juga bersifat mutlak. Pribadi itu tentunya bukan manusia seperti kita, lantaran kita adalah makhluk terbatas. Maka kesadaran moral dalam suara hati mengandaikan ada-nya seorang pribadi yang perintahnya wajib kita taati. Nah, pribadi itu adalah Allah. 

Kedua, Allah dan muara moralitas. Bagi Kant, kesadaran moral mewajibkan kita untuk mengikhtiarkan kebaikan tertinggi yang juga memberikan—tanpa kita sengaja mengejarnya—kebahagiaan sempurna (bukan kebahagiaan dalam arti empiris, yakni kesenangan, kesehatan, kekayaan, atau kuasa—semua ini ditolak Kant sebagai dasar imperatif kategoris). Namun kebaikan tertinggi dan kebahagiaan akhir itu, menurut Kant, tidak pernah terealisasi sepenuhnya di dunia ini karena adanya kejahatan.

Kalau memang demikian, sekarang ada masalah: apakah perbuatan moral manusia di dunia ini akan sia-sia saja, karena toh cita-cita atau tujuan moralitas tersebut tak mungkin tercapai, padahal justru itu yang wajib kita kejar? Jawaban Kant: agar kebaikan moral manusia dengan kebahagiaan sempurna itu berhubungan, kita harus menerima adanya Tuhan yang akan memberi kita kebahagiaan tersebut nantinya di kehidupan mendatang. Kalau Tuhan disangkal eksistensinya, moralitas akan absurd, sebab “nasib” orang yang hidupnya baik secara moral akan sama saja dengan “nasib” orang jahat. Artinya, jika tidak ada Tuhan yang akan memberikan ganjaran dan hukuman sesuai dengan perbuatan kita, Adolf Hitler dan Bunda Teresa bernasib sama. Keduanya berakhir dalam ketiadaan. Lantas buat apa orang masih mau susah-susah hidup baik? Demikianlah dari sudut pandang Kant, Tuhan merupakan Penjamin tidak absurdnya moralitas, dan sebagai itu Ia merupakan pemberi makna terakhir bagi hidup kita.           

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Simon P. Lili Tjahjadi adalah Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Tiga Pertanyaan Fundamental, Sketsa Filsafat Kant".

Simon  P. Lili Tjahjadi

Simon P. Lili Tjahjadi

Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,  Meraih  gelar doktor dari  Johann Wolfgang Goethe-Universität, Frankfurt

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus