Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ketika desmont menjadi wayan gunung

Ashram "canti dasa" di bali yang dipimpin gedong oka bagaikan tempat cahaya bagi yang kegelapan. pernah di curigai mengajarkan sekte hindu baru. padahal hanya menyebarkan ajaran gandhi untuk mencari kebenaran.

2 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BRIGITA termenung. Di negerinya ia seniman patung batu. Ketika menginjakkan kakinya di Ashram Canti Dasa, ia seperti mendapat dunia yang sebelumnya tak pernah dirasakannya. Segala yang ada di ashram ini amat mengagumkan saya,"pujinya. Ia terpesona pada keheningan, pada keramahan. Juga pada rangkaian acara ritual yang tentu tak ada di negerinya. Hari-hari ini ia melewatkan waktunya di ashram. "Brigita kurang tegar menghadapi problem hidup," kata guru tunggal Ashram Canti Dasa, Ibu Gedong Oka. Ia, menurut Gedong, membutuhkan meditasi. Memang, bagi Brigita kehidupan negerinya kelewat pikuk. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri, berkompetisi dalam prestasi dan uang. Itu menjadikannya stress. Sedang di ashram, "semuanya begitu tenang dan menyejukkan." Bukan hanya Brigita, Patrick Demont begitu juga. Pria Jerman berumur 38 tahun itu mulanya pemandu wisata. Sejumlah negara telah dijelajahinya. Duit melulu yang dipikirnya. Tapi musibah datang: Patrick jatuh sakit, kena penyakit tropika. Maka, ia harus mendekam di rumah sakit berbulan-bulan. Hal yang menyebabkannya mendapat tekanan mental. Ia lalu mencari terapi buat dirinya sendiri. Tuhan, yang selama ini telah dicampakkan Patrick, mulai dipikirkan kembali. Buku-buku meditasi dilahapnya. Lalu dari seorang temannya ia mendengar kabar tentang ashram Canti Dasa. Datanglah Patrick melakukan kontak pada tahun 1980, dan ia merasa cocok. Sejak itu Patrick berkali-kali datang ke Bali. Kini ia bukan hanya pasif, duduk menyimak ajaran Gedong Oka. Tapi ia sudah terlibat dalam puja. Dan untuk itu ia menyiapkan khusus pakaiannya: baju putih sarung biru tua bergaris merah. Dan sore itu Patrick tak lupa menyisipkan kembang sepatu di telinga kiri, dan sejumput beras menempel di dahinya. Ia pun mulai suka memamerkan nama Balinya, Wayan Gunung. Tak lama kemudian dari mulut Wayan berkulit putih bermata biru ini pun meluncur mantra. Tahun ini Wayan Gunung alias Demont tidak sendiri datang ke Canti Dasa. Dibikinnya proyek wisata yang dinamainya Mandala Tour. Jangan dibayangkan. si Wayan lalu datang beramai-ramai dengan bis besar ber-AC. Tidak. Lihatlah, pengikutnya cuma tiga orang, termasuk mertuanya. Yang dua lagi adalah istri dan seorang anaknya yang baru berumur dua tahun. Itulah rombongan Mandala Tour. Tapi mengapa Demont sekeluarga tak pergi ke India, ke negeri tempat lahir tokoh yang jadi idola dalam ajaran Ashram Canti Dasa? "Saya hanya kagum dan respek pada ajaran Gandhi seperti yang diberikan Ibu Gedong. Karena dia telah melaksanakan ajaran itu dalam hidupnya," tutur Wayan yang Jerman ini. "Tapi Gandhi bukan favorit saya." Sedang Ibu Gedong Oka baginya "saudara perempuan sekaligus ibu yang sangat saya cintai." Orang-orang bule yang lagi keranjingan nilai-nilai Timur tentu akan bicara setinggi langit tentang Gedong dan ashramnya memang. Sementara itu, orang-orang Bali warga ashram bisa berbicara tentang lingkungannya dengan bahasa yang lebih rendah. I Nyoman Sadra, misalnya, warga ashram paling senior yang dipuji Gedong "mampu menyerap ajaran Gandhi secara mendalam, secara sophisticated." Mulanya, Sadra kuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana. Gedong Oka adalah dosennya. Ketika Gedong menyelenggarakan pengajaran Bhagavatgita di rumahnya, Sadra diundang. Sadra datang. Di situlah ia lalu terlibat dalam diskusi tentang desa, tentang agama, tentang hidup. Sehingga, Gedong menariknya untuk mengurus ashram. Tahun 1978, Sadra dikirim ke India untuk belajar obat-obatan alamiah. Dua tahun ia di sana, menjadi tenaga paramedis tak resmi di Rumah Sakit Nature Cure Hospital di daerah-daerah Uruli Kanchan, Begumpet, dan Almora. Pulang dari sana, ia ikut kursus akupungtur di Jakarta. Kini Sadralah yang menjadi ahli akupungtur di klinik Canti Dasa. Dengan merendah ia mengaku itu saja yang bisa dikerjakannya buat ashram, "karena saya sama sekali buta soal agama." Biarpun kini tak tinggal lagi di ashram karena sudah berkeluarga - Sadra tetap menyebut "Ibu Gedong-lah orang yang paling berjasa buat saya." Lain lagi dengan I Wayan Miarta yang kini berusia 30 tahun. Pria lajang ini tampak lugu. Miarta mengaku, ia mulanya di Denpasar membantu pamannya jualan tempe dan tahu. Tapi bangkrut. Karenanya, ia memilih bergabung ke ashram, menggantungkan hidup. Ia mujur. Karena kemampuannya membuat tempe, ia dikirim ke Tanamal Wila di Sri Lanka untuk mendemonstrasikan cara bikin tempe. Kini di Canti Dasa, Miarta bkan lagi tukang tempe. Ia diangkat menjadi orang kepercayaan Gedong. Tugasnya sebagai penanggung jawab harian, termasuk mengurus pelayanan bagi tetamu. Kerennya, semacam manajerlah. "Saya senang ikut Ibu. Bisa tenang," ujarnya. Tapi ia mengaku belum paham betul tentang ajaran Gandhi yang diterimanya dari Ibu Gedong. Kemampuan berbahasa Inggrisnya pun masih pas-pasan. Bagi anak-anak Bali, kesulitan ekonomi tampaknya yang paling banyak mendorong mereka masuk ashram. I Ketut Murjana di antaranya. Murjana bergabung di ashram setelah ia tamat SD tahun 1976. Ayahnya mendorongnya ke ashram. Apalagi pamannya, I Nengah Mangku Ripta, adalah tukang kayu di situ. Sejak SMP Murjana sekolah dengan biaya Gedong. Sampai ia menyelesaikan program diplomanya di Fakultas Keguruan Universitas Udayana. "Ibu amat baik dan sabar membimbing saya agar bisa bergaul dengan sesama manusia yang baik," kata Murjana. Dari Gedong pula ia tahu nilai sebuah kerja yang dijalankan dengan sungguh-sungguh. Baginya, hasil karya sendirilah yang boleh dinikmati. Pantang buatnya menikmati sesuatu tanpa keringat sendiri. "Itu sama dengan mencuri." Mahatma Gandhi mengajarkan begitu, seperti juga mengajarkan agar mencari teman yang baik. Lihat saja kata mutiara Gandhi: "He who doesn't labour and yet eats, eats stolen food", dan " We seek the company of the good for that is food for our Soul. ("Dia yang tidak bekerja tapi makan, sesungguhnya ia makan hasil curian", dan " Kami mencari sahabat yang baik, sebab itu bisa menjadi santapan rohani yang baik.") Warga lainnya, Jata, juga mengawalinya dari kemiskinan. Ia dilatih pertukangan dan bisa juga menjahit. Dialah yang kini menjadi tukang kayu di situ. Biarpun tak mendapatkan uang sama sekali, ia puas. "Di sini kami tak bicara uang. Kami hanya mengabdi." Tentang tujuannya masuk ashram, ia mengaku untuk membantu keluarga. Lho, bagaimana membantunya? 'Kan tak punya duit. "Yah, setidaknya bantu dorongan morillah," ujarnya sambil tertunduk malu. Bukan hanya pujian yang dialamatkan kepada Gedong Oka dengan ashramnya. Tapi juga kritik. Dari Ida Bagus Agastya misalnya. Ketua Peradah, organisasi pemuda Hindu Dharma, itu mengaku kagum pada semangat dan ide Gedong Oka. Tapi, menurut Ida, ashram model Canti Dasa itu hanya "sangat cocok dilaksanakan di luar Bali." Yakni, untuk membantu orang yang belum menerima ajaran Hindu Dharma mendapat ajaran Yadnya. Pada masyarakat Bali tradisional itu tak diperlukan. Sebab, desa adat di Bali dibentuk atas dasar ashram pula. Bernapaskan keagamaan, ada pura dan ada pemuka agama yang benar-benar dianuti. Namun, untuk jangka panjang, menurut Aghasetia, ashram Gedong Oka bisa sangat berarti. Perkembangan zaman, lajunya arus wisawatawan, akan membuat banyak orang Bali "tercerabut" dari tradisinya dan "terdampar" entah di mana. Kata Ida pula, "Nah, untuk orang-orang inilah ashramnya Bu Oka jadi penting." Sekjen Parisada, G. K. Adia Wiratmadja, berbicara hati-hati tentang soal itu. Ia menampik anggapan banyak orang bahwa Ashram Canti Dasa bisa melahirkan "tokoh agama" seperti halnya pesantren dalam Islam. "Di dalam agama Hindu ada tata cara pengangkatan pemimpin agama," ujarnya. Seorang wangsa brahmana baru setelah diupacarai bisa menjadi pedanda. Itulah status tertinggi. Masyarakat kesatria bisa menjadi Resi Agung. Sedang dari golongan pasek atau pande seperti Ibu Gedong bisa jadi Sri Empu atau Pendita. Tapi sekarang ini Gedong Oka belum menjadi Sri Empu. "Kini barangkali dia hanyalah orang berilmu yang mengerti banyak tentang agama." Parisada Hindu Dharma memang tak memasukkan ajaran Gedong Oka sebagai ajaran terlarang, seperti halnya ajaran Hare Krishna. "Tidak," kata Wiratmadja. Parisada hanya menilai Gandhiisme ini sebagai sekolah biasa. Hanya tempat latihan. Dan Gedong Oka sendiri juga tidak memaksudkan ashramnya untuk mencetak "ulama Hindu" seperti yang dicurigai banyak pihak. Dengan ashramnya ia hanya akan menyebarkan ajaran Gandhi, sebagai satu upaya mencari kebenaran. Dan yang jelas, sejauh ini, Canti Dasa memang lebih memberikan rasa damai bagi "santri-santri"-nya. Om swastiastu.... Z.U., W.M. (Surabaya), dan Joko Daryanto (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus