Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jangan selingkuh, jangan mencuri

Profil gedong oka, pendiri, pemilik & sesepuh ashram "canti dasa" di bali. ia guru tunggal sebuah pesantren hindu yang melakukan disiplin keras buat keutamaan hidup menurut keyakinannya.

2 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDONG Oka baru saja seleA sdi melakukan Puja Siang di Balai Puja ketika sepasang remaja Prancis ingin bertemu dengannya. Matahari menyengat ganas. Kedua remaja itu hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Kulitnya yang putih memerah oleh panasnya matahari. Di wajah mereka terutama yang perempuan terbentang sebuah pendentaan yang sulit diterka. "Inikah Ashram dan dapatkah saya bertemu dengan Ibu Gedong?' katanya dalam bahasa Inggris. "Ya, inilah Ashram dan akulah yang Anda maksud," jawab Gedong Oka, dengan tersenyum. Sederet gigi seri mengintip malu-malu di antara bibirnya yang tulus tanpa gincu. Sebuah di antaranya telah tanggal dimakan usia. Ia memang telah 67 tahun. Gedong Oka segera mengajak mereka menaiki altar pemujaan seluas lebih kurang 5,5 X 4 meter. Tempat itu tidak berdinding, disangga sembilan pilar. Permukaannya berupa batu tegel abu-abu berkilat. Tingginya sekitar 60 cm dari lantai dasar. Itulah Balai Puja, tempat 30 warga Ashram membersihkan jiwa di kala pagi dan siang. Naiklah kemari, Anak-anakku agar matahari tak menyakiti kalian ajaknya sambil membimbing si gadis menaiki tangga berlapis tiga. Begitu tiba di Balai Puja, mereka segera duduk berhadap-hadapan dalam posisi bersila. Gedong Oka mulai menanyakan perkara yang tengah mereka hadapi. Si gadis segera mencentakan gundah-gulananya. Bibirnya bergetar, air matanya berlinang, isaknya pecah di sela ucapan patah-patah. Perlahan Gedong Oka mendekat hingga jari-jari kaki mereka bersentuhan. Dipegangnya pundak gadis itu. "Jangan menangis. Anakku. Siapa pun di dunia ini tak lepas dari nestapa. Kuatkan dirimu dan putuskan untuk segera memperbaiki din. Di saat itulah karma-mu akan berubah kata Gedong. Itulah suatu ketika dalam hidup Ibu Gedong Oka - pemilik, pendiri dan pengasuh tunggal Ashram Canti Dasa. Tepatnya pada Rabu, 17 Februari 1988, ketika seorang wartawan TEMPO berada di situ. Dan itu hanya salah satu peristiwa yang sering berlangsung di Ashram Canti Dasa, Desa Bugbug, Kabupaten Karangasem. Sebuah tempat yang dicari banyak orang, dari berbagai bangsa, yang datang mengadukan risau dan mengharap petuah. Surat-surat pun mengalir, hampir tiap hari, dari mereka yang pernah bertemu atau hanya mendengar namanya untuk maksud yang sama. Penampilan Gedong sebenarnya biasa-biasa saja. Seorang wanita yang sudah melebihi setengah baya, dengan tinggi 155 cm, dan berat 50 kg. Rambutnya telah putih beruban dan beberapa giginya pun sudah tanggal. Wajahnya yang cerah menandakan rohani dan jasmaninya terjaga. Bila tak lagi melakukan senam yoga, ia biasanya mengenakan kebaya berlengan lebar dan kain kusam. Pada saat melakukan puja, Gedong melilitkan selendang warna cokelat bermotif batik Balik di pundaknya. Kedua ujung selendang diikatkan di depan. Tak sebiji pun perhiasan menempel di tubuhnya yang sawo matang. Di daun telinganya pun hanya terdapat lubang tindik yang dibiarkan tetap berlubang begitu saja. Kepada tokoh seperti itulah, tamu-tamunya dengan terus terang membeberkan keluh-kesahnya. Dan Gedong, apa pun yang dikisahkan mereka, selalu sabar mendengar. Dan kemudian, mewejang mereka dengan suara lembut tanpa emosi. Siapa pun yang pernah tinggal di Canti Dasa akan beroleh kesan bahwa Ibu Gedong Oka sebenarnya bukan wanita istimewa. Tapi kepatuhan anak-anak asuhnya bukanlah sekadar kepatuhan seorang anak terhadap ibunya. Ada sesuatu yang lebih dari itu. Gedung Oka bagaikan sebuah cahaya yang sanggup menerangi hati gelap mereka semuanya, juga mencairkan kesombongan siapa saja. Dialah yang ketika lahir, 3 Oktober 1921 di Karangasem, Bali, diberi nama Ni Wayan Gedong oleh orangtuanya. Ayahnya berkasta kesatria dan pemah menjadi pegawai Belanda di daerah Rendang. Ibunya berasal dari keluarga Pasek, pemimpin adat yang dihormati di desa. Pada 1943, Ni Wayan dipersunting I Goesti Bagoes Oka, seorang sekretaris jenderal di zaman Kabinet Tatengkeng di tahun 1949 yang sebelumnya pemah menduduki berbagai jabatan di Bal. Sejak itu namanya diganti menjadi Nyonya Gedong Bagoes Oka, dan akrab dipanggil Gedong Oka. Ia melahirkan enam anak yang kini telah menghadiahkan delapan orang cucu. Sejarah berdirinya Ashram Canti Dasa sendiri tidak terlepas dari peranan suaminya. Pada 1957, Bagoes mendirikan Yayasan Bali Dharma Yadnya di Bedugul. Yayasan ini mendidik anak-anak miskin, dan sempat pula mendirikan Sekolah Tani Karya di tanah seluas 600 m2. Di sinilah Bagoes memberikan pengetahuan bagi mereka yang dinilai tidak mampu. Pada 1970 Bagoes membeli tanah seluas 70 are di Bedugul untuk mendirikan Yayasan Bali Canti Sena. Yayasan ini kemudian diserahkan kepada istrinya, ya, Nyonya Gedong itu. Pada 1976 Canti Sena diubahnya menjadi Ashram Canti Dasa yang berarti tempat bagi abdi yang damai. Di Ashram inilah kini Gedong memimpin sekitar 30 warga yang menuntut pelajaran padanya. Di situ pula ia menerima tamu-tamu asing dari mancanegara. Soal bahasa, Gedorig tidak menemui kesulitan. Ia menguasai empat bahasa sekaligus: Inggris, Jerman, Jepang, dan Prancis. "Selain bahasa Inggris, semua itu saya kuasai dengan belajar sendiri di rumah atau di jalan," tutumya. Memang, Gedong memiliki ijazah B-1 bahasa Inggris dari sebuah lembaga kursus di Surabaya, dan dari Christelijk Paedagogische Algemene Middelbare School, pendidikan setingkat SMA di Salemba, Jakarta. Dengan modal itu, ia mengajar di Jurusan Satra Inggris Fakultas Sastra Universitas Udayana dari ketika jurusan ini dibuka pada 1963 sampai ia pensiun pada 1972. Sampai saat ini setiap hari Senin ia tetap mengajar di sana, sebagai dosen tidak tetap. Gedong memang punya pengalaman panjang sebagi guru. Lulus dari pendidikan setingkat SMA di Jakarta ia sempat mengajar di Bogor hingga Jepang masuk Nusantara, 1942. Ia balik ke Bali, dan di zaman pendudukan Jepang itu Gedong mengajar di Sihan Gakko. Di zaman kemerdekaan ia mengajar di SMA Negeri I Singaraja, Bali. Gedong memang bukan cuma seorang ibu asuh Ashram Canti Dasa yang hanya mengenal Bali. Ia sering berkunjung ke India dan negara-negara lain yang mengundangnya. Singkat kata, Ibu Gedong Oka sebenamya tokoh internasional dalam dunianya. Dialah salah seorang tokoh penting dalam Gerakan Sarwodaya, sebuah gerakan yang mencita-citakan kemakmuran bersama, yang pusatnya di India. Dia juga terhitung sebagai pengurus pada World Council of Religion and Peace, suatu dewan agama dan peramaian dunia yang berpusat di New York. Bukan hanya itu, Gedong pun termasuk salah satu Dewan Direktur pada Asean Conference on Religion and Peace, Konperensi Agama dan Perdamaian Dunia, yang bermarkas di Singapura. Dan kini ia menyandang Trustee of Princeton in Asia, alias orang kepercayaan Universitas Princeton, Amerika Serikat - perguruan tinggi tempat Albert Einstein menemukan teori relativitas. Kehebatannya yang lain, ia adalah salah seorang Dewan Pengurus Yayasan Bina Desa, sebuah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) yang berpusat di Jakarta. Pokoknya, Gedong merupakan wanita tua yang sulit dicari tandingannya. Ashram Canti Dasa hanyalah salah satu bagian dari kegiatannya. Meski tidak sebesar lembaga-lembaga lain yang diikutinya, di sinilah ia menghabiskan usianya. Lewat Ashram pula ia mengumandangkan kasih sayang, keihklasan, kedamaian, kejujuran, dan keterbukaan, sebagaimana diajarkan Mahatma Gandi - tokoh yang dijadikan idola di pesantren Hindu ini. Di tengah dunia yang dilanda wabah kebencian, kebengisan, kesombongan, kekerasan, kebohongan, dan kekonyolan ini, kasih sayang memang mahal dan langka. Salah satu yang memiliki barang langka itu adalah Ibu Gedong. Dan ia ikhlas memberikannya kepada siapa saja, dari negeri mana saja, penganut agama apa saja. Imbalannya tidak mahal bagi yang "kaya", boleh jadi mahal bagi yang "miskin". Imbalan itu yakni, bersedia mengucapkan 11 butir janji yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Kesebelas janji itu yakni: ahimsa, menentang kekerasan satya, selalu bertindak dan berkata benar asteya, tidak mencuri brahmacharya, sederhana asanggraha, tidak selingkuh sharirashrama, sanggup bekerja keras asvada, mampu mengendalikan nafsu duniawi savatra bhayavarjana, mampu menepis segala perasaan takut sarvadharma samanatya, menghargai dan menghormati semua agama svadeshi, sanggup mencukupi kebutuhan diri sendiri dan sparsabhavana, tidak cepat menuduh sebelum mengetahui duduk perkaranya atau selalu bersikap mempercayai orang lain. Menurut Gedong, kesebelas prinsip itu, bila dipegang teguh, niscaya akan mendatangkan kebahagiaan lahir-batin, ketenangan, dan keharmonisan mayapada. "Kalau kita hidup dengan karuna, kasih sayang, serta saling percaya, semua itu bisa terwujud," kata Gedong. Di Canti Dasa segala sesuatu memang diwarnai sebelas prinsip itu. Soal saling percaya, misalnya, Gedong membiarkan anak-anak asuhannya keluar-masuk kamarnya. Mereka bahkan boleh mengetahui tempat kas uang yang tidak pernah terkunci atau melihat perincian neraca keuangan organisasi di meja kamarnya yang selalu terbuka. "Kecurigaan adalah kegelapan yang hanya akan menimbulkan rasa takut," dalih Gedong tentang sikapnya itu. Meski Ashram Canti Dasa - seperti sudah disebutkan dalam bagian pertama tulisan ini menerapkan ajaran Gandhi, dan oleh sebab itu disebut juga Ashram Gandhi, ajaran Parisadha Hindu Dharma tentang brahman dan atman tetap dilakukan. Gedong Oka percaya bahwa kedua hal itu merupakan kearifan alam semesta keteraturan kosmos, yang harus dimengerti manusia. Dalam diri manusia tersimpan brahman dalam bentuk atman, atau kosmis, yang harus dijaga dengan perbuatan-perbuatan positif. Bila gerak hidup manusia didasarkan pada tuntutan atman, niscaya dunia ini bakal nikmat dirasakan. Tetapi Gedong menolak sistem kasta yang cenderung diskriminatif itu. " Kasta tak ada dalam Weda," ujarnya. Dia pun tak segan-segan mengkritik upacara-upacara Hindu seperti ngaben, pembakaran jenazah yang sering dilakukan dengan biaya kelewat batas hanya untuk sebuah gengsi salah kaprah. "Ngaben memang perlu diselenggarakan, tetapi kalau berlebihan dan mendatangkan kesusahan, akhimya justru menyimpang dari Weda," katanya lebih lanjut. Itulah sebabnya, Ashram-nya sempat dicurigai durhaka terhadap Hindu. Menyambut kecurigaan itu, Gedong Oka terkekeh-kekeh sambil berkata, "Silakan membuat penilaian, tetapi saya tetap pada pendirian saya." Gedong Oka, di zaman orang berhitung dengan angka-angka dan penghasilan per kapita, memang sosok yang jarang. Priyono B. Sumbogo (Jakarta) dan Wahyu Muryadi (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus