Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tempat damai di segara ukir

Ashram "canti dasa", pesantren orang hindu di dusun samuh, desa bugbug, 70 km dari denpasar, bali. gedong oka sebagai pemilik, pendiri & sesepuh "canti dasa". gedong bertekad menyebarkan ajaran mahatma gandhi.

2 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah tempat di pantai timur Bali telah jadi tempat teduh sejak sekitar 15 tahun lalu, ketika Nyonya Gedong Oka, 67 tahun kini, mulai menerapkan ajaran Gandhi di pesantren Hindunya. Di zaman hiruk-pikuk, ketika orang lebih berhitung dengan angka dan komputer, ketika bisnis bisa berarti segalanya dalam hidup, di Ashram Canti Dasa persaingan adalah tabu. Menjelang hari raya Nyepi, satu Caka 1910, wartawan TEMPO Wahyu Muryadi dan Joko Daryanto meliput wajah pesantren itu. SELENDANG melilit di pinggang, dua telapak tangan ditangkupkan. Jari bertemu jari: telunjuk dengan telunjuk, kelingking dengan kelingking. Suasana jadi hening. Tarikan napas pun kian dalam. Lalu bergemalah koor, memecah senyap: Om Dyayaouh Shantih Antarikshan Shantih Prithui Shantih Apah Shantih Ousdayoh Shantih Vanaspatayah Shantih Vishe Deuah Shantih Brahma Shantih Saruam Shantih Shantireua Shantih Sama Shantiredy Om Shantih Shantih, shantih. (Damai di surga/ damai di langit/ damai di bumi/ damai di air/ damai di pepohonan/ damai di tetumbuhan/ damailah segalanya/ jagat raya dan daya cipta/ semoga kedamaian di mana-mana/ damai/ damai/ damai). Pagi masih merah dan matahari belum menyembul. Di balai puja itu 20-an orang duduk bersila, khusyuk, menghadap ke timur, melantunkan pepujian. Tak cuma doa dalam bahasa Sankskerta. Puja dalam bahasa Inggris terdengar juga: . . . amazing grace how sweet the sound/ they saued a wretch like me/ I once was lost, but now am found/ was blind, but now I see . . . (. . . begitu memesonakan, betapa manis terdengarnya itulah yang menyelamatkanku, makhluk yang hina ini/yang sekali waktu tersesat, tapi ditemukan kembali kini/yang sekali waktu buta dan sekarang bisa melihat...) Di Bali, persisnya di Candi Dasa - di Dusun Samuh, Desa Bugbug, 12 km dari Klungkung atau 70 km jauhnya di timur Denpasar - puja seperti itu dilakukan setiap pagi. Di situ berdiri dua pura. Sebuah adalah candi Budha peninggalan Raja Sabetung di abad ke-13. Sebuah lagi, di bukit, 79 tangga beton tingginya, adalah Candi Siwa. Di daerah itulah berdiri ashram, pesantren Hindu yang biasa terdapat di India. Itu satusatunya di Bali, satu-satunya pula di Indonesia. Dan kata seorang ibu tua bernama Gedong Oka, pemilik, pendiri, dan sesepuh pesantren itu, "Ini tempat keramat." Keramat? Bukit Gumang tegak dengan gagahnya di timur. Dua bukit lainnya berderet menemani. Ada danau dengan airnya yang tenang, berkilau memantulkan sinar matahari pagi. Di utara, hanya 10 meter dari ashram, riak laut tak henti-hentinya membasuh bibir pantai pasir yang putih dan lengang. Dan di tengah ashram mata air tawar gemericik mengucurkan airnya yang bening. Adalah Kitab Weda yang menyatakan suatu tempat keramat bila bukit, samudra dan mata air bersalam-salaman seperti di Candi Dasa tersebut. Itulah yang disebut kawasan segara ukir, yang jarang terbentuk di dunia ini. Maka itulah, "getaran wilayah ini harus dijaga," kata Ibu Oka pula. Karenanya, ia lalu mendirikan pesantren di situ, dan menamakannya Ashram Canti Dasa. Canti adalah damai, dasa berarti abdi. Canti Dasa memang pesantren yany mengabdi pada perdamaian. Tak ada gerbang khusus menuju Ashram Canti Dasa. Hanya tanah tak beraspal selebar 5 meter, yang becek bila hujan, jalan ke situ. Di ashram inilah Ibu Gedong Oka membina masyarakat untuk bisa seperti yang diinginkannya. Dengan suaranya yang lirih dan mengalun merdu ia menyampaikan petuahnya kepada yang datang mengharap petuah. Baik tua maupun muda. Datang dari Timur atau Barat. Apa pun agamanya. Ibu Oka bertekad menyebarkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran tokoh yang digandrunginya, Mahatma Gandhi. Sehingga jadilah Ashram Canti Dasa lebih sebagai pesantren Gandhi, keffmbang pesantren Hindu. Memang itulah, ajaran Bapak India yang anti kekerasan yang menciptakan swadeshi (semangat untuk memakai buatan sendiri) itu yang jadi landasan Canti Dasa. Foto, kutipan ucapan, dan buku-buku tentang Gandhi menyentuh hampir semua sudut kompleks seluas 70 are ini. Di bangunan pertama yang bisa dijangkau dari luar, Gandhi menjenguk pasien lepra terbingkai rapi di dinding. Itu memang bangunan klinik, klinik akupungtur, yang berada di sebelah klinik gigi. Klinik yang dikelola oleh I Nyoman Sadra inilah menjadi penghubung langsung sehari-hari antara Canti Dasa dan masyarakat sekitar. Sebelah selatan klinik ada Bale Tengah berornamen Bali, bertegel abu-abu mengkilap. Dua teras sama bangun berada di sisi utara dan selatan. Masing-masing berkusen, dengan dua tangkup daun pintu kuno, biru berukir merah dan kuning. Ada dua kamar di sana, di sisi timur khusus buat Ibu Gedong Oka, di seberangnya hanya untuk tamu-tamu istimewa. Sebuah meja bundar pendek diletakkan dalam ruangan utara Bale Tengah. Di meja itulah Gedong Oka membaca buku-bukunya, atau bercengkerama dengan para warga pesantren, membicarakan masalah keseharian. Selalu, bila pertemuan seperti itu berlangsung, sejumlah buku bergeletakan, terutama buku tentang meditasi dan sejenisnya. Kebanyakan buku itu berbahasa Inggris dan ditulis oleh orang India. Misalnya karya Pandith Usharbudh Arta tentang meditasi dan kematian, tentang mantra dan meditasi. Atau tentang interpretasi Gandhi terhadap Bhagavadgita. Selain itu ada kaset rekaman Komposer Rangasani Parthisarthy yang salah satu lagunya Hymns from the Kig Veda. Sebuah musik jenis khusus buat meditasi. Di ruang bermeja bundar itu pula ierdapat seperangkat gamelan. Dan lagi-lagi, di situ wajah Gandhi terpampang. Di situ Gandhi menunduk khusyuk. Foto istri Gandhi, Kastur Ba, dipajang pula di ruang bagian selatan, persis di atas ventilasi, di belakang meja kerja antik Gedong Oka. Menangkap Ashram Canti Dasa adalah menangkap suasana teduh, tenang, dan sedikit mistis. Di antara klinik dan Bale Tengah terdapat kolam setengah lingkaran dengan airnya yang menghijau. Patung tersebar di sana-sini. Di Bale Tengah misalnya, ada dua patung katak dari batu. Satu sedang meniup suling. Satu lainnya menabuh gendang. Dua patung lain menjaga pintu masuk perpustakaan, bangunan di timur Bale Tengah. Di kiri arca Wisnu bertangan empat tengah memetik gitar bunting. Berseberangan dengannya, satu dari empat tangan Ganesha menggenggam kapak. Dalam ruang, patung Wisnu menunggang garuda. Sementara itu, puluhan pohon nyiur, yang buahnya siap dipeffk seffap saat, menaungi halaman. Ada pula pohon kamboja dan kembang sepatu, yang tanpa bosan menyumbangkan bunga buat kelengkapan persembahyangan. Lalu ada puring, anyelir, pohon pisang, jambu air. pisang kipas. Rumput pun terpangkas rapi disan dua ekor sapi yang sekaligus selalu memupu Dua anjing kampung, Sangut dan Gading, bebas berlarian di rerumputan. Di kompleks teduh itulah Gedong Oka menjadi ibu bagi para warga pesantren Hindu ini. Ia sekaligus guru tunggal bagi para "santri". Pukul 04.00 dinihari, kentongan pun ditabuh bertalu-talu. Para warga ashram bangun, lalu bergegas menuju Bale Puja dengan pakaian seadanya. Berkemeja atau kebaya biasa, bersarung dan dengan selendang beragam rupa di pinggang. Tanpa terasa, sejam berlalu khidmat. Babak demi babak puja dilakukan, di antaranya dengan menyenandungkan lagu-lagu pujian. Usai puja, tua muda mengikuti acara English Class. Masih juga Gedong Oka yang memimpinnya. Kelas ini bukan sekadar mengajarkan bahasa Inggris. Tapi juga dijadikan media untuk menyampaikan kata-kata mutiara Mahatma Gandhi, membahasnya, lalu membandingkannya dengan kehidupan sehari-hari. Ibu Gedong menuliskan kata mutiara itu di papan. Para "santri" diharuskan menghafal dan meresapinya. Karena itulah English Class juga disebut A Thought for the Day, atau sebuah pemikiran untuk hidup. Dan Gedong membanggakan warganya. "Di sini ada yang mampu menghafal 102 kata mutiara Gandhi." Kenyang menyantap kata mutiara, mereka semua pergi ke pantai. Ini saat senam yoga yang disebut Surya Namaskar. Itulah yoga yang khusus untuk menyambut pagi. Kaki dirapatkan, hingga kedua telapak kaki sejajar. Lalu dua telapak tangan didekatkan ke hidung sambil serentak mengucapkan "Om Ram". Tangan pun diayunkan, ganti kaki, lalu wajah mendongak ke langit. Sesudah itu badan ditiarapkan di pasir pantai. Lima belas menit yoga "selamat pagi" ini biasanya dilakukan. Habis itu mereka semua santap pagi. Acara bersama pun usai, dilanjutkan acara masing-masing. Anak-anak pergi ke sekolah di luar ashram. Yang dewasa mengerjakan tugas masing-masing. Ada yang menyapu, mencuci piring, berkebun, menjahit, menyulam, atau bertukang kayu. Menurut Gedong, inilah perwujudan ajaran Gandhi swadeshi, mencukupi kebutuhan diri sendiri. Semua bekerja hingga tiba saatnya acara bersama lagi: puja sian pada pukul 11.30, disusul makan siang. Sebelum mereka melanjutkan kerja masing-masing, ada waktu istirahat tanpa disuruh, tanpa dikonrol tanpa saksi, mereka semua melakukan tugas masing-masing hingga saat puja sore tiba. Lalu makan malam bersama. Begitulah, jadwal yang sama terus diulang setiap harinya, nyaris tanpa variasi. Matahari sudah lama terbenam. Di Canti Dasa pun malam sunyi. Tak ada dendang lagu dari pesawat televisi atau radio. Hanya debur ombak dan desau angin. musik alam tanpa partitur yang menghias malam tanpa memungut bayaran. Adakah Gandhi melarang orang mencari hiburan? Adakah suara pesawat elektronik dilarang di Canti Dasa? "Oh, boleh, boleh saja itu," jawab Ibu Gedong. "Tapi mereka tak punya uang untuk membelinya." Sesungguhnya ashram memang tak berniat membeli radio. Sang guru - kalau boleh Ibu Gedong disebut begitu - menyarankan para "santri" untuk tidak membelanjakan uangnya buat barang-barang tersebut. Sebab, menurut Gedong Oka, itu bisa mengakibatkan kemalasan. Kecuali memang sebuah tape recorder untuk memutar musik pengiring meditasi. Agaknya, Gedong Oka memang berniat menjaga kemurnian ajaran Gandhi Maka, ia juga sangat membatasi media cetak yang masuk ke ashram. Bagaimana kalau ada warga ashram yang lalu merakit sendiri radio atau pesawat televisi? Yang jelas, sampai bulan ini, belum seorang pun "santri" Canti Dasa mencobanya. Bisa jadi minat mereka untuk hal-hal seperti itu sudah padam. Ada saatnya, memang, ketika makhluk bumi yang disebut manusia ini lebih menemukan kedamaian dalam desir angin, dan percik ombak. Lalu, aksesori duniawi pun jadi benda-benda yang boleh tak usah ada. Sebelum penghuni ashram lelap dalam pelukan malam, masih ada doa dan puja lagi yangdipanjatkan bersama. Di ruangan selatan Bale Tengah, mereka berkumpul. Mantra-mantra pun diucapka Mantra mitrasyama (persahabatan dunia), abayam (pengusir rasa takut) samgacatwam (penopang kerukunan), sitapradnya (cuplikan dari Bhagavatgita). Sesudah itu dengan serempak mereka mengucapkan janji ashram buat kehidupan sehari esok: eka dasa wrata atau janji sebelas. Ketika malam baru menunjuk pukul 20.00, lelaplah seluruh penghuni ashram. Bagi Gedong Oka, filsafat Gandhi agaknya serupa agama. Walaupun suaminya termasuk pendiri Parisadha Hindu, Gedong Oka tampak berbeda dengan penganut Hindu pada umumnya. Ia lebih meyakini nilai-nilai universal sebagai kebenaran. Di tanggul yang melindungi pesantrennya dari luapan ombak, lambang semua agama dicantumkannya berderet. Ia, misalnya, mencoba menampung penduduk miskin sekitar ashram. Mereka diberi makan, anak-anak disekolahkan atau diberi pekerjaan (tanpa upah), sambil diberi pengajaran ashram. Klinik kesehatan Canff Dasa terbuka untuk umum - bukan cuma untuk warga ashram - dengan tarif sukarela. Ada pula taman kanak-kanak yang dinamai TK Gandhi dengan 48 murid. Juga perpustakaan pesantren Hindu ini, yang menyimpan 500 judul buku - 200 di antaranya tentang Gandhi - boleh dimasuki siapa saja. Ibu Gedong Oka juga menerjemahkan riwayat hidup tokoh yang dikaguminya itu, dan kini 9.000 eksemplar buku terjemahan itu telah disebarkannya ke sekolah-sekolah. Ashram juga mengirim orangnya ke India, mempelajari teknik pengobatan memakai tetumbuhan. Bila Gandhi sederhana, warga ashram juga harus sederhana. Lihatlah kamar ffdur mereka yang mirip di pesantren (Islam). Warga laki-laki ditempatkan dalam 6 bilik yang masing-masing berukuran 2 X 2,5 meter. Bukan bilik biasa, tapi bilik bambu yang lokasinya di plafon bawah atap. Jalan masuk ke bilik ini sebuah tangga di sisi gedung. Tak ada penerangan yang yang berarti di bilik itu selain dari genting yang dibuka di siang hari, dan bohlam 25 watt di malam hari atau di hari mendung atau hujan. Kesederhanaan juga tampak sewaktu makan. Keffka Gedong Oka dan tamu-tamu memakai sendok dan piring biasa untuk makan, para warga ashram yang makan di tempat itu hanya memakai tempurung kelapa yang hitam sebagai piring. Sendoknya tangan, atau sudu daun pisang bila menunya bubur kacang hijau. Daging? Maaf, di sini vegetarian. Tak semua warga ashram vegetarian, memang, tapi di ashram ini mesti dijalankan. Lewat ashram, Gedong memang bermaksud mendidik masyarakat agar "tak bicara saja, tapi bekerja nyata." Sebuah filsafat dari Weda. Ia pun berharap, ashram membentuk orang-orang mandiri. Dari sudut ini boleh dikata Ibu Gedong mengkritik sekolah formal yang "hanya menghasilkan orang-orang yang sedia menerima gaji pemerintah, yang tak mampu mendidik murid menjadi orang bebas, merdeka mandiri, serta bisa menghidupi diri sendiri." Tapi dengan demikian, mungkinkah warga ashram bersaing dengan lulusan pendidikan umum? "Apa? Bersaing?" kata Ibu Gedong dengan muka merah. "Bersaing tak boleh di sini. Itu agresi. Melanggar Ahimsa." Tiga dasar ajaran Mahatma Gandhi memang menjadi sendi sikap moral di Canti Dasa. Ahimsa, sat, dan keruna - tanpa kekerasan, kebenaran, dan kasih sayang. Adapun biaya hidup di ashram diperoleh dari, antara lain, sumbangan sukarela dari mereka yang berobat di klinik akupungtur, juga dari cottage miliknya yang disewakan kepada wisatawan US$ 15-20 semalam. Penginapan itu tak jauh dari kompleks, dan tetap dalam suasana yang tenang, sunyi, dan serasa jauh dari keduniawian. Dan hidup di Canti Dasa bagaikan siklus tanpa perubahan. Di pagi menjelang subuh, kentongan dipukul bertalu-talu, merdu, memanggil warga untuk segera melakukan puja, senam yoga, sarapan, kerja,... dan seterusnya. Di pagi itulah, kadang, sebuah lagu pop yang dinyanyikan penyanyi kulit hitam yang masuk Islam, Cat Stevens, didendangkan dalam puja pagi: Moming has broken/ like the first moming/ blackbird has spoken/ like the first bird. . . - Pagi telah merekah, bagaikan pagi pertama. Burung hitam bernyanyi, seolah burung yang pertama. Bersyukurlah untuk nyanyian itu, bersyukurlah untuk pagi, bersyukurlah buat kehadiran semua yang pertama. . . Zaim Uchrowi, Wahyu Muryadi (Biro Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus