Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di depan altar, Bong Sen menempelkan tiga batang hio besar yang membara ke telapak tangan kirinya. Lima phu (kertas mantra) berwarna merah darah ditumpuk di atas hio, melambangkan lima umat. Bibirnya komat-kamit. Tangan kanannya menggenggam hio kecil, bergerak seolah-olah menulis di atas tumpukan phu. Walau berpeluh, wajahnya tak meluapkan ekspresi kesakitan. Khusyuk dia berdoa. Roh Li Sak Kung, seorang tabib dari ratusan tahun silam, sedang memaÂsuki badannya.
Setelah selesai, ia mendongak ke altar dan mengetukkan thin chak, yang terbuat dari ukiran kayu. Itulah ritual "mengetuk" kayangan, memohon agar Choi Sin, Dewa Rezeki, berkenan melimpahkan berkat bagi umatnya. Berulang kali ia membakar telapaknya dengan hio dan mengulangi ritual serupa hingga semua umat mendapat giliran. "Sekitar 300 orang mendaftarkan diri dalam ritual ini," ujar Bong Bun Khim, 38 tahun, putra Bong Sen.
Ritual ini dilangsungkan setiap tahun, seusai Cap Go Meh, di Wihara Sam Sin Kiung, Dusun Norio, Segatani, Singkawang, Kalimantan Barat. Pada malam 7 Februari lalu, acara ini dihadiri banyak pengusaha sukses dari Jakarta. Di belakang tatung Bong Seng, puluhan anggota jemaah berlutut dan berdiri, menunggu di antara asap hio yang menyengat mata dan hidung. Dengan sabar mereka menanti, ingin tahu dari arah mana rezeki akan datang tahun ini.
Setiap orang memegang lima batang hio, melambangkan lima arah yang sudah diberkati Choi Sin: utara, selatan, barat, timur, dan tengah. Di pekarangan wihara, tamu mengalir tidak ada habisnya. Lapangan parkir kian padat selepas malam.
Setelah diberkati, tiap orang bangkit untuk menerima dua lembar phu merah. Satu lembar disimpan selama setahun di atas pintu toko atau rumah agar rezeki lancar. Satu lembar lagi—berisi tanggal lahir, nama, umur, dan arah yang membawa hoki—dibakar tak jauh dari situ, agar permohonan dari bumi tiba di kayangan, tempat semayam para dewa.
Umat yang hadir di situ percaya bahwa membakar adalah cara jitu untuk menyampaikan pesan ke langit. Pada malam itu, bukan hanya phu yang dibakar. Puluhan lilin raksasa menerangi altar wihara. Beberapa berukuran lebih tinggi dari manusia. Harganya tak tanggung-tanggung: Rp 25 juta per batang. "Lilin dianggap sebagai penerang hidup," ujar Chin Miauw Fuk, salah satu pemuka masyarakat Singkawang.
Di depan pelataran wihara, puluhan pasang hio naga seharga Rp 400 ribu per batang menyala terang-benderang. Di seberangnya, ada tumpukan ratusan kantong uang kertas tiruan. "Satu pak harganya Rp 35-50 ribu," ujar Bong Bun Khim. Uang tersebut nanti juga akan dibakar untuk para dewa. "Harga semua persembahan ini bisa mencapai ratusan juta rupiah," ujar Som Sau Jin, 45 tahun, seorang pengusaha konfeksi dari Tanah Abang, Jakarta.
Keyakinan, menurut sebagian anggota jemaah yang dijumpai Tempo, tak bisa dinilai dengan uang. "Semua yang berdoa di sini menjadi orang sukses," ujar Som Sau Jin. Bun Su Chon, 52 tahun, eksportir garmen dari Jakarta. "Saya dari nol sampai sekarang sudah sukses karena sembahyang di sini," ujar mantan tukang jahit ini. Karena itu, setiap ritual Dewa Rezeki, ia tak segan menyumbang Rp 50 juta dalam bentuk lilin dan uang kertas. "Yang terpenting kita tetap usaha dan ikhlas," dia menambahkan.
Pada pukul 9 malam, setelah tiga jam tanpa jeda, Bong Seng menuntaskan ritual panjang ke hadapan Dewa Rezeki. Raut wajahnya yang tadinya tenang dan fokus perlahan berganti letih. Sang suhu mulai meninggalkan tubuhnya. Bong Sen menundukkan kepala di atas altar, sambil terbatuk kecil. Tiga menit kemudian ia bangkit perlahan, tersenyum simpul, sambil menggeleng, "Capek. Saya ini sudah tua," ujar pria berusia 63 tahun itu. Ujung telapak tangannya yang terkena hio terlihat selegam arang. Apakah sakit? "Tidak," sahutnya. "Kalau sakit, siapa yang mau melakukannya?" dia menambahkan sembari tertawa kepada Tempo.
Setengah jam kemudian, jemaah ramai-ramai membuka kantong-kantong uang tiruan. Isinya disebar di pekarangan—menghasilkan tumpukan sepanjang kurang-lebih 10 meter—kemudian dibakar. Langit di Dusun Norio yang pekat berpendar-pendar oleh lidah-lidah api yang menghantarkan segala doa ke kayangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo