Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga sahabat berbincang serius di tepi pantai Brumbun, Tulungagung, Jawa Timur, pada suatu siang 20 tahun silam. Moelyono, perupa asal Tulungagung, selaku tuan rumah, berbicara tentang pemerintah yang makin represif. Dua tamunya, pelukis Semsar Siahaan dan Wiji Thukul, menimpali.
Moelyono berkisah tentang aksi polisi membubarkan pameran seni instalasi patung Marsinah beberapa bulan sebelumnya. Pameran itu dia gelar bersama jaringan buruh di Surabaya. Polisi menganggap pameran di gedung Dewan Kesenian Surabaya itu menghasut rakyat. Marsinah adalah buruh PT Catur Putra Surya yang diculik lalu tewas dianiaya setelah mogok kerja. Ia menjadi simbol penderitaan dan perlawanan buruh.
Bagi Moelyono, sebuah kegiatan dibubarkan polisi adalah hal biasa. Tapi, yang membuatnya kecewa, tak ada seniman di Surabaya membelanya. "Saya benar-benar merasa sendiri," ujar pria 51 tahun itu ketika ditemui Tempo di rumahnya pada 3 April lalu.
Peristiwa itu tak hanya menunjukkan sikap arogan pemerintah, tapi juga memperlihatkan lemahnya jaringan dan solidaritas pekerja seni. Prihatin atas kejadian itu, Semsar mengajak Thukul bertemu dengan Moelyono. Dalam diskusi tersebut, Semsar mengusulkan membuat jaringan kerja seniman, menggalang kekuatan dan solidaritas sesama seniman untuk membendung tindakan represif pemerintah. "Kami harus membentuk organisasi kesenian supaya bisa saling membantu," kata Moelyono.
Mereka sepakat membahas lebih matang rencana itu pada pertemuan lanjutan di Sanggar Suka Banjir, Kampung Kalangan, Solo—rumah Thukul. Rencana itu baru terwujud pada awal 1994. Pertemuan dilaksanakan di atas terpal plastik yang digelar di lantai tanah rumah Thukul. Beberapa aktivis di luar kesenian ikut serta, di antaranya Daniel Indra Kusuma, Raharjo Waluyo Jati, Juli Eko Nugroho, dan Hilmar Farid.
Menurut Hilmar, pertemuan dilakukan dengan sangat hati-hati. Agar warga tak curiga, pintu rumah sengaja dibuka ketika diskusi berlangsung. Salah satu peserta bertugas mengawasi pintu bila sewaktu-waktu ada orang datang. Pertemuan berlangsung beberapa kali. Tempatnya berpindah-pindah. Penentuan lokasi dan waktu pertemuan dilakukan dengan ekstra-waspada. "Karena pertimbangan keamanan, apalagi berkumpul di rumah Wiji Thukul pasti mengundang curiga warga," ujarnya.
Pembahasan organisasi baru berlangsung alot. Awalnya mereka membahas pentingnya membentuk gerakan kebudayaan, yang bisa memperkuat daya perlawanan rakyat. Semsar mengusulkan organisasi seniman yang berbicara tentang isu-isu kerakyatan. Sebagian lainnya menginginkan organisasi kebudayaan mirip Lekra.
Perdebatan makin alot ketika membahas format dan bentuk organisasi. Sebab, saat itu pemerintah antipati pada pembentukan organisasi, apalagi yang dianggap membahayakan penguasa. Menurut Hilmar, perdebatan menyangkut bagaimana membuat organisasi yang mampu mewakili aspirasi, tapi tetap bisa berjalan dengan baik di bawah pemerintahan represif.
Moelyono mengajukan konsep organisasi jaringan kesenian yang berbasis dan bekerja bersama rakyat. "Mendudukkan setiap rakyat sebagai subyek, sebagai pencipta kebudayaan."
Harapannya, kata dia, setiap seniman akan memiliki kantong-kantong komunitas di tempat tinggalnya. Semisal Moelyono yang membentuk Yayasan Seni Rupa Komunitas di Tulungagung atau Thukul dengan Sanggar Suka Banjir di Solo. Kantong-kantong komunitas itulah yang akan dijadikan bagian dari jaringan kesenian.
Akhirnya, mereka sepakat membuat gerakan kesenian dengan membangun jaringan komunitas kesenian rakyat. Namanya Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker). Jaringan dianggap lebih fleksibel dan tidak terlalu kaku.
Meski belum resmi berdiri, pada 1994 Jaker telah menggelar tiga kegiatan, yakni pertunjukan seni rupa karya Moelyono di Theater Gidag-Gidig, Solo; pameran di Bendungan Wonorejo; dan pameran seni rupa refleksi kehidupan nelayan di Yogyakarta.
Jaker tak hanya beranggotakan seniman. Selain Moelyono, Semsar, dan Thukul, Jaker beranggotakan Hilmar, Daniel, Yuli, Jati, dan Linda Christanty. Empat nama terakhir adalah anggota inti Persatuan Rakyat Demokratik, yang di kemudian hari menjadi Partai Rakyat Demokratik. Menurut Linda, salah satu fungsi Jaker adalah menjadikan para seniman pengorganisasi rakyat yang secara tak resmi menjadi onderbouw PRD.
Semsar, Moelyono, dan Hilmar bukan anggota PRD, sedangkan Thukul berada di antara tarik-ulur itu. Meski begitu, kata Moelyono, mereka berkomitmen Jaker tak bergerak di bidang politik.
Dalam perjalanan membangun Jaker, politik Tanah Air sedang bergolak. Sejumlah aktivis PRD berupaya menarik Jaker menjadi organ partai untuk menarik massa. Menurut Moelyono, hampir semua seniman Yogyakarta menolak Jaker masuk dunia politik.
Pengurus PRD tak patah semangat. Mereka terus bergerilya di kalangan seniman untuk mencari legitimasi membentuk organ kebudayaan partai. Moelyono mengatakan Daniel-lah yang berusaha mempengaruhi para seniman agar bergabung dengan PRD. "Di sinilah mereka berhasil mencetok (mencungkil) Thukul untuk ikut gerakan PRD," ucapnya.
Puncaknya pada kongres pembentukan PRD, April 1996, di Yogyakarta. Secara sepihak Thukul dan PRD memasukkan Jaker, yang diketuai Thukul, secara organisasi dan politik bergabung di bawah PRD.
Sebelum kongres, Moelyono mendapat telegram dari Semsar yang meminta dia ikut pertemuan Jaker di Solo, tapi Moelyono tidak bisa. "Semsar marah karena Jaker akan dijadikan sayap partai," ujarnya.
Semsar, Moelyono, dan Hilmar pun memutuskan tak terlibat lagi dalam kegiatan Jaker karena tak setuju Jaker bergabung dengan PRD. Di PRD, akronim Jaker tetap digunakan, tapi berubah menjadi Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat dan Thukul menjadi koordinatornya.
Moelyono menyayangkan sikap Thukul. Pencomotan Thukul, kata dia, hanya akal-akalan PRD membuat ikon seniman dalam sayap politiknya. Thukul adalah pilihan tepat karena dia cukup dikenal di kalangan seniman dan memiliki pergaulan luas.
Cempe Lawu Warta, guru Thukul di Teater Jagat, juga kecewa terhadap keputusan Thukul. Dia memperingatkan, sebagai seniman, semestinya Thukul tak terlibat politik praktis karena bisa membahayakan keselamatannya.
"Saya bilang, 'Thukul, hati-hati memilih. Kalau sudah di politik praktis, ada kemungkinan kamu ditangkap, dibunuh, atau minimal dibuang'," ucap Lawu. Thukul bergeming dan tetap memilih politik, yang ia anggap bisa menjadi alat paling cepat mengubah keadaan.
Thukul menganggap sikap Lawu kuno dan tidak progresif. "Lawu, kamu itu tidak berani. Karena itu, kamu dan Teater Jagat sampai kapan pun tidak akan bisa merombak keadaan," ujar Lawu menirukan Thukul.
Dalam sebuah wawancara di tabloid mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Jember, Ideas, edisi II tahun 1996, Thukul mengatakan sastra adalah salah satu alat perjuangan. Namun, "Agak berlebihan bila kita mengharapkan sastra akan membawa perubahan sosial."
Thukul pun tampil ke panggung membacakan puisi pada deklarasi berdirinya PRD di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jalan Diponegoro, Jakarta, 22 Juli 1996. Setelah paduan suara menyanyikan Mars Partai Rakyat Demokratik dan Darah Juang, dengan suara lantang dan pelo ia membacakan "Sajak Suara dan Peringatan".
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!"
Pembacaan puisi itu menjadi penampilan terakhirnya di depan publik. Sepekan kemudian, Thukul menjadi buron dan hilang sejak 1998 hingga kini.
Galang Aksi Korban Sritex
KETEGANGAN seketika menular di sepanjang jalan menuju pabrik garmen PT Sri Rejeki Isman (Sritex) di Desa Jetis, Kabupaten Sukoharjo, sekitar 15 kilometer dari Kota Solo. Hari itu Senin, 11 Desember 1995. Belasan ribu buruh memenuhi jalanan, duduk-duduk, menolak masuk kerja. Di antara mereka tampak juga Ketua Jaringan Kesenian Rakyat Wiji Thukul serta beberapa aktivis Partai Rakyat Demokratik lainnya dari Pusat Perjuangan Buruh Indonesia dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi.
Di ujung, dekat gerbang pabrik, ratusan aparat berseragam hijau loreng telah bersiap mengamankan pabrik yang baru tiga tahun sebelumnya diresmikan Presiden Soeharto itu. Sebagian di antara mereka naik sepeda motor trail. Ada juga yang siaga di atas mobil pikap kepolisian.
Pagi itu belum genap pukul tujuh. Peserta demonstrasi baru menyiapkan barisan ketika tiba-tiba aparat secara membabi-buta menyerbu mereka. Buruh yang panik langsung lari tunggang-langgang. Beberapa aktivis ditangkap lalu digebuk. "Saya hanya mendengar ibu-ibu menjerit ketakutan. Tapi jeritan itu tak bisa menghentikan pukulan," kata Thukul, seperti dikutip dalam disertasi "Politik Kebudayaan dan Seni Penentangan di Indonesia: Kajian Kes terhadap Penyair Wiji Thukul" karya Muhammad Febriansyah (2012).
Rupanya dari awal aparat mengincar Thukul karena ia diduga sebagai dalang demonstrasi. Ketika itu, dia dikenal aktif mengorganisasi buruh di Sukoharjo lewat Teater Buruh. Semula Thukul berhasil kabur dari kejaran aparat, lari ke dalam kampung dan bersembunyi di kuburan. Tapi, nahas, beberapa saat kemudian dia disergap karena keluar dari persembunyian.
Sadar yang ditangkap adalah Thukul, puluhan aparat bertubi-tubi memukulnya. Tak cukup bogem mentah dan tendangan sepatu bot ke tubuhnya, pukulan rotan juga diempaskan ke jari-jari tangan. Puncaknya, kepala Thukul dibenturkan di kap mobil aparat.
Lilik Hastuti, yang kala itu ada di tempat kejadian sebagai perwakilan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, tak tahu persis bagaimana Thukul ditangkap lalu disiksa. "Yang saya ingat, kami semua diangkut menuju Polres Sukoharjo menaiki mobil pikap polisi," ujarnya Senin pekan lalu.
Selang beberapa saat setelah kejadian, pemandangan horor mewarnai jalanan depan Pabrik Sritex. Lexy Rambadeta, mahasiswa filsafat Universitas Gadjah Mada dan jurnalis lepas yang kala itu telat datang untuk mendokumentasikan aksi buruh, melihat Desa Jetis bak kampung hantu. Sepi, lengang, dan berantakan. Di sepanjang jalan hanya tersisa sandal, sepatu, tas, dan beberapa sobekan baju yang berserakan.
Lexy pun melanjutkan perjalanannya menuju kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sukoharjo. Di sana dia melihat beberapa kawan aktivis melanjutkan aksi. Tapi, sekali lagi, aparat menggebuk dan menggelandang mereka ke kantor kepolisian, termasuk Lexy dan kamera genggamnya yang kemudian dirusak.
Di ruangan besar Kepolisian Resor Sukoharjo telah menunggu puluhan aktivis yang tampak kesakitan. "Di situ saya melihat Thukul. Pandangannya menerawang. Mata kanannya bengkak dan membiru," kata Lexy, yang mengaku hanya mengenal Thukul dari beberapa kali kumpul dengan kawan-kawan aktivis mahasiswa.
DEMONSTRASI buruh Sritex kala itu menuntut kenaikan upah pekerja—sebagian di antara mereka hanya dibayar Rp 1.600 per hari, jauh di bawah gaji minimal provinsi Rp 2.600 per hari. Banyak juga laporan kasus kepegawaian. "Buruh mengalami lembur berlebih, keguguran, dan sakit saluran pernapasan akibat serat tekstil," ucap Raharjo Waluyo Jati kepada Tempo, Senin pekan lalu. Jati adalah anggota Jaker Yogyakarta yang ikut dalam demonstrasi Sritex.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan perseroan yang berhasil meraup rupiah dan dolar lewat pasar garmen dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, ketika itu Sritex menerima orderan seragam batik Korpri, Golkar, dan ABRI. Harian Kompas tertanggal 5 November 1994 mencatat produksi pabrik mencapai tujuh juta yard per bulan, senilai Rp 30 miliar, dan 60 persen di antaranya untuk pasar dalam negeri.
Tapi aksi itu bukan semata perkara pabrik dan pekerjanya. Bagi PRD, demonstrasi Sritex merupakan gerakan politik kaum buruh melawan Orde Baru. Sritex menjadi ikon penguasa karena disinyalir di bawah perlindungan Cendana—sebutan bagi keluarga Soeharto yang tinggal di Jalan Cendana, Jakarta. Apalagi pemilik Sritex, yakni Lee Djie Men atau kemudian berganti nama H.M. Lukminto, sahabat kecil Menteri Penerangan dan Ketua Umum Partai Golongan Karya, Harmoko, di Kertosono, Jawa Timur.
Itulah sebabnya tuntutan buruh saat itu juga berupa pencabutan undang-undang politik yang membatasi organisasi masyarakat dan pencabutan dwifungsi ABRI. "Konsep kami adalah memberikan pemahaman politik kepada buruh," kata Jati.
Lilik membenarkan aksi di Sritex merupakan salah satu rangkaian kampanye PRD yang kala itu sedang menyiapkan diri sebagai partai nasional. Sepekan sebelumnya, PRD berada di balik aksi lompat pagar Kedutaan Besar Belanda dan Rusia di Jakarta sebagai bentuk protes pendudukan Timor Timur oleh Orde Baru. "Ketika itu, kami sedang transisi, sehingga semua organisasi masyarakat mengirimkan massanya," ujar Lilik.
DYAH Sujirah alias Sipon, istri Thukul, penasaran melihat mata kanan suaminya yang memerah dengan pelipis yang biru. Ketika itu, setahu Sipon, suaminya baru saja ikut aksi mogok buruh Sritex. "Ketika saya tanya, dia hanya bilang jatuh dan terbentur," kata Sipon. Dia ingat malam itu langsung menghangatkan air untuk mengompres mata Thukul.
Namun berbulan-bulan kemudian kondisi mata Thukul semakin parah. Bahkan, saking sakitnya, dia kerap menjadi emosional. Sipon mulai melihat gejala tak beres ketika suatu hari Thukul memukul Wani, anak tertua mereka yang kala itu berusia sekitar enam tahun. "Seumur-umur ia tidak pernah memukul anaknya," ujar Sipon. Seketika itu juga dia memaksa Thukul pergi ke psikiater dan dokter mata terdekat.
Rupanya dokter mata setempat itu pun angkat tangan dan menyarankan Thukul dibawa ke Rumah Sakit Mata Dr Yap, Yogyakarta. Di rumah sakit itu, Thukul ditangani dr Iin—Sipon tak ingat nama lengkap dokter yang dimaksud. Dari pembicaraan Thukul dan dokter itulah Sipon baru mengetahui kejadian sebenarnya bahwa mata suaminya dibenturkan ke jip oleh polisi. "Dokter bilang matanya harus dioperasi," kata Sipon. Retina Thukul berkerut seolah-olah akan mengelupas.
Celaka, biaya operasi Rp 1,5 juta, sangat mahal pada masa itu. Apalagi Thukul dan Sipon pergi ke Yogyakarta hanya berbekal duit Rp 15 ribu di kantong. Seketika itu kawan-kawan Thukul menggalang dana. Tak hanya di Solo dan Yogyakarta, pada 21 April 1996, kabar Thukul yang terancam buta menyebar hingga Jakarta lewat surat elektronik di kalangan internal PRD, yang segera bergerak menampung dana untuk membayar operasi.
Dana pun terkumpul. Namun belakangan dokter Iin, spesialis retina di RS Mata dr Yap yang mengoperasi mata Thukul, menolak dibayar. "Dokter Iin sepertinya kasihan kepada Mas Thukul, yang berkeringat dingin menjelang operasi. Mungkin dikira takut enggak bisa bayar," ucap Sipon. Operasi berhasil. Merasa tidak enak, Thukul mengajak Sipon keluar dari rumah sakit menuju Toko Buku Gramedia di Jalan Solo, Yogyakarta. Dibelinya buku Dari Negeri Poci II, yang kemudian diserahkan kepada dokter Iin. "Saya tidak tahu penyerahannya, tapi Mas Thukul cerita buku itu diberikan kepada dokter Iin."
Juru bicara RS Mata Dr Yap, Agus Pujianto, mengatakan tak ada catatan pasien bernama Wiji Thukul ataupun Widji Widodo—nama asli Thukul. "Biasanya rekam medis setelah sepuluh tahun bisa dihapus," katanya. Adapun dr Iin di rumah sakit itu ialah dr Angela Nurini Agni, yang juga Direktur Retina Universitas Gadjah Mada. Sayangnya, dr Iin sedang bertugas di Amerika Serikat ketika artikel ini ditulis. Dia belum merespons pesan dan panggilan telepon dari Tempo.
Setelah seminggu di RS Mata Dr Yap, Thukul pulang dan harus beberapa kali menjalani kontrol. Di tengah itu, dia beberapa kali keluar dari rumah. Sipon, yang sedang menyusui Fajar Merah, putra keduanya yang masih bayi, tak bisa melarang. Di tengah matanya yang belum pulih benar, Thukul pergi ke Jakarta mengikuti Deklarasi PRD di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 22 Juli 1996. "Saya tidak tahu perginya, hanya dengar dari kawan-kawan dia di sana," ujar Sipon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo