Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari masih pagi benar tatkala suara gendang bertalu-talu, bersahutan dengan tabuhan simbal dari seantero penjuru Singkawang, sebuah kota madya di Provinsi Kalimantan Barat. Aroma hio dan dupa sayup-sayup tercium di mana-mana. Kota kecil yang padat oleh ruko tua dan biasanya senyap itu mendadak beralih rupa. Seluruh Singkawang berdandan meriah, penuh warna menyambut acara Cap Go Meh dirayakan pada 6 Februari lalu.
Pesta dengan ongkos hampir Rp 4 miliar ini mencapai puncaknya pada saat parade para tatung. Istilah tatung diberikan kepada dukun pemanggil roh. Warga setempat meyakini, mereka manusia pilihan dewa: roh-roh kayangan berkenan bersemayam di dalam diri mereka lengkap dengan sejumlah kekuatan khusus, termasuk kekebalan tubuh.
Maka warga kota berdesakan di jalan raya untuk menyaksikan dari dekat sekitar 700 "wakil dewa" itu berarak ke Gelanggang Olahraga Kridasana Singkawang. Hari itu, 6 Februari, tepat 15 hari sesudah Imlek. Para tatung turun ke jalan guna membersihkan kota dari roh jahat. "Puncak Cap Go Meh adalah atraksi tatung. Di tempat lain di Indonesia dan dunia tidak ada," ujar Bon Cin Nen, 45 tahun, sekretaris panitia Cap Go Meh Singkawang.
Pasukan tatung berpakaian sebagai dewa, jenderal, atau panglima perang Cina. Warna kostumnya ada yang hitam, kuning, merah, atau hijau. Pelindung tubuh dan pedang yang mereka bawa berkilau-kilau oleh sepuhan emas dan perak. Mereka mengusung bendera segitiga yang memuat nama-nama tatung. Sebagian memikul tandu sembari menyipratkan air penolak bala. Ribuan orang memadati ruas jalan kota yang 62 persen penduduknya beretnis Cina itu. Telepon seluler, kamera, atau handycam sudah siap di tangan. Para remaja tanggung heboh mendesak berfoto bersama tatung.
Siapakah mereka sebenarnya? Tatung dipercaya sebagai manusia pilihan dewa. "Mereka membantu manusia mencapai kedamaian, menjaga agar tidak diganggu makhluk lain, juga memberi pengobatan," ujar Wijaya Kurniawan, seorang ahli budaya Singkawang. Agar bisa membantu orang, mereka harus membiarkan badannya dirasuki roh.
Ketika Tempo menyaksikan prosesi itu, banyak dari mereka terlihat sudah mulai kerasukan. Jarum-jarum besi panjang, hingga 50 sentimeter, menembus pipi dan bibir mereka tanpa darah setetes pun. "Mereka harus menjadi vegetarian tiga hari agar menjadi bersih dan kuat untuk ditusuk," ujar Chin Miauw Fuk, salah satu pemuka masyarakat di kota itu.
Sekitar pukul 09.00, rombongan mereka bergerak ke luar GOR Kridasana, lalu berpawai keliling kota sampai berakhir di Jalan Niaga. Di sini mereka berhenti untuk memberkati altar besar yang penuh barang persembahan. Sebagian tatung duduk santai di atas tandu beralaskan jejeran pedang tajam atau ratusan paku. Di tengah-tengah pawai, mereka memamerkan atraksi maut. Misalnya menekan perut dan kaki dengan parang atau memakan pecahan kaca dari lampu neon.
Beberapa orang bahkan menggorok leher atau mengiris lidah dengan pisau atau mandau, senjata khas suku Dayak. Ada pula yang bertingkah lucu, meminum air dengan dot, sembari mulutnya komat-kamit. Bahkan ada yang sengaja membakar puluhan petasan yang dililitkan di tubuh. Nah, aksi ini membikin aparat keamanan lintang-pukang karena panik.
Sebagian besar penonton adalah warga asli Singkawang yang telah sukses di rantau dan khusus pulang kampung untuk acara ini. "Tiap tahun saya pasti pulang. Kami meminta doa selamat dan rezeki ke wihara seorang tatung di atas bukit. Hasilnya terbukti (jitu),"kata Wendy Wahyudi, seorang pedagang arloji dari Batam. Bahkan ada yang datang dari luar negeri. J.P. Tseng, seorang turis berambut seputih asap dari Taiwan, berkomentar begini: "Acara sebagus ini tidak ada di negara kami."
Seusai pawai, pengunjung memburu persembahan yang telah diberkati. Mulai babi, jeruk bali (thai kit), pisang, minuman keras, patung dewa dan naga, hingga motor. "Kami percaya, membawa pulang barang ini akan memberi kami keberuntungan," ujar Ahin, salah satu penduduk Singkawang. Daging puluhan babi dibagikan gratis. Ada juga barang yang dilelang. "Sepasang jeruk bali yang harganya Rp 75 ribu di pasar terjual hingga Rp 26 juta di sini," ujar Bon Cin Nen.
Kehadiran tatung di Singkawang bisa ditelusuri dari pertengahan abad ke-19. Ketika itu terjadi gelombang migrasi suku Tionghoa Hakka dari Yunan dan Hopo, Cina Selatan, ke Pulau Kalimantan. Mereka diundang Kesultanan Sambas untuk menjadi penambang emas. Sebagian dipekerjakan di Monterado, 39 kilometer dari Singkawang. Tidak ada tenaga medis pada masa itu. Maka penambang mengandalkan tatung sebagai tabib. Ada yang dibawa dari negeri leluhur, ada yang kerasukan roh ketika di perkampungan.
Di Monterado pula perayaan Cap Go Meh bermula, lebih dari 200 tahun lalu. Thaong Fuk Long, 75 tahun, salah satu dari kaum tua-tua Tionghoa Singkawang, menyatakan pada masa itu ada lima panglima besar yang memberontak terhadap kaisar dan melarikan diri ke Kalimantan Barat. Salah satunya Jenderal Ng Kang Sen—yang kabur ke Monterado. Ketika tiba, ia menemukan banyak penambang emas kerasukan roh jahat. Dengan keahlian ilmu gaibnya, dia mencoba menyembuhkan mereka.
Setelah berhasil, Ng Kang Seng mengatakan setiap tahun harus ada pembersihan wilayah untuk mengusir roh jahat. Agar manusia tidak kesurupan, ia mencari akal dengan menjadikan babi sebagai pengganti. "Bila disembelih, babi memekik-mekik. Roh jahat mendengar dan kemudian masuk ke dalamnya," ujar Thaong Fuk Long. Sesudah upacara, daging babi dibagikan dan dimakan, agar roh jahat tidak mengganggu manusia lagi.
Alhasil, ketika penambang Monterado mulai berpindah ke Singkawang menjadi pedagang, tradisi tolak bala tatung pun dibawa.
Lazimnya, kebanyakan tatung didatangi roh secara turun-temurun. Masyarakat Tionghoa penganut Konghucu, Tao, dan Buddha percaya, roh-roh ini berasal dari kayangan. Walau rata-rata masyarakat Singkawang berbahasa Hakka, roh yang merasuk berbahasa Mandarin. "Pada awalnya saya tidak mengerti," ujar A Kiong, 58 tahun, seorang tatung yang berdiam di Jalan Said Arun.
Si manusia tatung memanggil roh di dalam dirinya dengan sebutan sifu atau suhu. Satu orang bisa didiami oleh beberapa suhu sekaligus. Para suhu ini ada pangkatnya, seperti dewa, jenderal, panglima, tentara, sarjana, dan pangeran. Chi Jun On, seorang tatung dari Jalan Natuna, mengatakan kakeknya dulu dirasuki Che Thian Thai Sin, atau biasa dikenal sebagai Dewa Kera Sun Go Kong. Sejak itu, ia, ayahnya, dan puluhan saudaranya dirasuki suhu berpangkat lebih rendah, "Suhu ayah saya Tung Ngok Thung Cie, seorang panglima. Di dalam tubuh saya sendiri hidup Ng Fong Thai Cie, seorang pangeran," ujar pria berusia 41 tahun itu.
Bukan hanya dewa dan leluhur Cina yang menyambangi manusia. Bila sang suhu tak berbahasa Mandarin, mereka dianggap sebagai datuk. "Mereka adalah makhluk kepercayaan suku Dayak. Kami merayakan Cap Go Meh bersama," ujar A Tan, 43 tahun, pengurus Tung Sin Kiung, wihara milik kelompok tatung aliran Buddha. Ada sebagian orang beranggapan bahwa yang masuk ke tubuh para datuk adalah jin. Para datuk tak menampiknya. "Terkadang, ketika saya dan 30 murid saya selesai puasa, ada jin mampir ke tubuh," ujar Cong Bui Khiong, 32 tahun, pemimpin kelompok Datuk Kurata. Ia sendiri kerasukan roh kakek buyutnya ketika berusia 15 tahun.
Kelompok datuk ini biasanya tampil lebih "seram". Umpamanya, kostumnya dari kulit kayu berornamen tengkorak kepala monyet, gigi, tulang, dan cakar binatang. Beberapa aksi mereka dianggap sadistis, seperti menggigit anjing atau ayam hidup-hidup. Karena menimbulkan keresahan, beberapa tahun belakangan ini panitia Cap Go Meh melarangnya. "Saya akui menyeramkan dan sadis, tidak baik dilihat anak-anak. Sekarang saya melakukan ritual makan darah di rumah saja, sebelum ke jalan," ujar Cong Bui Khiong.
Terkadang beberapa suhu memutuskan tak masuk ke tubuh manusia. Mereka "hidup" di keranjang kayu berbalut pakaian. Mereka dikenal sebagai choi lam shin atau jelangkung. Jika ada yang butuh pengobatan, beberapa orang memegang keranjang yang sudah dilengkapi sebuah pen. Keranjang kemudian mengayun sendiri, menuliskan mantranya. "Suhu saya sudah berada di keranjang selama 50 tahun," ujar Ma Theng Hui, pengurus wihara choi lam shin di Jalan Kalimantan. Umat wihara ini 500-600 orang, rata-rata pengusaha sukses dari Jakarta dan daerah lain di Indonesia.
Tak ada yang tahu pasti kriteria orang yang terpilih menjadi tatung. "Itu rahasia suhu, tak boleh bocor," ujar A Tan. Mereka berasal dari semua strata, dari pengusaha sampai tukang kebun. Mereka pun belum tentu selamanya baik atau jujur, "Tapi saya yakin mereka punya kelebihan. Biasanya mereka memiliki hubungan batin yang tulus dengan suhunya," A Tan memberikan pendapatnya.
Manusia biasanya tak melakukan apa pun untuk mengundang suhu. Mereka hanya mendadak kerasukan. "Ketika sedang melihat seorang tatung gagal mengobati orang, tiba-tiba suhu saya datang dan langsung menyembuhkannya," ujar Bong-Chang Hian Bun, 70 tahun. Dia mengaku didatangi Dewa Bunbu Chong Kyun ketika berumur 22 tahun. Ada lagi tatung bernama Se Chiong, 54 tahun. Menurut dia, suhunya seorang dewa Tibet yang diturunkan dari kakeknya.
Satu hal, mereka tidak bisa menolak jika terpilih. "Pasti ada sanksi. Misalnya, seminggu terbaring di ranjang tanpa bisa bangkit," ujar A Tan. Ada sebagian kecil yang menjadi tatung karena belajar dan berlatih—bukan karena "anugerah". "Biasanya para datuk yang melakukannya," ujar A Fuk.
Belajar atau tidak, tatung selalu dicari. "Orang menemui tatung agar lebih percaya diri dalam berwirausaha. Mereka menaruh mantra dari tatung di atas pintu toko," ujar Bon Cin Nen.
Koh Aliat, warga Singkawang, mengaku kepada Tempo bahwa rumah tetangganya, seorang tatung bernama A Kiong, tak pernah sepi dari pengunjung. Ia sendiri pernah minta bantuan ketika anaknya yang berusia tujuh bulan kejang-kejang. "Ternyata di rumah saya ada roh jahat. Langsung dibersihkan," ujarnya. Tji Sun Kijah, seorang pengusaha konfeksi di Jakarta, mengaku minimal setahun dua kali ia kembali ke Singkawang mengunjungi seorang tatung.
Sekali percaya, "klien" tak segan menggelontorkan uang. "Dulu saya berjalan kaki ketika Cap Go Meh, kemudian teman-teman menyumbang sehingga bisa pakai tandu," ujar A Kiong. Harga tandu tidak murah. Tandu yang menggunakan paku pesanan khusus dan ukiran naga harganya bisa Rp 34 juta.
Pembangunan sin kiung, tempat tatung beribadah, umumnya juga dibantu donatur. Wihara Tung Sin Kiung di Jalan Natuna, misalnya, mendapat sumbangan Rp 100 juta lebih. Bun Su Chon, 52 tahun, seorang eksportir garmen dari Jakarta, tak pikir panjang saat menyumbang Rp 200 juta untuk membangun Sam Sin Kiung di Dusun Norio, dekat Singkawang. Ia juga memberikan Rp 300 juta untuk mengaspal jalan ke sana, menembus gunung. "Dari nol sampai sekarang sukses saya sembahyang di sini," ujarnya kepada Tempo dengan sungguh-sungguh.
Kebangkitan tatung juga sangat dipengaruhi oleh "keputusan politik". Sejak mantan presiden Abdurrahman Wahid membebaskan warga keturunan Cina merayakan Cap Go Meh dan Imlek, dunia "pertatungan" di Singkawang ikut subur dan berkembang. Mulai 2008, tatung boleh dikata sudah menjadi atraksi puncak Cap Go Meh di Singkawang. Padahal sebelumnya hidup tatung berat secara ekonomi. Mereka harus meminta sumbangan kian-kemari agar bisa tampil.
Dalam Cap Go Meh 2012 di Singkawang, dana santunan tatung mencapai Rp 1,65 miliar, hampir setengah dari bujet total acara, yakni Rp 3,6 miliar. "Dana tersebut untuk membayar belasan tukang pikul tandu dan berbagai keperluan pawai lain," ujar A Fuk. Aliran rupiah itu tidak otomatis masuk ke kocek tatung pribadi. Rata-rata mereka masih hidup pas-pasan. Banyak suhu menolak angpau, sehingga tatung tidak mendapat penghasilan dari pasien. Kalaupun menerima uang, biasanya mereka tabu menentukan jumlahnya. Banyak dari mereka akhirnya mengandalkan keluarganya untuk makan sehari-hari.
Se Chiong, misalnya, mengandalkan istrinya yang buka usaha salon. A Kiong dibantu anak-anaknya yang berwirausaha. Namun tak semuanya hidup susah. Beberapa tatung, seperti Chi Jun On, membuka praktek pengobatan alternatif di Jakarta. "Itu tergantung nasib," A Tan menyimpulkan.
Karena kehidupan yang berat dan melelahkan, rata-rata keluarga tatung tak mau anak mereka ikut-ikutan menjadi "manusia pilihan dewa". "Sudah cukuplah saya sendiri," ujar Se Chiong. Toh, mereka tak terlihat cemas-cemas amat dengan masa depannya. "Hidup dan makan kami cukup, jadi kami jalani hidup apa adanya," kata Bong-Chang Hian Bun pasrah. Rekan dia, Se Chiong, punya cara pandang lebih optimistis. Katanya, "Kalau kita suci dan sering berdoa, tak mungkin Tuhan menutup jalan kita."
Sadika Hamid, Harry Daya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo