Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
M. Sadli
Selama 30 tahun, Soeharto berhasil membangun ekonomi Indonesia dari keadaan yang morat-marit pada 1965/6 menjadi salah satu Macan Asia yang pertumbuhannya menakjubkan. Tetapi Indonesia tetap negara yang paling miskin di antara negara-negara itu karena dasar permulaannya juga yang paling rendah. Pada 1996/7 pendapatan per kapita Indonesia menurut Bank Dunia sudah sedikit melebihi US$ 1.000 setahun, tetapi Malaysia sudah tiga kali lebih tinggi dan Thailand 1,6 kali lebih tinggi. Ekspor Indonesia yang juga tumbuh cepat dan mencapai sekitar US$ 55 miliar setahun, tetapi masih lebih rendah daripada Malaysia (sekitar US$ 75 miliar) dan Thailand (sekitar US$ 60 miliar tanpa minyak bumi) walaupun kedua negara itu penduduknya (jauh) lebih kecil.
Yang membuat Indonesia ketinggalan adalah, selain angka awal (starting base)-nya rendah, kualitas sumber daya manusia serta pendidikan jauh terbelakang oleh karena sejak kemerdekaan tidak banyak dikucurkan dana dan daya kepada sektor yang sangat strategis ini. Karena SDM Indonesia kekurangan dasar, maka industrialisasi di Indonesia juga tidak bisa bersifat ”mandiri” (kurang tergantung dari impor) seperti di Taiwan dan Korea Selatan. Kedua negara itu mewarisi kultur yang lebih pro-pendidikan (dasar) dari penjajah Jepangnya sebelum Perang Dunia Kedua.
Selama sekitar 30 tahun itu laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6,7 persen setahun. Ini berarti bahwa selama 30 tahun itu PDB tumbuh 8–10 kali dan PDB per kapita sekitar 4 kali, dari US$ 250 menjadi US$ 1.000 per tahun. Karena golongan mayoritas yang bawah tidak menikmati kenaikan pendapatan empat kali itu, maka golongan ”kelas menengah” di kota-kota, baik di Jakarta maupun di daerah, mengalami kemajuan pendapatan yang jauh lebih besar. Lepas dari adil atau tidaknya, kemakmuran serta purchasing power (daya beli) inilah yang pada dirinya menjadi sumber pertumbuhan lebih lanjut.
Krisis tahun 1997/8 mengguncang sendi-sendi itu dan sampai sekarang tingkat kehidupan tahun 1996/7 untuk sebagian besar masyarakat belum bisa diraih kembali. Kalau para ekonom yang ”populis” seperti Dr. Mubyarto mengatakan bahwa krisis ekonomi tidak pernah memukul daerah di luar Jawa dan di luar kota, maka itu sebagian saja benar. Sejak 1997, penduduk tetap tumbuh dan penduduk muda yang keluar sekolah bertambah banyak pula. Tetapi, dengan krisis dan pertumbuhan ekonomi rendah, kesempatan kerja menjadi sangat terbatas. Maka, masalah sosial yang sekarang pun mengganggu kehidupan sosial di daerah-daerah yang lebih rural adalah kegelisahan di antara penduduk yang muda yang kurang punya harapan akan mendapat pekerjaan serta pendapatan yang sesuai dengan aspirasi mereka. Masalah inilah yang dialami oleh berbagai proyek pertambangan, perkebunan, dan lain-lain agribisnis, terutama proyek besar yang PMA, seperti di bidang migas (contoh Caltex di Riau) dan pertambangan (contoh-contoh: Freeport, Newmont Mining, Kaltim Prima, PT KEM, PT Inco, dan sebagainya) yang semuanya mengalami masalah-masalah dengan masyarakat sekitarnya. Perusahaan-perusahaan itu menjadi tumpuan harapan penduduk setempat untuk mendapat pekerjaan dan status sosial (sebagai karyawan). Mereka benci tenaga kerja pendatang yang lebih mahir dan sering menang dalam rekrutmen. Orang-orang asing yang memimpin perusahaan-perusahaan pertambangan itu di daerah (yang agak terpencil itu) yang mencemaskan kemungkinan meletusnya pergolakan sosial karena pemerintah, baik pusat maupun daerah, sekarang tidak mampu, mungkin tidak berani, menegakkan law and order, ketertiban sosial, dan perlindungan keamanan kepada perusahaan besar.
Keberuntungan Soeharto pada 1966 adalah bahwa ia bisa menggaet kelompok ”teknokrat”, kebanyakan dosen ekonomi di Universitas Indonesia, sebagai pembantu dan yang berangsur-angsur menjadi menterinya. Di bidang hukum dan politik juga tersedia dosen-dosen dari Gadjah Mada dan Padjadjaran, yang semuanya mengejar di Seskoad (sekolah jenderal di Bandung) sejak 1957. Kolonel (almarhum) Suwarto yang menjadi Wakil Kepala Seskoad memainkan peran penting meletakkan dasar strategic alliance antara TNI dan kaum teknokrat ini, sedangkan Pak Harto menjadi siswa/peserta pada 1958. Maka, para jenderal itu cukup mengenal para dosen dari UI, Gadjah Mada dan Padjadjaran itu. Yang mendukung keberhasilan di bidang ekonomi adalah para dosen dari FE UI, dengan Prof. Widjojo Nitisastro sebagai primus interparis-nya, ketua tim yang berhasil memimpin kelompoknya lebih dari 30 tahun tanpa adanya keretakan atau persaingan yang keras. Dasar dari kerja sama yang erat sekali ini diletakkan di University of California, Berkeley, ketika kelompok Widjojo ini bersama-sama mengikuti program S3 dari 1957 sampai 1962. Mereka ini menggunakan malam minggu untuk berkumpul dan membicarakan ”masalah-masalah ekonomi dan pembangunan” tanah airnya.
Kaidah-kaidah ekonomi dan politik yang berlaku di zaman Soekarno, 1957–1966, dijungkirbalikkan oleh Soeharto karena dianggap gagal menyusun landasan untuk meningkatkan kemakmuran bangsa. Kaidah pertama zaman Soekarno itu adalah ekonomi terpimpin, bahwa kekuatan pasar tidak diizinkan melakukan fungsinya. Maka, di zaman Orde Baru, pasar dan harga diberi kesempatan jauh lebih banyak untuk melakukan fungsi alokasinya.
Kedua, pemerintah Orde Lama tidak ramah terhadap dunia Barat dan lebih berpihak kepada poros antiimperialis. Bantuan ekonomi lebih banyak datang dari Uni Soviet, tetapi proyek-proyeknya kurang mampu meningkatkan produksi dan kemakmuran, juga oleh karena banyak proyek tidak bisa diselesaikan. Contohnya adalah pabrik baja Krakatau. Stadion besar Senayan banyak manfaatnya, akan tetapi bukan proyek ekonomi.
Orde Baru mengubah orientasi politik luar negeri menjadi ”bebas aktif” untuk menerima bantuan dari Barat dan tidak menolak bantuan dari blok Timur asal diberikan dengan syarat-syarat yang sama. Kesamaan syarat ini juga diberlakukan pada rescheduling utang, yang dirundingkan lebih dulu dengan blok Barat lewat Paris Club.
Ekonomi Orde Baru tidak identik dengan ekonomi liberal ataupun kapitalistis yang murni. Walaupun Prof. Widjojo dkk menjadi perumus utama banyak kebijakan ekonomi tahap pertama Orde Baru itu (1966–1973), Orde Baru lebih merupakan rezim TNI dengan Jenderal Soeharto sebagai panglimanya. Kaum militer tidak terkenal sebagai ”demokratis”, ”liberal”, terbuka, dan sebagainya. Nalurinya lebih banyak otoritarian, sentralistis, intervensionis, top-down atau mengikuti sistem komando.
Bahwa Soeharto dan para jenderal bisa mengikuti, bahkan mendukung, resep-resep kebijakan ekonomi yang disarankan oleh kelompok Widjojo, ini memang tidak alamiah, dan harus bisa dijelaskan. Mungkin karena di tahun-tahun pertama (1966–1968) mereka tidak melihat alternatif yang lebih baik. Banyak perwira telah mendapat didikan di Amerika Serikat dan menjadi kagum atas keberhasilan sistem ekonomi di situ. Lagi pula, Widjojo cs juga tidak merupakan ancaman ataupun persaingan bagi mereka. Widjojo dan timnya lebih memusatkan perhatian kepada penataan makroekonomi, bukan mikroekonomi. Bagi-bagi rezeki, misalnya HPH kehutanan, penunjukan kontraktor, dan sebagainya ada di bidang mikroekonomi yang tidak dijamah oleh Widjojo cs. Widjojo dan kawan-kawannya puas menguasai Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Bappenas, Perdagangan dan Penanaman Modal, yang menjadi benteng-benteng para ekonom teknokrat. Departemen Industri, Kehutanan, Pekerjaan Umum, Bulog, Pertamina, bukan daerah jajahannya. Lagi pula, budaya KKN belum terlalu menjamur pada 1966–1973. Putra-putri Soeharto masih kecil, konglomerat kroni belum besar juga.
Salah suatu kebijakan utama pemerintah yang baru adalah promosi penanaman modal asing dan dalam negeri. Motifnya lebih banyak kebutuhan daripada ideologi. Ekonomi yang berantakan memerlukan modal banyak untuk membangun. Sebagian diusahakan dari bantuan internasional. Maka, IGGI digalang dan arus tahunan yang diperoleh semakin besar, dari beberapa ratus juta dolar pada 1967 sampai beberapa miliar setahun akhir-akhirnya. Sebagian besar dana ini dipakai untuk anggaran belanja pembangunan, untuk membangun infrastruktur fisik dan sosial, termasuk di bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan, pembangunan jalan, listrik, dan sebagainya.
Maka, untuk sektor industri dan jasa-jasa diharapkan masuknya PMA dan PMDN, dan dua undang-undang diterbitkan untuk memberikan insentif dan jaminan. Kebijakan ini berhasil sekali. Modal Amerika dan Barat masuk di bidang migas dan pertambangan umum, dan modal Jepang masuk antara lain ke bidang industri. PMDN ramai masuk di industri, kehutanan, real estate.
Tahap 1966–1973 adalah tahap ekonomi bebas, artinya belum banyak pembatasannya. Rizal Mallarangeng di bukunya, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, menyebut tahap ini tahap liberalisasi yang pertama. Ekonomi rata-rata tumbuh di atas 7 persen setahun karena sifatnya rehabilitasi dan sektor pertanian masih bisa tumbuh banyak karena tersedianya teknologi baru produksi padi.
Tetapi, pada 1973–1974 timbul reaksi (Malari) dalam bentuk demonstrasi mahasiswa besar-besaran. Dampak kesenjangan dari ekonomi pasar, yang pada dirinya berhasil meningkatkan laju pertumbuhan, menampakkan dirinya. Amarah mahasiswa ditujukan kepada PMA Jepang, dicetuskan oleh kunjungan Perdana Menteri Jepang. Tetapi, gejala protes mahasiswa ini juga terjadi di Bangkok sehingga merupakan gejala regional. Maka, dilema ekonomi pembangunan yang klasik muncul: laju pertumbuhan yang pesat lewat pasar yang bebas juga menimbulkan kesenjangan. Sebagian masyarakat mulai menolak kapitalisme, pasar bebas, PMA, menguatnya ekonomi nonpribumi.
Maka, sejak 1974 meningkatlah proteksionisme, dirigisme, penjatahan, pemberdayaan usaha pribumi. Rizal Mallarangeng melihat periode 1973–1983 sebagai sentralisme yang kembali. Kelompok Widjojo masih berkuasa dan mencari akomodasi kepada kecenderungan politik ini sambil berusaha agar ekonomi masih berjalan cukup efisien dan terbuka. Antara lain mereka berhasil menangani krisis Pertamina dengan restu Soeharto.
Kebetulan periode ini dikurniai rezeki minyak bumi, sehingga jumlah dana yang tersedia bagi pemerintah lebih dari cukup. Industrialisasi masih bisa berjalan berdasarkan pasar dalam negeri, yang daya belinya disirami oleh rezeki minyak. Biasanya tahap import substitution industrialization hanya berlangsung 10 tahun. Di Indonesia bisa berlangsung sampai 1983, karena ada semacam tahap kedua, dimungkinkan oleh rezeki minyak. Baru pada 1983 produksi tekstil dalam negeri mulai menumpuk karena tidak mampu dijual di luar negeri. Baru setelah devaluasi ekspor naik sangat besar.
Sementara itu, harga minyak bumi jatuh di permulaan dasawarsa delapan puluhan. Masa pancaroba keuangan ini melahirkan kesempatan, dan keharusan, untuk banting setir dalam kebijakan ekonomi umum. Maka, sejak 1983 ada kesempatan menjalankan deregulasi di berbagai bidang. Widjojo (yang bukan lagi Menko Perekonomian di tahun itu tetapi masih berkantor di Bappenas dan tetap ”Pak Lurah” bagi kelompoknya), Ali Wardhana, Saleh Afiff, Radius, Sumarlin mencanangkan deregulasi (tahap pertama) di bidang perbankan, perdagangan luar negeri (SGS dari Swiss menggantikan peran Bea-Cukai), memangkas perizinan di bidang industri dan investasi. Deregulasi ini dijalankan secara bergelombang, artinya tidak dalam satu kali pukul, dan tuntas sekitar 1989. Sebetulnya, deregulasi masih berjalan terus, tetapi tambah lama tambah sukar untuk mendapat dukungan Presiden Soeharto. Di masa boom, kesediaan Pak Harto meneruskan deregulasi berkurang karena memerlukan pengorbanan.
Laju pertumbuhan PDB pada dasawarsa delapan puluhan secara rata-rata hanya mencapai 6,1 persen setahun. Ini disebabkan sektor pertanian dan pertambangan mulai jenuh tumbuh (setelah swasembada beras dicapai pada 1983–1984), tetapi laju pertumbuhan di sektor industri manufaktur mencapai rekor 12 persen setahun, tertinggi di Asia Tenggara. Berkat berbagai deregulasi, maka laju pertumbuhan PDB 1990–1996 mencapai 7,7 persen setahun.
Dua kali terjadi bahwa paket kebijakan yang cocok untuk zamannya dan menghasilkan laju pertumbuhan tinggi pada dirinya menyimpan benih kegagalannya. Pasar bebas 1966–1973 sangat berhasil menumbuhkan ekonomi, tetapi tidak berhasil memperkecil jurang kesenjangan yang bisa dilihat di Jakarta. Deregulasi 1986–1996 melahirkan boom ekonomi, tetapi berakhir dengan krisis dahsyat karena tidak disertai landasan institusional dan lembaga serta sistem pengawasan yang kukuh. Maka, di era Reformasi, institution building dan rebuilding menjadi penting. Pedoman-pedoman yang baru adalah transparency, accountability & good governance.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo